Sabtu, 02 November 2013

Menunggu Reformasi Agraria

Menunggu Reformasi Agraria
Galih Andreanto ;  Kepala Departemen Kampanye dan Kajian Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA)
KOMPAS, 02 November 2013


Sebanyak 45 petani Indonesia tewas sejak 2004 hingga 2013 karena konflik agraria. Negara bergeming, menutup mata akan persoalan yang sebenarnya genting.

Memang aneh, negara besar dan luas seperti Indonesia yang terkenal akan karakter agrarianya tinggal landas meninggalkan aktor utama agrarianya: para petani lokal. Peringatan ke-53 Hari Tani Nasional setidaknya memberi pesan bahwa petani butuh perlindungan negara. Alih-alih membangun pertanian, pemerintah sibuk memainkan peran impor yang menampik peran petani lokal. Pemerintah seolah-olah berniat menghancurkan kemampuan tani bangsa sendiri.

Setelah 32 tahun membeku dalam peti es Orde Baru, jargon reformasi agraria kembali santer terdengar dalam ruang yang jauh dari hiruk-pikuk bincang politik kita. Pegiat-pegiat agraria tak lelah menunjukkan bahwa pelaksanaan reformasi agraria adalah jalan utama dan satu-satunya menuju cita-cita kemerdekaan.

Reformasi agraria wajib dilaksanakan pemerintah demi mewujudkan keadilan sosial dan menegakkan kedaulatan rakyat atas Tanah Air-nya. Namun, kemauan politik yang kuat dari pemimpin nasional menjadi syarat paling pokok sekaligus paling sulit dicapai. Butuh sosok yang melebihi kemampuan 
Soekarno, yang berkomitmen penuh menjalankan reformasi agraria sejati.

Memang kondisi obyektif hari ini berbeda dengan era Soekarno dalam fase transisi revolusi fisik (1945-1966). Akumulasi modal yang eksploitatif dan menyengsarakan rakyat yang dipraktikkan kolonialisme Belanda di Tanah Air telah memicu para pendiri bangsa melahirkan undang-undang revolusioner: UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Penetapan Dasar Pokok-pokok Agraria.

Dalam pidatonya, ”Djalannya Revolusi Kita-17 Agustus 1960”, Bung Karno mengungkapkan urgensi pelaksanaanland reform yang erat terkait dengan cita-cita Proklamasi 1945. Ia menyebutkan sebuah rencana mengesahkan UU Pokok Agraria adalah kemajuan mahapenting dalam revolusi Indonesia! 

Revolusi Indonesia tanpa land reform adalah omong besar tanpa isi. Melaksanakan land reform berarti melaksanakan satu bagian mutlak bagi revolusi Indonesia. Gembar-gembor tentang revolusi, sosialisme Indonesia, masyarakat adil dan makmur, Amanat Penderitaan Rakyat, tanpa land reform adalah gembar-gembor tukang obat di Pasar Tanah Abang atau di Pasar Senen.

Pemimpin lalim

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam janji politiknya pada kampanye periode pertama dan kedua akan melaksanakan pembaruan agraria nasional dalam bentuk redistribusi tanah dan masuk dalam RPJM 2004-2009. Reformasi agraria ditempatkan sebagai strategi pengentasan rakyat dari kemiskinan. Namun, janji itu menguap tanpa ada alat tagih yang bisa dipakai mempertanyakan kembali janji bernama reformasi agraria itu.

Tak melaksanakan reformasi agraria, apalagi menjadikannya janji politik semata, merupakan sinyal buruk bagi kepemimpinan nasional. Pemimpin macam itu lalim, bikin rakyat di tepi jurang kemiskinan di tengah negara yang kuyup sumber daya alam.

Tak dijalankannya reformasi agraria dan berlakunya praktik liberalisasi agraria selama ini menyebabkan konflik agraria meningkat dan makan korban jiwa. Kami mencatat bahwa sepanjang kekuasaan SBY, sedikitnya terjadi 618 konflik agraria di seluruh wilayah RI dengan areal konflik seluas 2.399.314,49 hektar; lebih dari 731.342 keluarga harus menghadapi ketidakadilan agraria dan konflik berkepanjangan.

Pada saat bersamaan dengan praktik pencerabutan rakyat atas tanah dan airnya, hampir semua keran impor bahan pangan dibuka, beberapa bahkan dengan Bea Masuk 0 persen. Sepanjang tahun 2012 saja, impor produk pangan Indonesia telah menyedot anggaran lebih dari Rp 125 triliun. Dana itu digunakan untuk mengimpor daging sapi, gandum, beras, kedelai, ikan, garam, kentang, dan komoditas pangan lain yang pada akhirnya hanya mematikan pertanian indonesia.

Liberalisasi pertanian tampak sekali pada impor pangan. Pada 1990, saat Indonesia belum ikut WTO dan IMF, impor kedelai kita pernah hanya 541 ton. Bandingkan dengan impor kedelai dalam tahun ini (Januari-Juli): 1,1 juta ton atau 670 juta dollar AS.

Masalah di atas kian diperparah dengan program Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), turunan kerangka penataan ulang geografis wilayah utama Asia Tenggara. Penataan ini dibuat dengan mengandalkan integrasi fungsi ekonomi dan pembagian kerja antarwilayah demi melancarkan sirkulasi modal skala dunia. MP3EI kian menguatkan struktur ekonomi kolonial yang dulu menjajah Indonesia ketika konsentrasi penguasaan tanah oleh perusahaan pemegang lisensi perkebunan, kehutanan, dan pertambangan, dan hanya menempatkan rakyat Indonesia sebagai tenaga kerja.

MP3EI yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi yang tak berpengaruh positif pada kesejahteraan rakyat tidak memperhatikan pembangunan pedesaan, rakyat desa, termasuk perempuan dan kaum marjinal lainnya. MP3EI juga turut mengancam agenda pembaruan agraria, kedaulatan pangan, kedaulatan rakyat sehingga potensial berakibat pada krisis pangan, krisis ruang hidup, konflik agraria yang semakin masif, dan melahirkan berbagai bentuk kekerasan atas perempuan dan beragam ketakadilan berbasis jender.

Untuk memuluskan jalannya penjarahan tanah dan air, aparat negara yang seharusnya melindungi segenap rakyat Indonesia justru melakukan tindakan tak arif dan bijaksana. Cara-cara represif aparat kepolisian dan militer menangani konflik dan sengketa agraria yang melibatkan kelompok masyarakat petani dan komunitas adat mengakibatkan 941 orang ditahan, 396 orang luka-luka, 63 orang di antaranya luka serius akibat peluru aparat, serta 45 orang meninggal di wilayah konflik dalam 2004-2012.

Itu membuktikan: negara abai memberi jaminan perlindungan bagi warga negara karena terancam konflik agraria dan kekerasan dari aparat negara.

Pemerintah sebenarnya dapat menunjukkan itikad baiknya: melahirkan kebijakan yang mendorong terciptanya syarat reformasi agraria seperti pendaftaran tanah; membuat lembaga khusus penyelesaian konflik agraria di tingkat nasional dan lokal; meninjau ulang hak-hak guna usaha yang selama ini bersengketa. Ketiga kebijakan itu masih bisa diharapkan dari SBY-Boediono. Jika sampai berakhirnya rezim ini prasyarat reformasi agraria tidak diciptakan, butuh ekstra tenaga melaksanakannya dalam periode mendatang. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar