|
KORAN
TEMPO, 16 Juli 2013
Pemilihan kepala daerah di Provinsi Sumatera Selatan
memberikan gambaran paling konkret penyalahgunaan kekuasaan oleh petahana.
Hasil rekapitulasi dan penetapan pasangan calon terpilih yang dimenangi oleh
petahana dan ditetapkan Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) dibatalkan oleh
Mahkamah Konstitusi melalui putusan Nomor 79/PHPU.D-XI/2013.
Dalam putusannya, Mahkamah Konstitusi memerintahkan kepada
KPU Provinsi Sumatera Selatan untuk melakukan pemungutan suara ulang di seluruh
tempat pemungutan suara (TPS) pada 4 kabupaten/kota dan 1 kecamatan (Koran Tempo,
13/7). Hal ini disebabkan oleh kuatnya bukti yang menyatakan telah terjadi
pelanggaran yang bersifat sistematis, terstruktur, dan masif, sehingga
berpotensi mempengaruhi hasil pemilukada.
Dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah Konstitusi meyakini
telah terjadi pelanggaran terhadap 2 (dua) hal, yaitu pertama bahwa telah
terjadi mobilisasi terhadap para kepala desa di salah satu kecamatan yang
bertujuan untuk memenangkan pasangan calon terpilih. Kedua, pasangan calon
terpilih telah menggunakan APBD untuk kepentingan pemenangannya dalam
pemilukada.
Dalam fakta persidangan terungkap bahwa penggunaan APBD
tersebut berkaitan dengan penggelontoran alokasi dana hibah dan bantuan sosial
(bansos) dalam APBD Provinsi Sumatera Selatan tahun anggaran 2013 yang jumlahnya
lebih dari Rp 1,4 triliun. Pemberian dana tersebut dipandang sangat tak wajar,
tidak selektif, dan terkesan dipaksakan, karena diberikan menjelang
penyelenggaraan pemilukada, sehingga patut diduga adanya kampanye terselubung
yang digunakan oleh pasangan calon terpilih sebagai petahana dengan
memanfaatkan APBD.
Pidana korupsi
Putusan Mahkamah Konstitusi adalah putusan pengadilan (constitutional court) yang memiliki
kekuatan hukum. Karena itu, putusannya merupakan sebuah kebenaran hukum yang
telah dibuktikan dalam sebuah proses persidangan. Pelanggaran yang dilakukan
oleh calon terpilih juga tidak boleh dipandang hanya dalam konteks pelanggaran
dalam pemilukada, tapi juga harus dilihat dari sisi hukum pidana.
Pertimbangan Mahkamah yang menyebutkan secara eksplisit
bahwa terjadi penyalahgunaan anggaran negara (APBD) oleh petahana adalah bagian
dari tindak pidana korupsi. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (tipikor)
menempatkan perbuatan penyalahgunaan kewenangan (abuse of power), kesempatan
atau sarana karena jabatan atau kedudukan yang ada padanya, menguntungkan
dirinya sendiri atau orang lain, serta dapat merugikan keuangan negara sebagai
bagian dari tindak pidana korupsi.
Jika diperbandingkan, pertimbangan Mahkamah Konstitusi
sangat memenuhi rumusan dalam Undang-Undang Tipikor. Karena itu, sudah
sepatutnya penegak hukum, khususnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), segera
melakukan tindakan penyelidikan atau bahkan penyidikan dengan menggunakan
putusan Mahkamah Konstitusi sebagai bukti awal yang cukup. Upaya penindakan
penting dilakukan mengingat akan banyaknya penyelenggaraan pemilukada yang
bakal berlangsung menjelang Pemilu 2014 atau sesudahnya.
Kasus ini akan menjadi peringatan bagi para petahana untuk
tidak menggunakan kewenangannya dalam kontestasi pemilu di tingkat lokal. Bukan
hanya dalam konteks pemilukada, tapi juga bagi para pejabat, menteri, dan
kepala lembaga/institusi lain yang ikut mencalonkan diri dalam pemilu.
RUU Pilkada, apa kabar?
Melihat fenomena banyaknya kepala daerah yang tersandera
kasus korupsi, ditambah maraknya penyalahgunaan kekuasaan oleh para petahana,
maka pengaturan penyelenggaraan pemilukada juga semestinya mampu memitigasi
problem korupsi tersebut.
Biaya politik yang tinggi dalam penyelenggaraan pilkada
dituding menjadi salah satu problem serius yang semestinya mendapat perhatian
lebih. Kelemahan pengaturan dana politik telah menjadikan pilkada sebagai ajang
transaksional dan pertarungan para pemodal. Biaya politik yang "tidak tak
terbatas" menyebabkan para calon terpilih tersandera untuk mengembalikan
modal politiknya. Ini diperparah oleh pengaturan dana politik dalam pemilukada
yang memang sangat minimalis.
Namun, jika melihat politik hukum RUU Pilkada yang digagas
oleh pemerintah, dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri, tidaklah menempatkan
problem akut korupsi kepala daerah dalam kerangka rancangan regulasi tersebut.
Jika membaca secara cermat dalam Naskah Akademik (NA) RUU Pilkada, pengaturan dana
politik (kampanye) tidak menjadi isu penting yang harus diatur. Bahkan, dalam
proses pembahasan di DPR, persoalan dana politik tidak menjadi bagian dari
cluster isu yang dibahas.
Maka kita patut menyayangkan politik hukum RUU Pilkada baik
dari pihak pemerintah maupun DPR yang begitu buruk. Pengalaman pemilukada di
Sumatera Selatan di atas seharusnya menjadi momentum yang paling tepat untuk
memperbaiki pengaturan pemilukada ke masa depan. Agar penyalahgunaan kewenangan
dan praktek politik uang (money politics) oleh para calon kepala daerah yang
selama ini mengotori wajah demokrasi di tingkat lokal dapat diminimalisasi.
Jika tidak segera diatur, publik tentu akan menilai
pemerintah dan DPR tak memiliki niat baik memperbaiki kualitas demokrasi di
daerah. Dan itu berarti mereka justru menjadi bagian dari upaya yang
melanggengkan praktek penyalahgunaan kekuasaan dan politik uang. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar