|
PERGESERAN orientasi politik luar
negeri Mesir tampaknya akan berpengaruh signifikan terhadap perkembangan di
kawasan Timur Tengah. Mesir kian menjauh dari AS dan cenderung mendekat ke
Rusia.
Terlalu dini
untuk mendiskusikan apakah itu akan mengarah terbentuknya peta politik baru di
kawasan tersebut. Namun, gelagat Mesir tampaknya diikuti oleh perubahan sikap
sekutu AS yang lain, terutama Arab Saudi, Bahrain, dan negara Teluk lain.
Baru-baru ini
”kehebohan” terjadi seiring tersebarnya pernyataan Bandar bin Sulthan, kepala
intelijen Kerajaan Arab Saudi, bahwa negeri yang sejak kelahirannya 1932 hingga
sekarang membangun hubungan sangat kuat dengan AS itu tidak akan mempertahankan
sikap tersebut untuk selamanya. Secara psikologis dan historis, Arab Saudi sangat
sulit untuk menyusul Mesir mendekat ke Rusia. Namun, fakta makin renggangnya
hubungan Arab Saudi-AS saat ini sulit dibantah.
Sejak
berembusnya angin perubahan pada akhir 2010, AS telah banyak mengecewakan
sekutu-sekutunya di kawasan tersebut. Rezim Zaenal Abidin bin Ali di Tunisia
dan rezim Mubarak di Mesir, dua rezim pertama yang tumbang diterjang badai
musim semi Arab, tentu paling merasa kecewa dengan sikap AS.
Di bawah Obama,
AS tak memberikan pembelaan apa pun terhadap kedua sekutu yang sangat setia
itu. Sebaliknya, setidaknya dari pernyataan-pernyataannya, AS justru mendukung
arus demokratisasi yang sedang berembus di kawasan tersebut, membiarkan kedua
sekutunya diterkam ”anak-anak Revolusi Arab”.
Lebih mandiri
Dua pengalaman
itu menjadi catatan serius bagi sekutu-sekutu AS yang lain. Mereka tentu
berpikir, AS tak bisa lagi jadi tempat bergantung dan berlindung. Kepentingan
utama rezim-rezim Arab tersebut di tengah gelombang protes rakyat sekarang
adalah survival kekuasaan dan keselamatan mereka dan keluarga. Dalam
dua hal itu, AS terbukti tak memberikan apa pun.
Berangkat dari
pengalaman inilah, negara-negara Teluk yang sebelumnya begitu bergantung kepada
AS dan Barat dalam pertahanan kini berupaya mengubah sikap. Mereka berupaya
lebih mandiri membangun militernya. Bagi negara-negara superkaya, langkah yang
segera dilakukan adalah melengkapi kekuatan militer dengan persenjataan
supercanggih dan mahal. Dan, pembelian persenjataan baik darat dan udara itu
sebagian besar bukan dari AS.
Aliansi militer
negara-negara Teluk juga membuat langkah baru yang tidak kecil. Mereka
bersama-sama mengirimkan tentara untuk menangani protes masif yang melanda
Bahrain di luar persetujuan dan dukungan AS, padahal beberapa pangkalan militer
AS berada di Teluk. Bagi rezim negara-negara Teluk, protes tersebut berbau
Syiah dan begitu kentara didukung Iran. Mereka yang sebenarnya juga memiliki
masalah yang cukup serius antarnegara bersatu padu dan bertekad ”memerangi”
protes yang mengarah kepada penjatuhan rezim itu.
Strategi ini
sering disebut sebagai strategi membendung arus; jatuhnya rezim Bahrain
diasumsikan bisa dengan cepat menjalarkan pengaruh terhadap gerakan protes di
Arab Saudi, Qatar, Oman, Emirat, dan Kuwait. Keberhasilan mereka meredam protes
besar-besaran di Bahrain, dan secara lebih terbatas di Oman dan Arab Saudi,
membuat tekad mereka untuk ”mandiri” dari AS semakin kuat. Melihat keberhasilan
ini, dua monarki Arab di luar Teluk, yaitu Jordania dan Maroko, ingin segera
bergabung, tetapi permohonan itu ditolak. Padahal, keduanya juga dikenal sangat
dekat dengan AS dan memiliki masalah serupa.
Suriah dan Iran
Kekecewaan
sekutu AS makin menjadi-jadi dengan ”lembeknya” sikap AS terhadap musuh besar
mereka, yakni Iran dan Suriah. Iran dipandang sebagai musuh terbesar oleh
negara-negara Teluk yang berada di halaman depannya.
Beberapa kali
tersiar kabar, pemimpin Arab Saudi meminta AS melakukan ofensif terhadap Iran.
Mereka juga dikabarkan tak berkeberatan dengan rencana ofensif udara Israel
terhadap arsenal-arsenal nuklir Iran. Faktanya, AS dan Iran justru mencairkan
kebekuan hubungan yang sudah berjalan sekitar 35 tahun.
Lebih
mengecewakan lagi adalah sikap AS dalam kasus Suriah yang juga dipandang ”kaki
tangan” Iran. Meluasnya protes rakyat di Suriah segera mengundang negara-negara
ini untuk membantu rakyat di Suriah menjatuhkan rezim. Jatuhnya rezim Suriah
adalah poin penting bagi negara-negara sekutu AS itu. Persoalan di Suriah jadi
semakin kompleks dan rumit. Di bawah Qatar dan dengan payung Liga Arab,
negara-negara ini mendorong dan mempromosikan solusi ofensif militer untuk
menjatuhkan kekuasaan Assad di Suriah.
Namun,
lagi-lagi AS mengurungkan niatnya. Padahal, situasi dan prakondisi sudah
tersedia bagi dilaksanakannya rencana ofensif itu. Dugaan penggunaan senjata
kimia oleh rezim Assad adalah momentum sangat penting untuk mendorong militer
AS dan Barat melakukan ofensif militer. Bahkan, kapal-kapal induk AS dikabarkan
sudah bergerak ke sekitar Laut Tengah dan Laut Merah. Namun, rencana tersebut
urung dilakukan. Kekecewaan rezim-rezim sekutu AS pun makin dalam terhadap
negara itu. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar