Kamis, 18 Juli 2013

Utang Swasta dan Pelemahan Rupiah

Utang Swasta dan Pelemahan Rupiah
Ferry Ferdiansyah ;  Mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Mercubuana Jakarta Program Studi Magister Komunikasi
OKEZONENEWS, 15 Juli 2013


Akhir-akhir ini rupiah terus dirudung duka, menyikapi fenomena ini banyak pihak yang meminta pelaku pasar agar tidak panik.  Dilihat dari realitas, nilai tukar mata uang rupiah yang ditransaksikan antarbank di Jakarta terus bergerak lemah, bahkan telah menembus angka 14 poin menjadi Rp9.942 dibanding posisi sebelumnya yang hanya dikisaran angka Rp9.928 per dolar AS.
  
Meski pelemahan saat ini cenderung bersifat sementara, namun tetap harus diwaspadai. Penulis mengapresiasikan langkah yang ditempuh Bank Indonesia (BI) dalam menyikapi permasalahan ini. Pada saat menggelar Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia, beberapa waktu lalu. BI telah memutuskan untuk menaikkan suku bunga deposit facility sebesar 25 basis poin, dari 4 persen menjadi 4,25 persen berlaku mulai 12 Juni 2013. Selain itu, BI tetap akan memenuhi kebutuhan likuiditas valas dan rupiah di pasar. Langkah ini ditempuh, dikarenakan salah satu faktor yang menyebabkan merosotnya cadangan devisa ke level 105,3 miliar dollar AS disinyalir tingginya permintaan valuta asing untuk keperluan impor.
     
Upaya penyelamatan yang dilakukan oleh BI, sangat jelas sebagai bagian untuk melindungi stabilitas moneter dan memiliki tujuan, agar luka lama bayangan hitam yang pernah menyelimuti bangsa ini tidak terulang kembali. Belajar dari pengalaman sejarah krisis moneter 1997. Saat itu, Indonesia mengalami keterpurukan dan dipaksakan harus menelan pil pahit. Pudarnya kepercayaan ekonomi dunia terhadap negeri ini saat itu, membawa efek semakin terpuruknya nilai kepercayaan ekonomi nasional ke titik nol dan membuat rupiah ditutup pada level Rp 4.850 per USD. Di tahun yang Rupiah terus mengalami terjun bebas ke level sekitar Rp 17.000 per USD pada 22 Januari 1998. Di sinyalir pelemahan ini, selain akibat meningkatnya permintaan dolar untuk membayar utang, juga sebagai reaksi terhadap angka-angka RAPBN 1998/1999 yang diumumkan 6 Januari 1998. Angka-angka tersebut dinilai tak realistis. 
  
Puncaknya, pada tahun 1998, saat itu terjadi tragedi perekonomian bangsa. Situasi yang terekam berlangsung sangat tragis dan tercatat sebagai periode paling mencekam dalam sejarah perjalanan bangsa. Seperti penulis ketahui, kurang dari setahun, perubahan dramatis terjadi di negeri ini. Prestasi ekonomi yang telah diukir secara gemilang dalam dua dekade terakhir, hilang sirna bagaikan ditelan badai. Harapan menjadi bangsa yang lebih baik saat itu, dalam menyongsong milenium ketiga, sirna seketika dalam waktu yang sangat singkat, dan dirasakan secara nyata oleh masyarakat dan dunia usaha. Meski Dana Moneter Internasional (IMF) mulai turun tangan sejak Oktober 1997, namun terbukti tidak mampu memperbaiki stabilitas ekonomi dan rupiah. Kelumpuhan terus menghinggapi seluruh sendi-sendi kehidupan bangsa dan tercatat sebagai krisis yang terparah di Asia Tenggara. 

Penurunan Rupiah

  
Bank Indonesia telah mencatat, cadangan devisa sampai dengan akhir Februari 2013 berkurang 3,58 miliar dollar AS. Akhir bulan lalu, cadangan devisa Indonesia 105,2 miliar dollar AS atau setara dengan 5,7 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah. Pada Januari lalu pun penurunan terjadi sekira 4 miliar dollar AS menjadi 108,78 miliar dollar AS atau setara dengan 5,9 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri. Padahal, cadangan devisa pada Desember 2012 berada di posisi 112,78 miliar dollar AS atau setara dengan 6,1 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah.
  
Berdasarkan data yang di rilis Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat realisasi total investasi Penanaman Modal Asing (PMA) dan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) selama Triwulan I (Januari-Maret) 2013, mencapai Rp93,0 triliun, tumbuh 30,6 persen dibanding realisasi investasi periode sama 2012 sebesar Rp71,2 triliun. Dapat dipastikan jika rupiah terus mengalami penurunan tentunya akan berbahaya bagi kepercayaan investor asing ke Indonesia, dan dapat dipastikan menyebabkan keluarnya modal asing secara masif (sudden reversal). Gambaran ini akan menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah dan BI. Karena jika sampai dibiarkan, dapat dipastikan rupiah akan terus mengalami pelemahan cukup tajam. Jika dana pemerintah tidak mampu menahannya, menyebabkan rating yang diraih Indonesia akan tergerus dengan sendirinya.
  
Penilaian penulis tren penurunan cadangan devisa ini diduga karena devisa hasil ekspor (DHE) tidak optimal masuk ke perbankan sebagai salah satu suplai valas. Apalagi, menurut BI terdapat eksportir yang membandel dan menolak memarkir dananya di bank devisa Indonesia, terutama kontraktor migas. Tercatat dana asing yang masuk pada bulan Februari lalumencapai 2 miliar dollar AS. Fakta ini menjadi pemandangan unik, yang menandakan ada kebutuhan akan dollar AS dalam nilai yang cukup besar, dan BI harus menyuplai ke pasar untuk menghindari pelemahan. Jika penurunan ini tidak mampu dihentikan dalam 1-2 bulan ke depan, cadangan devisa akan mengalami penurun hingga berada di bawah 100 miliar dollar AS. 
  
Sangat disayangkan keberuntungan yang diraih Indonesia pada 2012 lalu, di mana terjadi krisis yang ditiup dari Eropa dan Amerika Serikat, Indonesia masih tetap berdiri kokoh. Pada hal di tahun yang sama terkatat untuk ukuran Indonesia dengan ekonomi USD850 ribu, pertumbuhan 6,4% tergolong tinggi sejak negara ini terlahir. Serta performa impresif ekonomi Indonesia yang ditandai dengan bertahannya pertumbuhan ekonomi nasional di tengah ancaman krisis global dan adanya pengakuan dari berbagai kalangan baik dari dalam negeri maupun dunia internasional, harus sirna karena ulah swasta yang menomor duakan rupiah dalam melakukan transaksi.
  
Hal ini menunjukan, pelemahan rupiah yang terjadi saat ini, bukan karena “faktor kinerja ekonomi” pemerintah, seperti investment layoff ataupun pindahnya dana asing dari Indonesia. Pada 1997, krisis di negeri ini ditimbulkan oleh devaluasi baht, yang menjadi pemicu, kondisi saat ini ternyata lebih banyak dikarenakan utang swasta yang menggunakan dolar sebagai pemicunya. Sangat jelas, kalangan swasta membutuhkan lebih banyak dolar untuk membayar utangnya ke pihak asing, dengan sendirinya keadaan ini membawa pengaruh pada penekanan posisi rupiah. 
  
Penulis menyimpulkan, dapat dikatakan stabilitas ekonomi kita masih berada pada titik yang aman. Pelemahan rupiah hanya “gangguan” sementara, yang disebabkan oleh utang swasta. Sepatutnya, pihak swasta mengedepankan rupiah secara umum di wilayah Indonesia. Meski ancaman ini hanya bersifat sementara, ancaman krisis kepercayaan terhadap rupiah dapat dipastikan akan menciptakan instrumen krisis yang dapat menimbulkan kesengsaraan di negeri ini. 
pL�a h� �� yak dalam menentukan calon pemimpin.

Selama ini parpol peserta pemilu sepakat untuk membuat aturan main dan menyerahkan hak istimewa mereka sebagai parpol yang berhak mengusulkan pasangan capres. Parpol sepakat bahwa jika sebagai parpol peserta pemilu yang ingin secara sendiri-sendiri mengusulkan pasangan capres, parpol tersebut harus memenuhi ambang batas perolehan minimal 20% dari jumlah kursi DPR atau 25% perolehan suara sah nasional dalam Pemilu DPR. Alasan akademis yang sering dipakai dan paling ampuh untuk mengecoh ialah guna penguatan presidensial. Padahal sesungguhnya, sekali lagi, hal itu tidak korelatif dan linear.
Namun yang pasti, ambang batas yang berlaku selama ini bukanlah tergolong perbuatan `tak senonoh' menurut konstitusi. Ada keadaan pascadua periode pemilu langsung presiden, rakyat harus dibahasakan dengan bahasa yang mudah dicerna mengenai ambang batas presidensial tersebut.
Bahasa yang mudah dicerna bahwa kalau ambang batas 20%, rakyat hanya disuguhi menu prasmanan pasangan capres pada pemilu nanti maksimal lima macam menu (pasangan capres). Kalau ambang batasnya diturunkan hingga lebih rendah, mungkin titik 0% (cukup terdaftar sebagai peserta pemilu), menu yang disajikan memungkinkan hingga 12 macam menu (pasangan capres) dari 12 peserta pemilu legislatif saat ini.
Oleh karenanya, jika wacana tersebut dibawa ke perdebatan hak istimewa parpol dalam mengusulkan pasangan capres, akan terjadi eksklusivitas perdebatan di antara parpol itu sendiri. Yang pasti ruang dialektika sesungguhnya ialah kalkulasi politik atau kekuasaan di antara parpol itu sendiri yang bisa jadi atmosfernya adalah saling jegal di antara mereka sendiri. Namun yang pasti, dialektika publiknya tidak akan sevulgar itu, tetapi akan menggunakan isu yang lebih mudah mengecoh, yaitu penguatan presidensial.
Padahal, esensi perdebatan ambang batas ini sesungguhnya bukan hak parpol, melainkan yang utama ialah hak rakyat untuk memilih dari menu prasmanan yang bakal disajikan parpol di pemilu presiden mendatang.
Oleh karenanya, isu ambang batas presidensial jangan terburu-buru ditutup di DPR. Lemparkanlah ke rakyat hingga beberapa waktu ke depan. Jika rakyat memang lebih menginginkan sedikit menu prasmanan karena produknya dijamin berkualitas dan bergaransi pada pilpres nantinya, atau setidaknya rakyat ternyata masih menyukai menu yang itu-itu saja seperti pemilu ke marin, ambang batas presidensial tidak urgen untuk diubah.
Namun kalau rakyat menginginkan ada menu baru dan pilihan lebih variatif karena rakyat sudah sadar tidak ingin dipaksa mencicipi menu yang dipaksakan di antara parpol itu sendiri, parpol harus legowo memenuhi kehendak rakyat untuk merevisi ambang batas itu.
Semua bergantung pada ketersadaran rakyat akan hak konstitusional sebagai pemilik kedaulatan. Yang pasti, bandul tersebut berada pada kearifan parpol dalam mendesain demokrasi konstitusional kita, apakah lebih senang berjudi dalam `kawin paksa' pasangan capres, atau melakukan purifikasi akan hak keistimewaan mereka sebagai pemilik hak secara sendiri dalam mengusulkan pasangan capres yang diberikan langsung oleh konstitusi? 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar