Senin, 04 November 2013

Hijrah Politik Berkeadaban

Hijrah Politik Berkeadaban
Asep Salahudin ;   Esais dan Dekan di IAILM Suryalaya, Tasikmalaya, Jawa Barat
KOMPAS, 04 November 2013

HIJRAH tidak hanya epos kenabian yang mencerminkan gerakan kultural, tetapi juga sekaligus struktural.
Hijrah sebagai migrasi dari sistem jahiliah (primitif) menuju ruang bernegara yang berjangkar pada nilai-nilai keadaban. Bukan kebetulan kalau Yastrib kemudian beralih nama menjadi Madinah. Madinah secara semantik paralel dengan tamadun yang bermakna peradaban. Konsep masyarakat madani secara teologis-metafisis mendapatkan pijakannya dari praktik politik kenabian di Madinah.

Madinah jadi laboratorium untuk menurunkan pesan-pesan universal firman Tuhan dalam sejarah pengalaman keseharian. Madinah menjadi sebuah pembuktian bahwa Muhammad SAW bukan hanya ”manusia langit” yang berbicara persoalan mistis-eskatologis, melainkan juga ”manusia bumi” yang terlibat aktif menyingsingkan lengan baju menata praksis, mengupayakan hidup yang menemukan harkatnya. Agama di tangannya bukan sekadar abstraksi transendensi, melainkan juga aksi humanisasi. Muhammad SAW sebagai nabi sekaligus penguasa.

Penguasa yang memimpin masyarakat heterogen. Heterogenitas tidak saja menyangkut kepentingan, tetapi juga keyakinan. Fakta sosial keberbedaan ini dengan visi kekuasaannya yang jelas tidak menjadi pemantik bagi mencuatnya konflik, tetapi justru modal sosial dalam membentuk Madinah yang menjadi role model bagi format negara yang berbasis pada musyawarah justru di tengah tren kekuasaan yang saat itu didominasi politik dinasti (kerajaan). ”Musyawarah” untuk membangun ruang publik (public sphere). Mungkin semacam demokrasi deliberatif dalam perspektif Habermas, yaitu kebijakan-kebijakan penting (perundang-undangan) dihasilkan dengan mendengar berbagai suara melalui jaring-jaring komunikasi publik masyarakat sipil.

Melalui traktat politik yang sering disebut ”Piagam Madinah” spirit toleransi menjadi daulat utama dalam melihat realitas yang majemuk. Kebebasan agama mendapatkan jaminan konstitusi. Masyarakat lemah dan kelompok minoritas dilindungi penuh oleh negara. Masa-masa keemasan politik nilai di Madinah dapat digapai. Salah satu kuncinya karena Muhammad SAW mempraktikkan keteladanan dalam hal ihwal. Sebut saja, misalnya, tentang kesederhanaan, asketisme, satunya kata dengan perbuatan. Muhammad SAW tidak memosisikan diri sebagai ”penguasa”, tetapi lebih sebagai ”pelayan” yang berkhidmat bagi hajat orang banyak. Sekali pernah ia mendatangi sekelompok sahabatnya sambil bertekan pada sebatang tongkat. Mereka berdiri menyambutnya. Namun, dia berkata, ”Jangan kamu berdiri seperti orang-orang asing yang mau saling diagungkan.”

Peralihan orde

Hijrah dalam konteks negara kita tak ubahnya peralihan orde. Dan kita telah mengalami empat kali ”hijrah struktural”. Sebut saja terbentang mulai dari terlepasnya ”negeri kepulauan”, ketika nasionalisme masih dalam wujud imajinasi, dari cengkeraman kaum kolonial yang dideklarasikan Soekarno-Hatta atas nama seluruh rakyat pada 17 Agustus 1945; dilanjutkan hijrah dari sekapan gelap Orde Lama yang dianggap negara terlampau didominasi persoalan politik dan abai terhadap kesejahteraan umum. Pengkritiknya, Orde Baru, di senja kala kuasanya harus mengalami nasib serupa, meraih murka anak negeri karena dipandang tidak saja telah membungkam fitrah kebebasan berpolitik, tetapi juga sistem ekonomi yang ditawarkannya alih-alih menyalurkan kemaslahatan malah penuh muslihat: hanya membuahkan takdir masyarakat kian melata. Terakhir, hijrah menuju zaman Reformasi. Yang terakhir itu orde yang diidentifikasi penuh ketidakpastian, atau menurut O’Donnell dan Schimitter sebagai fase ”transisi dari otoritarianisme menuju entah ke arah mana”.

Mungkin benar yang dicatat Kundera, hakikat perjuangan terletak dari militansi melawan lupa. Lupa ini pula tampaknya yang jadi benang merah setiap orde yang bikin kita terus jatuh dalam lubang yang sama untuk kesekian kali. Membuat para penguasa tidak lebih cerdas dari keledai.

Babakan sejarah kekuasaan di republik ini senantiasa berujung dengan perayaan tata kelola pemerintahan yang menistakan akal budi. Bukan tak ada pasal (regulasi) yang baik, melainkan soal utamanya ada pada absennya pribadi-pribadi yang bersedia mengamalkan pasal-pasal itu secara istikamah. Pribadi dengan karakter ”negarawan” yang rela menunda kesenangan fisik materialnya demi menyenangkan masyarakat umum. Siap mengorbankan pikirannya dan melakukan tindakan tak populer atas nama budi luhur tegaknya marwah bangsa. Di kita malah ketiganya dapat diperankan oleh seorang perempuan misterius: ”Bunda Putri”.

Yang terasakan hari ini justru kegaduhan kontestasi memburu rente yang dengan sempurna dilakukan tiga pilar: eksekutif, yudikatif, dan legislatif. Trias politika yang digali dari Two Treatises of Government-nya John Locke dan Spirits of the Laws-nya Montesquieu dalam pengalaman bernegara kita bermetamorfosis menjadi trias koruptika. Trias politika yang mengandaikan  checks and balances karena adanya pembagian kekuasaan antarlembaga tinggi negara (sparation of power)

Mental dan fisik

Menilik kondisi bangsa yang masih, meminjam ungkapan Soekarno ”total menjadi negara kuli” (Een natie van koelies, en een koelie onder de naties), melakukan hijrah baik fisik terlebih mental adalah suatu keniscayaan. ”Merdeka 100 persen”. Merdeka dari kaum penjajah atau dari hasrat primitif memburu benda dengan cara korup. Agar selamanya kita tak menjadi ”bangsa wayang”. Wayang dari dalang bernama neoliberalisme asing atau dalang hawa nafsu yang mengalir dalam tubuh. Hijrah kenabian adalah hijrah politik bermahkotakan nilai untuk menyambut hidup yang berporos pada keadaban.

Termasuk kesediaan hijrah dari keberagamaan yang tertutup, eksklusif, menuju penghayatan iman yang inklusif dan terbuka di mana ”liyan” diposisikan sebagai representasi Ilahiah dan epifani wajah Tuhan. Lian sebagai modus eksistensial kehadiran kita dan otomatis harus diperlakukan dengan respek, tulus, amanah, dan penuh tanggung jawab.

Dengan hijrah, kehidupan bernegara dan pengalaman beragama ditarik dalam pendulum moderasi untuk membangun kebaikan bersama di atas, istilah Rawls, bentangan fakta pluralisme yang waras. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar