Ketika negara lain bergulat dengan persoalan ekonomi mereka,
ekonomi Indonesia berjalan relatif baik. Secara makro, rapor ekonomi
Indonesia biru. Ini ditandai pertumbuhan ekonomi yang selalu positif,
inflasi yang terjaga, indeks harga saham gabungan yang terus menggeliat, dan
nilai tukar yang relatif terkendali.
PDB Indonesia juga terus membesar, saat ini menempati urutan ke-16 dunia,
dan bersanding dengan negaranegara maju dalam G-20. Di mata dunia, posisi
Indonesia semakin penting. Kekayaan sumber daya alam dan tenaga kerja yang
melimpah membuat Indonesia berpotensi menjadi basis produksi dunia yang
kompetitif. Dengan jumlah penduduk yang besar dan jumlah kelas menengah
yang tumbuh meraksasa, membuat Indonesia menjadi pasar yang menggiurkan
bagi siapa pun.
Namun, di balik rapor biru itu ada sejumlah paradoks yang mencemaskan.
Pertama, meskipun PDB Indonesia berada di peringkat 16 dunia, tetapi PDB
per kapita menempati urutan ke-126 (USD4,9.000). Angka ini jauh dari
Malaysia (peringkat 59 dengan USD16,8.000), Thailand (92, USD9,5.000),
China (93, USD9.000), dan Sri Lanka (116, USD6.000).
Kedua, kesenjangan pendapatan. Distribusi pendapatan menunjukkan porsi
pendapatan 40% masyarakat dengan pendapatan terendah menurun, dari 20,22%
(2005) jadi 16,86% (2011). Pada saat yang sama, pendapatan 20% masyarakat
berpendapatan tertinggi naik dari 42,09% menjadi 48,41%. Dengan indikator
rasio gini, kecenderungannya juga sama. Dalam satu dasawarsa terakhir rasio
gini meningkat, dari 0,32 (2004) menjadi 0,41 (2013).
Ketiga, jumlah kemiskinan yang masih besar. Per September 2012 warga miskin
berjumlah 28,594 juta (11,66%). Apabila penduduk mendekati miskin dan
rentan terhadap kenaikan harga makanan (pengeluaran 1,2 kali garis
kemiskinan) dihitung, maka jumlahnya menjadi 57,14 juta jiwa (2011).
Apabila menggunakan indikator Bank Dunia bahwa sekitar 40% penduduk
tergolong near poor, maka jumlah warga miskin mencapai 100 juta jiwa.
Di manakah warga miskin tinggal? Sejak dulu kemiskinan terkonsentrasi di
perdesaan. Pada 1976, jumlah penduduk miskin di perdesaan 44,2 juta orang
atau 81,5% dari total penduduk miskin. Lebih 35 tahun kemudian, angka ini
hanya mengalami sedikit perbaikan. Walaupun secara agregat kemiskinan
menurun, namun persentase jumlah orang miskin di perdesaan tetap tinggi:
mencapai 63,4% (18,48 juta) dari jumlah warga miskin.
Ini merupakan fakta getir karena pembangunan justru me-minggirkan warga
perdesaan. Data ini menunjukkan, puluhan tahun pembangunan ternyata
kemiskinan tak beranjak jauh dari desa. Keempat, kesenjangan yang lebar
antara perkotaan dan perdesaan. Selama bertahun- tahun, pertumbuhan sektor
per-tanian amat rendah, di bawah rata-rata nasional. Juga jauh di bawah
pertumbuhan sektor transportasi dan komunikasi, perdagangan, hotel dan
restoran, keuangan, dan real estat.
Kontribusi sektor pertanian pada PDB nasional pada 2012 hanya 14,4%.
Padahal, sektor ini menampung 43% total tenaga kerja. Pertanian kian
involutif yang ditandai masifnya kemiskinan di desa. Data-data mestinya
cukup untuk mencari pendekatan baru dalam pembangunan (ekonomi). Pendekatan
baru itu pada intinya adalah membalik arah pembangunan (ekonomi) yang
berjalan saat ini.
Benar, saat ini sekitar 94% angkatan kerja telah “bekerja”, dan bahkan 68%
dari mereka bekerja penuh waktu (>35 jam per minggu). Namun, sebagian
besar mereka terserap di sektor informal yang berpendapatan rendah dan amat
rentan. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi ternyata tidak beriringan dengan
penciptaan lapangan kerja baru. Saat Orde Baru, tiap 1% pertumbuhan ekonomi
bisa menciptakan lebih 400.000 lapangan kerja. Pada 2011 dan 2012, lapangan
kerja yang tercipta hanya 235.000 dan 196.000 atau separuh.
Memang ada argumen yang selalu jadi apologi: kesenjangan pendapatan biasa
terjadi pada tahap awal pembangunan. Namun, bagi Indonesia argumen ini
sulit diterima. Gemuruh pembangunan sudah dimulai sejak 1960-an, bersamaan
dengan Malaysia, Singapura dan Korea Selatan. Pada tahun itu, ekonomi
Indonesia lebih baik dari Malaysia. Bahkan dengan Korea Selatan hampir
sama.
Dengan Jepang pun tidak ketinggalan jauh. Pada 1960 Indonesia dan Korea
Selatan memiliki pendapatan per kapita USD100. Namun, kini Korea Selatan
jauh meninggalkan Indonesia, dengan pendapatan per kapita USD31.000, enam
kali pencapaian Indonesia. Tentu ada yang salah pada desain dan arah
pembangunan (ekonomi) Indonesia. Tak ada salahnya menengok China.
China yang memulai pembangunan ekonomi pada 1980 berhasil menekan angka
kemiskinan secara drastis: dari 64% (1981) tinggal 7% (2007). Tidak hanya
berhasil mengurangi jumlah orang miskin, dalam kurun waktu itu China juga
berhasil membawa 65% penduduknya menjadi kelompok kelas menengah dan
menengah atas. Sebaliknya, meskipun anggaran anti-kemiskinan naik
berlipat-lipat, Indonesia hanya bisa menekan angka kemiskinan tak lebih
4-5%.
Kelas menengah yang dicetak hanya 10,6%. Ada banyak strategi yang ditempuh
China. Namun, salah satu yang patut dicatat adalah upaya kerasnya dalam
menciptakan lapangan kerja secara masif dan berkelanjutan. China mengawali
pembangunan dengan membangun desa, khususnya sektor pertanian. Dengan
konsentrasi orang miskin di perdesaan, pembangunan pertanian menjadi solusi
tepat karena tidak mensyaratkan SDM berpendidikan dan berketerampilan
tinggi.
Saat ini 65% penduduk miskin Indonesia berada di perdesaan, dan sebagian
besar bekerja di sektor pertanian. Mestinya pengalaman itu meyakinkan kita
bahwa jalan yang selama ini ditempuh, yang meninggalkan sektor pertanian
dan membangun industri foot loose,
amat tidak tepat. Harus diakui, pembangunan ekonomi Indonesia telah gagal
menghasilkan transformasi struktural ekonomi.
Kue ekonomi telah bergeser ke industri dan jasa, tetapi tidak diikuti oleh
pergeseran tenaga kerja. Akibatnya, tenaga kerja menumpuk di sektor
pertanian. Transformasi struktural ekonomi hanya akan terjadi apabila ada
kemauan membalik arah pembangunan: dari sektor nontradable yang padat
modal, teknologi dan pengetahuan ke sektor tradable yang padat tenaga kerja
dan berbasis lokal.
Model pembangunan Indonesia saat ini telah menciptakan kesenjangan
kota-desa, keterbelakangan desa, dan marginalisasi ekonomi perdesaan dan
pertanian. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar