|
MEDIA
INDONESIA, 22 Juli 2013
BULAN Ramadan tahun ini membuat kita tak berhenti untuk
merasa prihatin mengenai maraknya kekerasan dan anarkisme di tengah masyarakat.
Atas nama agama, masih ada saja kita temui beberapa kasus yang melibatkan
organisasi sosial keagamaan yang mempertontonkan kekerasan. Belum lagi praktik
tawuran antarmasyarakat yang terjadi di Ramadan ini seolah ikut mengotori wajah
bulan suci yang dimuliakan kaum muslim seluruh dunia. Apa sebenarnya yang
sedang terjadi di masyarakat kita, serta bagaimana sesungguhnya cara kita
meletakkan bulan penuh rahman ini dalam konteks pendidikan umat?
Ada episode sangat buruk bagi dunia pendidikan Indonesia
yang semakin dikotori perilaku tidak terpuji berupa tindakan anarkistis.
Munarman, juru bicara Front Pembela Islam (FPI), Jumat (28/6), pada acara
diskusi publik di forum Apa Kabar Indonesia yang di selenggarakan salah satu
televisi swasta, secara terangterangan dan tanpa merasa bersalah menunjukkan
sikap anarkistis dengan menumpahkan secangkir air teh manis ke wajah Tamrin
Amal Tomagola, Guru Besar Sosiologi UI, karena ada perbedaan pendapat.
Sikap
tersebut mengundang perhatian pemirsa televisi seluruh Indonesia. Bahkan,
peristiwa itu menjadi trending topic
di dunia internasional karena videonya secara live diunggah dalam Youtube.
Akibatnya luar biasa, kaum netizen di seluruh dunia yang jumlahnya jutaan,
bahkan ratusan juta (karena tidak dibatasi negara), mengecam tindakan Munarman.
Sekali lagi, itu pun mencemari dunia pendidikan internasional sekaligus
memalukan bangsa Indonesia di mata dunia.
Insiden
penyiraman air the yang dilakukan Munarman juga dikecam Mendikbud Mohammad Nuh.
Ia menilai hal itu tidak pantas dilakukan karena tidak mendidik. “Jelas tidak mendidik. Boleh kita beda
pendapat, tapi kalau hal seperti itu sudah tidak pada tempatnya,“ kata M
Nuh di Jakarta, (28/6).
Pendidikan anarki
Sekali
lagi, M Nuh menegaskan, tindakan Munarman sama sekali tidak mendidik. M Nuh
berharap jangan sampai peristiwa yang ditonton banyak masyarakat itu terulang
lagi. “Justru kita itu perlu jaga (hal)
seperti itu, apalagi itu disiarkan. Kalau sudah mengarah ke fisik, tidak boleh
dilakukan,“ cetus mantan Rektor ITS tersebut.
Kasus
Munarman hanya salah satu kasus dari `pendidikan anarki' di Indonesia. Masih
banyak kasus lain serupa itu, bahkan lebih tragis. Misalnya, guru menempeleng
muridnya di saat apel. Seorang pengasuh pesantren di Depok, misalnya, di
Youtube terlihat memukul salah seorang guru di hadapan para santri. Di sebuah
sekolah dasar di Jawa Timur, misalnya, ada guru yang menendang muridnya hanya
karena murid itu terlambat masuk beberapa menit.
Masih banyak kasus semacam itu yang tanpa disadari menjadi `pendidikan anarki'
kepada anak didik kita.
Apa
yang dikatakan M Nuh benar. Tindakan ekstrem Munarman, bila dilihat anak-anak
kecil dan remaja Indonesia, bisa menjadi `virus anarki' yang bisa berkembang
biak di manamana, mulai rumah, tempat kursus, sekolah, sampai di tempat-tempat
umum. Kasus-kasus tersebut merupakan kasus besar dalam dunia pendidikan,
khususnya pendidikan anakanak dan remaja yang rentan pengaruh buruk. Jika suatu
ketika anak-anak Indonesia terlibat diskusi panas dengan topik tertentu di luar
negeri, lalu melakukan hal yang sama seperti Munarman kepada rekan-rekan
diskusi nya dari negara asing, mau dikemanakan wajah moral dan etika bangsa
ini?
Teladani Nabi
Kasus
siraman teh dan penempelengan guru di depan para santri tadi benar-benar telah
mencoreng wajah pendidikan di Indonesia, bahkan secara khusus telah
mempermalukan dunia pendidikan Islam. Beberapa aspek keislaman dan keimanan
telah dicabik-cabik orang-orang yang seharusnya menjadi teladan umat. Seorang
muslim yang baik seharusnya bisa meneladani Rasulullah, Muhammad SAW. Beliau
amat sabar, mau mendengar, dan menerima perbedaan pendapat dengan santun.
Nabi
Muhammad, misalnya, tidak pernah berbuat anarki terhadap orang-orang yang
menyerang dan menghinanya. Sewaktu berdakwah di Thaif, Rasul dilempari batu dan
kotoran unta oleh penduduk setempat. Nabi tidak membalas, bahkan mendoakan
mereka agar diampuni Allah. “Ya Allah,“ kata Rasul, “mereka melakukan itu
karena ketidaktahuannya.“ Peristiwa lainnya, Nabi diejek dan dihina seorang
perempuan tua beragama Yahudi. Padahal, Nabi tiap hari memberinya makanan,
bahkan menyuapi perempuan itu. Nabi tidak marah. Hasil dari akhlak Rasul yang
pemaaf itu ternyata sangat bagus, penduduk Thaif akhirnya masuk Islam dan
menjadi pembela Rasul. Perempuan Yahudi itu pun masuk Islam setelah tahu siapa
orang yang selalu dimakinya.
Nabi
Muhammad juga sangat menghormati manusia meskipun dia tidak beragama Islam. Bahkan
terhadap manusia yang telah mati pun, Nabi masih menghormatinya. Suatu ketika
ada iring-iringan orang yang sedang membawa mayat. Rasul menyuruh
sahabat-sahabatnya berdiri untuk menghormati mayat tersebut. Seorang sahabat
bertanya, “Kenapa ya Rasul kami harus
berdiri menghormati mayat orang kafir?” Jawab Rasul karena dia adalah
manusia. Itulah akhlak Rasul dan Rasul adalah suri teladan umat. “Sesungguhnya
dalam diri Rasulullah terdapat suri teladan yang baik bagimu.” (QS 33:21).
Lebih
jauh lagi, Islam sangat menghargai kemanusiaan. Sejahat apa pun manusia itu,
tapi nilai kemanusiaan harus dihargai. Allah, misalnya, ketika menyuruh Harun
dan Musa menemui Fir'aun untuk mengajak sang raja beriman kepada-Nya, memberi
tahu Musa untuk menghormati Fir'aun dengan berbicara sopan dan lembut. Dalam
Surah Thaha 44, misalnya, disebutkan, Allah menyuruh Musa dan Harun untuk
berbicara dengan lemah lembut kepada Fir'aun. Dengan kata-kata yang lembut itu
bisa diharapkan, Fir'aun akan luluh dan kemudian beri man kepada Allah. Meski
akhirnya terbukti bahwa Fir'aun tetap tidak mau beriman, ada pelajaran yang
amat berharga dari ayat tersebut, yaitu manusia ha rus menghormati manusia
lain.
Dengan
demikian, penghormatan kepada kemanusiaan merupakan substansi keberimanan
seseorang kepada Tuhan. Dalam hal berdebat, Islam mengajarkan berdebat harus
dilakukan dengan santun dan baik.
Dalam
Surah An-Nahl ayat 125, Allah mengajarkan etika berdiskusi (berdebat). Jika
terjadi perdebatan, lakukanlah dengan cara yang baik. Barangkali, itulah seni
berdiskusi dalam Islam. Berdebat boleh panas, tapi materi perdebatan jangan
menyimpang dari jalur masalah sehingga menghina individu. Pada ujung perdebatan
jika tidak ditemukan kesepakatan, Allah mengajarkan untuk bersikap saling
menghormati pandangan masingmasing. Soal benar dan salah nya pandangan
tersebut, Allah yang akan menilainya.
Demikian
tinggi penghormatan Allah kepada manusia sehingga Alquran menyatakan bahwa
barang siapa membunuh manusia yang tidak bersalah berarti ia telah membunuh
seluruh manusia. “Barang siapa yang
membunuh seorang manusia bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau
bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah
membunuh manusia seluruhnya. Dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang
manusia, maka seolaholah dia telah memelihara kehidupan manusia seluruhnya.”
(QS 5:32).
Ayat
tersebut jelas mengingatkan kepada manusia betapa berharganya nilai
kemanusiaan. Penghargaan kemanusiaan inilah yang di kemudian hari, di abad
ke-20, diberi label hak asasi manusia (HAM). Eksplorasi terhadap nilai-nilai
kemanusiaan makin lama makin luas. Nilai-nilai kemanusiaan itu mulai dari
pemberian hak bermain kepada anak-anak hingga hak mendapat penghormatan orang
tua dari orang yang lebih muda.
Dari
paparan tersebut, kita bisa mengetahui sejauh mana pendidikan antianarki--yaitu
pendidikan yang lebih mengedepankan dialog, menghargai manusia dan kemanusiaan,
serta menerapkan sopan santun dalam pergaulan--dihayati kaum muslimin. Beberapa
kasus yang disajikan di awal tulisan ini menggambarkan bahwa umat Islam belum
benar-benar menjadikan akhlak Rasulullah yang ramah, santun, dan pemaaf sebagai
teladan dalam kehidupan sehariharinya. Karena itu, mumpung bulan Ramadan, mari
kita belajar dan menyimak kembali akhlak Rasul yang ramah dan menyejukkan itu. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar