Sekalipun Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang
Otonomi Khusus untuk Provinsi Papua baru diimplementasikan 12 tahun,
pemerintah ingin menetapkan lagi satu Undang-Undang baru tentang
pemerintahan Papua.
Draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemerintahan Papua sedang dirampungkan
Tim Asistensi dari Universitas Cenderawasih (Uncen). Dalam waktu dekat,
draf final RUU tersebut akan diserahkan pada Menteri Dalam Negeri, guna
diteruskan kepada Komisi II DPR agar ditetapkan sebagai Undang-Undang bulan
Desember 2013.
Bila diamati secara cermat, hanya tim Asistensi yang terdiri dari beberapa
dosen Uncen bersama sejumlah (tidak semua) elite birokrat provinsi dan
kabupaten/kota Provinsi Papua yang sibuk menyusun draf RUU tersebut. Proses
pembuatannya begitu tergesa-gesa sehingga rakyat Papua tidak terlibat dan
dilibatkan dalam proses pembahasan RUU tersebut.
Apa dampaknya bila rakyat Papua tidak dilibatkan dalam membahas RUU
Pemerintahan Papua?
Kami membagi rakyat Papua dalam dua kelompok. Kelompok pertama adalah Warga
Negara Indonesia (WNI) di Provinsi Papua, yang selanjutnya akan disebut
WNI. Mereka berbeda suku, agama, ras, dan profesi, tetapi mengakui dirinya
sebagai orang Indonesia. Ada yang berkulit hitam dan berambut keriting, ada
juga yang berkulit sawo matang dan berambut lurus, tetapi semuanya
mengibarkan bendera Merah Putih di Tanah Papua.
Pemerintah mengabaikan keterlibatan WNI, terutama yang bukan pegawai negeri
sipil (PNS), dalam pembahasan draf RUU Pemerintahan Papua. Pengabaian ini
tak terbantahkan karena pemerintah tidak melakukan konsultasi dengan para
tokoh agama, tokoh adat, tokoh perempuan pemuda, dan mahasiswa di Tanah
Papua.
Janji Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam pidato kenegaraannya
tahun 2010, tentang komitmen pemerintah untuk membangun komuniksi konstruktif
dengan rakyat Papua, belum dilaksanakan hingga kini. Malah tanpa didahului
komunikasi konstruktif dengan rakyat Papua, pemerintah akan menetapkan UU
Pemerintahan Papua.
Diabaikan dari proses pembahasan draf RUU Pemerintahan Papua, WNI di Papua
tidak mengetahui isi draf RUU yang sedang dirampungkan. Mereka masih
bertanya, masalah-masalah apa saja yang diakomodasi dalam draf RUU
tersebut? Masalah siapa yang hendak diatasi melalui implementasi UU
Pemerintahan Papua?
Pemerintah seharusnya mengadopsi mekanisme inklusif, yang memungkinkan
semua pihak yang berkepentingan berpartisipasi membahas draf RUU
Pemerintahan Papua. Namun, kenyataan memperlihatkan pemerintah lebih
mengedepankan mekanisme eksklusif yang mengabaikan partisipasi rakyat
Papua.
Sebagai akibat dari pengabaian ini, rakyat Papua tidak akan merasa memiliki
draf RUU Pemerintahan Papua. Sekalipun RUU ini diundang-undangkan DPR dan
ditandatangani Presiden SBY, dia tidak akan mendapatkan legitimasi dari WNI
di Provinsi Papua.
OPM
Kelompok kedua dari rakyat Papua yang diabaikan dalam pembahasan draf UU
Pemerintahan Papua, adalah Orang Asli Papua yang tergabung dalam Organisasi
Papua Merdeka (OPM). Mereka tidak mengakui dirinya sebagai orang Indonesia.
Mereka lebih dikenal sebagai separatis karena berjuang memisahkan Papua
dari Indonesia.
OPM terdiri dari tiga kelompok, orang asli Papua yang memperjuangkan
kemerdekaan Papua Barat di berbagai kota dan kampung di Tanah Papua, yang
bergerilya di hutan sebagai anggota Tentara Pembebasan Nasional (TPN), dan
yang hidup di luar negeri.
Selama 50 tahun OPM telah melakukan perlawanan terhadap Pemerintah
Indonesia yang dipandangnya sebagai penjajah di Tanah Papua. Perlawanannya
dinyatakan secara konsisten, dengan dan tanpa kekerasan, mengakibatkan konflik
Papua tetap membara.
Bila pemerintah sungguh berkomitmen menyelesaikan secara komprehensif
berbagai permasalahan mendasar yang memicu separatisme Papua melalui UU
Pemerintahan Papua, para tokoh OPM, baik di dalam maupun di luar negeri,
mesti dilibatkan dalam proses pembahasan RUU tersebut.
Pengabaian OPM dapat berakibat fatal. OPM telah menolak kebijakan Otsus
yang ditetapkan pemerintah secara sepihak untuk meredam tuntutan Papua
Merdeka. Kebijakan ini ditolak, terutama karena solusi Otsus bukan merupakan
hasil dialog atau negosiasi antara OPM dan pemerintah.
Selain itu, OPM menyaksikan ketidakberhasilan pemerintah menyelesaikan
masalah ketidakadilan ekonomi, politik, kebudayaan, hukum dan hak-hak asasi
manusia, serta sejarah melalui implementasi UU Otsus Papua selama 12 tahun.
Hal ini memperdalam ketidakpercayaan mereka terhadap pemerintah dan
memperkokoh resistensinya.
Akan terjadi resistensi rakyat Papua bila UU Pemerintahan Papua ditetapkan
tanpa keterlibatan OPM. Resistensi OPM akan mengakibatkan konflik Papua
terus membara, juga setelah pengesahan UU Pemerintahan Papua. Kita akan
mendengar tuntutan referendum disuarakan generasi muda Papua kelahiran
tahun 1980-an. Bendera Bintang Kejora dikibarkan. Warga sipil, anggota
POLRI, serta TNIU tewas karena penembakan.
Dialog
Menurut pengamatan kami, konflik Papua yang berlangsung selama 50 tahun
sudah menjadi “duri dalam daging”. Setiap kali ada pihak yang menyentuh
“duri” ini, pemerintah akan terus terusik. “Duri” konflik Papua akan selalu
mengganggu ketenteraman pemerintah, selama solusi komprehensif belum
ditemukan oleh pemerintah dan rakyat Papua (WNI dan OPM) melalui rangkaian
dialog.
Ruang dialog mesti dibuka. Komunikasi konstruktif mesti dilancarkan dengan
semua pemangku kepentingan dalam menggodok draf RUU Pemerintahan Papua.
Dengan demikian, UU Pemerintahan Papua menjadi hasil dialog dan mendapatkan
legitimasi kuat dari rakyat Papua. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar