Minggu, 21 Juli 2013

Politik Hukum RUU Pemilukada

Politik Hukum RUU Pemilukada
Reza Syawawi; Peneliti Hukum dan Kebijakan Transparency International Indonesia
KORAN TEMPO, 16 Juli 2013


Pemilihan kepala daerah di Provinsi Sumatera Selatan memberikan gambaran paling konkret penyalahgunaan kekuasaan oleh petahana. Hasil rekapitulasi dan penetapan pasangan calon terpilih yang dimenangi oleh petahana dan ditetapkan Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi melalui putusan Nomor 79/PHPU.D-XI/2013.
Dalam putusannya, Mahkamah Konstitusi memerintahkan kepada KPU Provinsi Sumatera Selatan untuk melakukan pemungutan suara ulang di seluruh tempat pemungutan suara (TPS) pada 4 kabupaten/kota dan 1 kecamatan (Koran Tempo, 13/7). Hal ini disebabkan oleh kuatnya bukti yang menyatakan telah terjadi pelanggaran yang bersifat sistematis, terstruktur, dan masif, sehingga berpotensi mempengaruhi hasil pemilukada.
Dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah Konstitusi meyakini telah terjadi pelanggaran terhadap 2 (dua) hal, yaitu pertama bahwa telah terjadi mobilisasi terhadap para kepala desa di salah satu kecamatan yang bertujuan untuk memenangkan pasangan calon terpilih. Kedua, pasangan calon terpilih telah menggunakan APBD untuk kepentingan pemenangannya dalam pemilukada.
Dalam fakta persidangan terungkap bahwa penggunaan APBD tersebut berkaitan dengan penggelontoran alokasi dana hibah dan bantuan sosial (bansos) dalam APBD Provinsi Sumatera Selatan tahun anggaran 2013 yang jumlahnya lebih dari Rp 1,4 triliun. Pemberian dana tersebut dipandang sangat tak wajar, tidak selektif, dan terkesan dipaksakan, karena diberikan menjelang penyelenggaraan pemilukada, sehingga patut diduga adanya kampanye terselubung yang digunakan oleh pasangan calon terpilih sebagai petahana dengan memanfaatkan APBD.
Pidana korupsi
Putusan Mahkamah Konstitusi adalah putusan pengadilan (constitutional court) yang memiliki kekuatan hukum. Karena itu, putusannya merupakan sebuah kebenaran hukum yang telah dibuktikan dalam sebuah proses persidangan. Pelanggaran yang dilakukan oleh calon terpilih juga tidak boleh dipandang hanya dalam konteks pelanggaran dalam pemilukada, tapi juga harus dilihat dari sisi hukum pidana.
Pertimbangan Mahkamah yang menyebutkan secara eksplisit bahwa terjadi penyalahgunaan anggaran negara (APBD) oleh petahana adalah bagian dari tindak pidana korupsi. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (tipikor) menempatkan perbuatan penyalahgunaan kewenangan (abuse of power), kesempatan atau sarana karena jabatan atau kedudukan yang ada padanya, menguntungkan dirinya sendiri atau orang lain, serta dapat merugikan keuangan negara sebagai bagian dari tindak pidana korupsi.
Jika diperbandingkan, pertimbangan Mahkamah Konstitusi sangat memenuhi rumusan dalam Undang-Undang Tipikor. Karena itu, sudah sepatutnya penegak hukum, khususnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), segera melakukan tindakan penyelidikan atau bahkan penyidikan dengan menggunakan putusan Mahkamah Konstitusi sebagai bukti awal yang cukup. Upaya penindakan penting dilakukan mengingat akan banyaknya penyelenggaraan pemilukada yang bakal berlangsung menjelang Pemilu 2014 atau sesudahnya.
Kasus ini akan menjadi peringatan bagi para petahana untuk tidak menggunakan kewenangannya dalam kontestasi pemilu di tingkat lokal. Bukan hanya dalam konteks pemilukada, tapi juga bagi para pejabat, menteri, dan kepala lembaga/institusi lain yang ikut mencalonkan diri dalam pemilu.
RUU Pilkada, apa kabar?
Melihat fenomena banyaknya kepala daerah yang tersandera kasus korupsi, ditambah maraknya penyalahgunaan kekuasaan oleh para petahana, maka pengaturan penyelenggaraan pemilukada juga semestinya mampu memitigasi problem korupsi tersebut.
Biaya politik yang tinggi dalam penyelenggaraan pilkada dituding menjadi salah satu problem serius yang semestinya mendapat perhatian lebih. Kelemahan pengaturan dana politik telah menjadikan pilkada sebagai ajang transaksional dan pertarungan para pemodal. Biaya politik yang "tidak tak terbatas" menyebabkan para calon terpilih tersandera untuk mengembalikan modal politiknya. Ini diperparah oleh pengaturan dana politik dalam pemilukada yang memang sangat minimalis.
Namun, jika melihat politik hukum RUU Pilkada yang digagas oleh pemerintah, dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri, tidaklah menempatkan problem akut korupsi kepala daerah dalam kerangka rancangan regulasi tersebut. Jika membaca secara cermat dalam Naskah Akademik (NA) RUU Pilkada, pengaturan dana politik (kampanye) tidak menjadi isu penting yang harus diatur. Bahkan, dalam proses pembahasan di DPR, persoalan dana politik tidak menjadi bagian dari cluster isu yang dibahas.
Maka kita patut menyayangkan politik hukum RUU Pilkada baik dari pihak pemerintah maupun DPR yang begitu buruk. Pengalaman pemilukada di Sumatera Selatan di atas seharusnya menjadi momentum yang paling tepat untuk memperbaiki pengaturan pemilukada ke masa depan. Agar penyalahgunaan kewenangan dan praktek politik uang (money politics) oleh para calon kepala daerah yang selama ini mengotori wajah demokrasi di tingkat lokal dapat diminimalisasi.

Jika tidak segera diatur, publik tentu akan menilai pemerintah dan DPR tak memiliki niat baik memperbaiki kualitas demokrasi di daerah. Dan itu berarti mereka justru menjadi bagian dari upaya yang melanggengkan praktek penyalahgunaan kekuasaan dan politik uang. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar