|
Wacana
antipolitik dinasti atau kekerabatan marak belakangan ini, menyusul
berurusannya Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah dengan Komisi Pemberantasan
Korupsi.
Seperti
mendapat momentum yang tepat, berbagai elemen masyarakat Banten memprotes
fenomena tersebut. Bahwa masih dalam lingkup keluarga, kerabat Atut ada yang
menjabat sebagai Wakil Bupati Pandeglang, Wali Kota Tangerang Selatan, Wakil
Bupati Serang, dan Wali Kota Serang. Fenomena ini juga tak luput dari komentar
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Berita Kompas (19/10/13)
mencatat, setidaknya ada 37 kepala daerah terpilih yang memiliki hubungan
kekerabatan dengan pejabat di daerah lain. Mereka tersebar di sejumlah
provinsi. Sebagian kerabat meneruskan jabatan yang sama. Bupati Indramayu Anna
Sophanah meneruskan jabatan suaminya, Irianto MS Syafiuddin. Demikian pula
dengan Bupati Kendal Widya Kandi Susanti, Bupati Bantul Sri Suryawidati, Bupati
Probolinggo Puput Tantriana Sari, dan Bupati Kediri Haryanti Sutrisno, yang melanjutkan
posisi suami masing-masing. Adapun Mohammad Makmun Ibnu Fuad menggantikan
ayahnya, Fuad Amin, sebagai Bupati Bangkalan.
Pola
lainnya adalah maju dalam pilkada dengan posisi berbeda sehingga dinasti
politik bisa terbangun lebih besar. Contohnya, Gubernur Lampung Sjachroedin ZP,
sedangkan anaknya, Rycko Menoza, menjadi Bupati Lampung Selatan. Gubernur Sulut
Sinyo Harry Sarundajang dan anaknya, Ivan SJ Sarundajang, Wakil Bupati
Minahasa. Gubernur Sulsel Syahrul Yasin Limpo dan adiknya, Ichsan Yasin Limpo,
Bupati Gowa.
Dalam
konteks ini, perlu diapresiasi upaya Kementerian Dalam Negeri yang mengusulkan
pembatasan kerabat yang mencalonkan diri dalam pilkada dan juga lembaga
legislatif. Kendatipun responsnya tidak seragam terkait dengan pembatasan itu
di Dewan Perwakilan Rakyat, setidaknya isu politik kekerabatan terus
menggelinding.
Konflik
kepentingan
Isu
tersebut juga memicu kritik di tengah publik luas bahwa politik kekerabatan tak
sebatas atau sekadar terkait dengan dinasti politik di tingkat lokal, tetapi
juga dalam konteks partai politik dan lingkup nasional.
Dengan
demikian tidak dapat dicegah bahwa makna politik dinasti atau kekerabatan
tengah mengalami kemuluran atau perluasan. Makna yang luas ini memang bisa
dipahami karena kekerabatan dalam politik pada praktiknya bisa merambah ke
banyak tempat: partai politik, legislatif, eksekutif, dan jabatan publik
lainnya.
Yang
ditolak dalam politik kekerabatan sebenarnya bukan pelarangan hak politik
seseorang. Namun, untuk menghindarkan konflik kepentingan dan potensi
penyalahgunaan kekuasaan, seseorang yang masih satu kerabat—apakah ke atas atau
ke samping dengan pejabat politik aktual—perlu diberi jeda waktu kompetisi
politik. Inilah yang memerlukan aturan.
Selain
konflik kepentingan, jaringan politik kekerabatan juga berpotensi menyandera
kepentingan publik. Apalagi apabila kebijakannya didasari pola pikir
kepentingan kekerabatan. Ia akan mirip dengan ekses oligarki politik yang
mementingkan elite atau kelompoknya. Maka, kalau konflik kepentingan menjadi payung
utamanya, reformasi politik masih jauh dari final. Isu politik kekerabatan
tingkat lokal hanyalah pintu masuk untuk menguak isu-isu politik yang lebih
mendasar konflik kepentingan di tingkat nasional.
Politik
kekerabatan yang marak membentuk polanya tersendiri. Corak klientalistik dan
bosistik dalam politik kekerabatan yang marak di lingkup lokal juga akan
terpantul dalam cermin politik nasional. Filipina adalah contoh kasus yang agak
ekstrem dalam soal ini. Kritik juga marak, tetapi upaya pengaturan yang lebih
jelas belum berhasil dilakukan. Dalam kasus Filipina pula, kekerasan politik
juga lazim terkait dengan fenomena persaingan politik keluarga.
Demokrasi
lokal
Di
Indonesia, praktik politik kekerabatan tingkat lokal biasanya ditandai adanya
satu jaringan kerabat politik dominan, yang tidak segera memperoleh tandingan
yang setara. Daya rambah mereka terus menguat, bahkan tak mudah terkoreksi oleh civil
society.
Lagi
pula, yang lazim mengemuka dalam kasus-kasus politik kekerabatan ini bukan
semata atas sentimen klientalistik keningratan, tetapi lebih pada corak
pragmatis-transaksional. Karena untuk merawat popularitas dan memperkuat
jaringan kekerabatan butuh biaya besar, potensi korupsinya pun juga besar.
Wacana
antipolitik kekerabatan ini sebaiknya menjadi pelajaran bagi partai-partai
politik untuk memperkuat basis pengaderan dan orientasi meritokratiknya. Di
sisi lain, masyarakat atau civil
society juga harus lebih proaktif dalam menjernihkan demokrasi lokal. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar