Senin, 04 November 2013

Menuju Peta Timur Tengah yang Baru

Menuju Peta Timur Tengah yang Baru
Ibnu Burdah  ;  Pemerhati Timur Tengah dan Dunia Islam,
Dosen Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga
KOMPAS, 04 November 2013


PERGESERAN orientasi politik luar negeri Mesir tampaknya akan berpengaruh signifikan terhadap perkembangan di kawasan Timur Tengah. Mesir kian menjauh dari AS dan cenderung mendekat ke Rusia.
Terlalu dini untuk mendiskusikan apakah itu akan mengarah terbentuknya peta politik baru di kawasan tersebut. Namun, gelagat Mesir tampaknya diikuti oleh perubahan sikap sekutu AS yang lain, terutama Arab Saudi, Bahrain, dan negara Teluk lain.
Baru-baru ini ”kehebohan” terjadi seiring tersebarnya pernyataan Bandar bin Sulthan, kepala intelijen Kerajaan Arab Saudi, bahwa negeri yang sejak kelahirannya 1932 hingga sekarang membangun hubungan sangat kuat dengan AS itu tidak akan mempertahankan sikap tersebut untuk selamanya. Secara psikologis dan historis, Arab Saudi sangat sulit untuk menyusul Mesir mendekat ke Rusia. Namun, fakta makin renggangnya hubungan Arab Saudi-AS saat ini sulit dibantah.
Sejak berembusnya angin perubahan pada akhir 2010, AS telah banyak mengecewakan sekutu-sekutunya di kawasan tersebut. Rezim Zaenal Abidin bin Ali di Tunisia dan rezim Mubarak di Mesir, dua rezim pertama yang tumbang diterjang badai musim semi Arab, tentu paling merasa kecewa dengan sikap AS.
Di bawah Obama, AS tak memberikan pembelaan apa pun terhadap kedua sekutu yang sangat setia itu. Sebaliknya, setidaknya dari pernyataan-pernyataannya, AS justru mendukung arus demokratisasi yang sedang berembus di kawasan tersebut, membiarkan kedua sekutunya diterkam ”anak-anak Revolusi Arab”.
Lebih mandiri
Dua pengalaman itu menjadi catatan serius bagi sekutu-sekutu AS yang lain. Mereka tentu berpikir, AS tak bisa lagi jadi tempat bergantung dan berlindung. Kepentingan utama rezim-rezim Arab tersebut di tengah gelombang protes rakyat sekarang adalah survival kekuasaan dan keselamatan mereka dan keluarga. Dalam dua hal itu, AS terbukti tak memberikan apa pun.
Berangkat dari pengalaman inilah, negara-negara Teluk yang sebelumnya begitu bergantung kepada AS dan Barat dalam pertahanan kini berupaya mengubah sikap. Mereka berupaya lebih mandiri membangun militernya. Bagi negara-negara superkaya, langkah yang segera dilakukan adalah melengkapi kekuatan militer dengan persenjataan supercanggih dan mahal. Dan, pembelian persenjataan baik darat dan udara itu sebagian besar bukan dari AS.
Aliansi militer negara-negara Teluk juga membuat langkah baru yang tidak kecil. Mereka bersama-sama mengirimkan tentara untuk menangani protes masif yang melanda Bahrain di luar persetujuan dan dukungan AS, padahal beberapa pangkalan militer AS berada di Teluk. Bagi rezim negara-negara Teluk, protes tersebut berbau Syiah dan begitu kentara didukung Iran. Mereka yang sebenarnya juga memiliki masalah yang cukup serius antarnegara bersatu padu dan bertekad ”memerangi” protes yang mengarah kepada penjatuhan rezim itu.
Strategi ini sering disebut sebagai strategi membendung arus; jatuhnya rezim Bahrain diasumsikan bisa dengan cepat menjalarkan pengaruh terhadap gerakan protes di Arab Saudi, Qatar, Oman, Emirat, dan Kuwait. Keberhasilan mereka meredam protes besar-besaran di Bahrain, dan secara lebih terbatas di Oman dan Arab Saudi, membuat tekad mereka untuk ”mandiri” dari AS semakin kuat. Melihat keberhasilan ini, dua monarki Arab di luar Teluk, yaitu Jordania dan Maroko, ingin segera bergabung, tetapi permohonan itu ditolak. Padahal, keduanya juga dikenal sangat dekat dengan AS dan memiliki masalah serupa.
Suriah dan Iran
Kekecewaan sekutu AS makin menjadi-jadi dengan ”lembeknya” sikap AS terhadap musuh besar mereka, yakni Iran dan Suriah. Iran dipandang sebagai musuh terbesar oleh negara-negara Teluk yang berada di halaman depannya.
Beberapa kali tersiar kabar, pemimpin Arab Saudi meminta AS melakukan ofensif terhadap Iran. Mereka juga dikabarkan tak berkeberatan dengan rencana ofensif udara Israel terhadap arsenal-arsenal nuklir Iran. Faktanya, AS dan Iran justru mencairkan kebekuan hubungan yang sudah berjalan sekitar 35 tahun.
Lebih mengecewakan lagi adalah sikap AS dalam kasus Suriah yang juga dipandang ”kaki tangan” Iran. Meluasnya protes rakyat di Suriah segera mengundang negara-negara ini untuk membantu rakyat di Suriah menjatuhkan rezim. Jatuhnya rezim Suriah adalah poin penting bagi negara-negara sekutu AS itu. Persoalan di Suriah jadi semakin kompleks dan rumit. Di bawah Qatar dan dengan payung Liga Arab, negara-negara ini mendorong dan mempromosikan solusi ofensif militer untuk menjatuhkan kekuasaan Assad di Suriah.
Namun, lagi-lagi AS mengurungkan niatnya. Padahal, situasi dan prakondisi sudah tersedia bagi dilaksanakannya rencana ofensif itu. Dugaan penggunaan senjata kimia oleh rezim Assad adalah momentum sangat penting untuk mendorong militer AS dan Barat melakukan ofensif militer. Bahkan, kapal-kapal induk AS dikabarkan sudah bergerak ke sekitar Laut Tengah dan Laut Merah. Namun, rencana tersebut urung dilakukan. Kekecewaan rezim-rezim sekutu AS pun makin dalam terhadap negara itu. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar