|
Sebanyak
45 petani Indonesia tewas sejak 2004 hingga 2013 karena konflik agraria. Negara
bergeming, menutup mata akan persoalan yang sebenarnya genting.
Memang aneh, negara besar dan luas seperti Indonesia yang
terkenal akan karakter agrarianya tinggal landas meninggalkan aktor utama
agrarianya: para petani lokal. Peringatan ke-53 Hari Tani Nasional setidaknya
memberi pesan bahwa petani butuh perlindungan negara. Alih-alih membangun
pertanian, pemerintah sibuk memainkan peran impor yang menampik peran petani
lokal. Pemerintah seolah-olah berniat menghancurkan kemampuan tani bangsa
sendiri.
Setelah 32 tahun membeku dalam peti es Orde Baru, jargon
reformasi agraria kembali santer terdengar dalam ruang yang jauh dari
hiruk-pikuk bincang politik kita. Pegiat-pegiat agraria tak lelah menunjukkan
bahwa pelaksanaan reformasi agraria adalah jalan utama dan satu-satunya menuju
cita-cita kemerdekaan.
Reformasi agraria wajib dilaksanakan pemerintah demi
mewujudkan keadilan sosial dan menegakkan kedaulatan rakyat atas Tanah Air-nya.
Namun, kemauan politik yang kuat dari pemimpin nasional menjadi syarat paling
pokok sekaligus paling sulit dicapai. Butuh sosok yang melebihi kemampuan
Soekarno, yang berkomitmen penuh menjalankan reformasi agraria sejati.
Memang kondisi obyektif hari ini berbeda dengan era Soekarno
dalam fase transisi revolusi fisik (1945-1966). Akumulasi modal yang
eksploitatif dan menyengsarakan rakyat yang dipraktikkan kolonialisme Belanda
di Tanah Air telah memicu para pendiri bangsa melahirkan undang-undang
revolusioner: UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Penetapan Dasar Pokok-pokok
Agraria.
Dalam pidatonya, ”Djalannya Revolusi Kita-17 Agustus 1960”,
Bung Karno mengungkapkan urgensi pelaksanaanland reform yang erat terkait
dengan cita-cita Proklamasi 1945. Ia menyebutkan sebuah rencana mengesahkan UU
Pokok Agraria adalah kemajuan mahapenting dalam revolusi Indonesia!
Revolusi
Indonesia tanpa land reform adalah omong besar tanpa isi.
Melaksanakan land reform berarti melaksanakan satu bagian mutlak bagi
revolusi Indonesia. Gembar-gembor tentang revolusi, sosialisme Indonesia,
masyarakat adil dan makmur, Amanat Penderitaan Rakyat, tanpa land reform adalah
gembar-gembor tukang obat di Pasar Tanah Abang atau di Pasar Senen.
Pemimpin
lalim
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam janji politiknya pada
kampanye periode pertama dan kedua akan melaksanakan pembaruan agraria nasional
dalam bentuk redistribusi tanah dan masuk dalam RPJM 2004-2009. Reformasi
agraria ditempatkan sebagai strategi pengentasan rakyat dari kemiskinan. Namun,
janji itu menguap tanpa ada alat tagih yang bisa dipakai mempertanyakan kembali
janji bernama reformasi agraria itu.
Tak melaksanakan reformasi agraria, apalagi menjadikannya
janji politik semata, merupakan sinyal buruk bagi kepemimpinan nasional.
Pemimpin macam itu lalim, bikin rakyat di tepi jurang kemiskinan di tengah
negara yang kuyup sumber daya alam.
Tak dijalankannya reformasi agraria dan berlakunya praktik
liberalisasi agraria selama ini menyebabkan konflik agraria meningkat dan makan
korban jiwa. Kami mencatat bahwa sepanjang kekuasaan SBY, sedikitnya terjadi
618 konflik agraria di seluruh wilayah RI dengan areal konflik seluas 2.399.314,49
hektar; lebih dari 731.342 keluarga harus menghadapi ketidakadilan agraria dan
konflik berkepanjangan.
Pada saat bersamaan dengan praktik pencerabutan rakyat atas
tanah dan airnya, hampir semua keran impor bahan pangan dibuka, beberapa bahkan
dengan Bea Masuk 0 persen. Sepanjang tahun 2012 saja, impor produk pangan
Indonesia telah menyedot anggaran lebih dari Rp 125 triliun. Dana itu digunakan
untuk mengimpor daging sapi, gandum, beras, kedelai, ikan, garam, kentang, dan
komoditas pangan lain yang pada akhirnya hanya mematikan pertanian indonesia.
Liberalisasi pertanian tampak sekali pada impor pangan. Pada
1990, saat Indonesia belum ikut WTO dan IMF, impor kedelai kita pernah hanya
541 ton. Bandingkan dengan impor kedelai dalam tahun ini (Januari-Juli): 1,1
juta ton atau 670 juta dollar AS.
Masalah di atas kian diperparah dengan program Rencana Induk
Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), turunan
kerangka penataan ulang geografis wilayah utama Asia Tenggara. Penataan ini
dibuat dengan mengandalkan integrasi fungsi ekonomi dan pembagian kerja
antarwilayah demi melancarkan sirkulasi modal skala dunia. MP3EI kian
menguatkan struktur ekonomi kolonial yang dulu menjajah Indonesia ketika
konsentrasi penguasaan tanah oleh perusahaan pemegang lisensi perkebunan,
kehutanan, dan pertambangan, dan hanya menempatkan rakyat Indonesia sebagai
tenaga kerja.
MP3EI yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi yang tak
berpengaruh positif pada kesejahteraan rakyat tidak memperhatikan pembangunan
pedesaan, rakyat desa, termasuk perempuan dan kaum marjinal lainnya. MP3EI juga
turut mengancam agenda pembaruan agraria, kedaulatan pangan, kedaulatan rakyat
sehingga potensial berakibat pada krisis pangan, krisis ruang hidup, konflik
agraria yang semakin masif, dan melahirkan berbagai bentuk kekerasan atas
perempuan dan beragam ketakadilan berbasis jender.
Untuk memuluskan jalannya penjarahan tanah dan air, aparat
negara yang seharusnya melindungi segenap rakyat Indonesia justru melakukan
tindakan tak arif dan bijaksana. Cara-cara represif aparat kepolisian dan
militer menangani konflik dan sengketa agraria yang melibatkan kelompok
masyarakat petani dan komunitas adat mengakibatkan 941 orang ditahan, 396 orang
luka-luka, 63 orang di antaranya luka serius akibat peluru aparat, serta 45
orang meninggal di wilayah konflik dalam 2004-2012.
Itu membuktikan: negara abai memberi jaminan perlindungan
bagi warga negara karena terancam konflik agraria dan kekerasan dari aparat
negara.
Pemerintah sebenarnya dapat menunjukkan itikad baiknya:
melahirkan kebijakan yang mendorong terciptanya syarat reformasi agraria
seperti pendaftaran tanah; membuat lembaga khusus penyelesaian konflik agraria
di tingkat nasional dan lokal; meninjau ulang hak-hak guna usaha yang selama
ini bersengketa. Ketiga kebijakan itu masih bisa diharapkan dari SBY-Boediono.
Jika sampai berakhirnya rezim ini prasyarat reformasi agraria tidak diciptakan,
butuh ekstra tenaga melaksanakannya dalam periode mendatang. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar