Orang-orang media menjadi berita media.
Tanpa tedeng aling-aling, pemberitaannya langsung menunjuk hidung.
Maksudnya menunjuk nama-nama karena kita tahu media tidak punya hidung.
Betapa mengerikannya. Sumber -subjek- berita, yang selalu otoritatif untuk
“memberitakan”, kini peran utamanya dibalik: mereka menjadi objek
untuk diberitakan; dan tak berkutik?
Pilar penyangga demokrasi roboh? Orang-orang, para tokoh media, yang
merupakan kekuatan inti bagi pilar-pilar itu, juga roboh seluruh harga
dirinya?
Ini sulit diterima. Tapi, media tak pernah bertanya pada kita,
dan tak pernah memberi tahu sebelumnya, berita apa yang bakal mereka
sajikan di meja makan kita. Masuk akal atau tidak bagi kita, berita harus
diberitakan. Soalnya berita yang tak diberitakan namanya jelas bukan
berita.
Kalau sebelumnya media memberi tahu ini dan itu yang bakal
diberitakan, dan berita itu bisa dinegosiasikan untuk “jadi”, dan “terus”
diberitakan atau tidak, saya berani bertaruh, bakal ada media-media, dan
nama-nama di dalamnya, yang memiliki maupun yang mengendalikannya, niscaya
akan meminta agar berita tersebut tak usah diberitakan. “Nego”,
tawar-menawar, bujuk membujuk, dan keputusan tentang berapa harganya untuk
tidak jadi diberitakan, bisa terjadi dengan hiruk pikuk, seru, dan
memanaskan hati.
Lebih-lebih untuk orang yang namanya bakal disebut. Mengerikan sekali jika
itu terjadi dan sungguh memalukan karena itu sudah terjadi. Nego tidak ada.
Tawar-menawar, bujuk-membujuk dan sejenisnya tidak dilakukan. Mungkin sikap
media yang memberitakan ini jelas: berita adalah berita.
Apakah berita itu menyangkut orang yang merupakan sumber berita, subjek
pemberitaan, pemilik sebuah bisnis berita, tak peduli. Berita adalah
berita, merupakan tonggak yang tak bisa dijebol. Berita, yang dengan
sendirinya “rahasia” besar dan memalukan, pun akhirnya bobol. Rahasia
terbuka.
Derajat Turun
Sepandai-pandai orang membungkus, media lebih pandai mengendus-endus
apa yang rahasia, apa yang ditutup-tutupi. Apalagi kalau itu sekadar demi
sebuah kepalsuan, atau kegenitan manusia modern, yang rapuh, dan keropos
struktur moralitasnya dan basis psikologisnya.
Orang, tokoh media, yang namanya anggun, kewibawaannya besar, dan
gerak-geriknya memesona banyak kalangan muda, kalimat dan gaya bahasanya
pun ditiru dengan rasa bangga oleh para pemujanya, pendeknya tokoh penting,
dan tak tersentuh, yang ibaratnya bayangannya saja tak boleh
terinjak orang lain, kini dia tersentuh, dan mungkin bingung.
Mungkin dia tak punya doa, tak punya mantra yang bisa diucapkan. Derajat
kedewaannya lalu turun menjadi manusia bumi ini, sama seperti
kita. Kita lalu ingat bidadari bernama Nawangwulan, yang gugup, dan
bingung, lupa doa lupa mantra untuk bisa terbang ke langit lagi seperti
kawan-kawannya, ketika selendang sakti dan seluruh pakaiannya dicolong Joko
Tarub, yang pasti diancam undang-undang pornografi dan porno aksi, yang dibuat
manusia-manusia suci di negeri ini.
Tapi, Joko Tarub bebas dari ancaman. Bahkan, dia memperoleh bidadari
cantik, yang mau tak mau terpaksa bersedia menjadi istrinya. Begitulah
media dan para tokoh media yang diketahui telah melakukan perselingkuhan politik
dan moral, lalu diberitakan.
Benarkah berita itu? Pertanyaan itu penting, tetapi sudah hampir menjadi
tidak penting buat psikologi politik masyarakat zaman ini, karena andaikata
tidak benar, dan mereka memprotes, protes mereka itu akan sama dengan sikap
protes para bandit dan koruptor yang melahap duit bangsa kita.
Protes tidak protes, efek psikologisnya sama. Orang sudah telanjur kecewa.
Pak Harto bersumpah, tak punya sepeser pun uang. Beliau kira ada orang
sinting yang mau percaya. Koruptor berikutnya minta dokter menganggapnya
sakit dan dia pun bebas dari penyelidikan untuk mengetahui apakah dia ini
dewa, apa raksasa.
Generasi berikutnya sama saja. Bersumpah-sumpah, siap digantung, tapi
publik, pada umumnya, hanya ketawa. Atau senyum sinis. Jika ketawa atau
senyum tadi dijabarkan dalam bahasa kata-kata, dia akan menjadi: “Ah,
betapa nistanya kau, memakai pici segala, tapi…”
Kalau berita media tadi tidak benar, seberapa tingkat kecerobohannya?
Adakah manusia yang bisa begitu berkuasa, menyusun dan mengarang apa yang
salah, dan memberitakanya sebagai kebenaran? Apakah media-media dan
tokoh-tokoh yang menjadi berita itu, sedemikian lemahnya, dan bisa
dijadikan bulan-bulanan di mata umum, dengan begitu mudahnya?
Sekali lagi, benar atau salah, berita sudah diberitakan. Protes,
pembetulan, atau tuntutan, bisa dilakukan. Tapi, siapakah yang mau
mendengar? Atau siapa yang mau percaya? Ini kelemahan di dalam masyarakat
kita. Kebenaran menjadi bukan yang terpenting. Media-media, serta
orang-orang penting di dalamnya, bisa “dibekuk” begitu saja menjadi seperti
“dewa kamanungsan”: dewa ketahuan oleh manusia dan runtuhlah derajat
kedewaannya. Mungkin seperti Nawangwulan, dewa perempuan, yang
“kamanungsan”, dan dijahili tangan sembrono manusia bernama Joko Tarub.
Dewa “kamanungsan” itu bukan dewa lagi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar