Kamis, 04 Juli 2013

Omdo

Omdo
Benny Susetyo ;   Sekretaris Eksekutif Komisi HAK KWI, Pemerhati Sosial
KORAN SINDO, 03 Juli 2013


Omdo alias omong doang sering diucapkan seseorang untuk menilai orang lain yang hanya bisa berucap, tapi tak melakukan tindakan apa pun. “Banyak omong” tapi miskin tindakan. Lebih banyak mengumbar kata-kata manis, tapi tidak ada buktinya. 

OmDo pun diangkat menjadi album terbaru Orkes Sinten Remen. Inspirasinya dapat ditebak, gejala penguasa yang lebih banyak “omong” tapi miskin tindakan konkret. “Ngomong” pengentasan kemiskinan, moralitas, pemberantasan korupsi, dan lainnya, tapi semua itu hanya berhenti pada omongan semata. Begitu banyak pejabat yang hanya “pinter omong”. Mereka menyatakan bahwa langkahlangkah yang diambilnya bukan hanya wacana. 

Tetapi betapapun demikian, sebagian rakyat masih menilainya sebagai sebuah angan-angan. Apa yang dilakukan pemerintah belum menyentuh perbaikan kehidupan rakyat. Maka benarlah yang dikatakan Milovan Jilas suatu ketika. Di dunia ini teramat banyak kata-kata indah dan tujuantujuan baik. Tetapi jauh lebih penting dari kata-kata indah dan tujuan baik, adalah implementasi yang bisa merealisasikannya. 

Rakyat membutuhkan langkah konkret. Janganlah menyatakan bahwa kondisi transportasi kita sudah diperbaiki kalau nyatanya bencana bertubi- tubi menerpa. Janganlah kita menyatakan pemberantasan kemiskinan dan korupsi sudah dilakukan dengan baik kalau nyatanya setiap saat selalu muncul jenis korupsi terbaru dan dilakukan oleh orang-orang baru. Bahkan, mereka yang selama ini dianggap selalu meneriakkan “moral” sekalipun. Orkes Sinten Remen di Bentara Budaya Jakarta, (11Juni 2013) menyentil semua itu dengan mengenalkan album OmDo. 

Dengan konser musik dan humor ala ketoprak Jawa, Djaduk Ferianto mengajak penonton dengan beragam plesetan yang sarat kritik sosial. Reformasi Haru, Parodi Anak Indonesia, Kere Trendi dan Mulut disajikan sebagai bagian dari refleksi fenomena keindonesiaan dewasa ini. Tak lupa Sinten Remen menyajikan “Begini Begitu” sebagai sentilan kepada kaum pejabat yang kerap mencitrakan diri sebagai orang suci, namun tidak demikian dengan perilakunya. Mereka beramai- ramai mereka berlomba berbicara manis seolah-olah membelarakyat, namunsesungguhnya begitu kental dengan akal bulus khas politisi. 

Politik Citra 

Masyarakat makin susah untuk mencermati apa sebenarnya pesan perubahan yang dibawa oleh para politisi. Orientasi yang dibawa para elite sudah telanjur dipaksakan untuk memahami pemimpin identik dengan kekuasaan, maka pemimpin pun dicitrakan sedemikian rupa hanya sekedar untuk dipilih. Demi kekuasaan. Dalam dunia yang semakin lama semakin berkembang ke arah yang serba maya ini, citra adalah power. Dan, citra juga bisa digunakan untuk merebut power. 

Seperti halnya produk-produk kapitalisme yang hanya mengandalkan kulit muka, demikian pula sosok pemimpin dijual dari tampangnya belaka. Bukan program atau substansi kepemimpinannya, jejak rekamnya maupun bukti-bukti nyata di lapangan. Di era yang serbamaya, brand image adalah segalanya. Muncullah ide untuk mencitrakan sosok kepemimpinan sebagai sesuatu yang baik tanpa harus mengoreksi terlebih dahulu sejauh mana citra tersebut bukan sekadar imajinasi, melainkan merupakan sesuatu yang mencerminkan isi hati. 

Kelemahan yang mendasar dari pencitraan seorang sosok adalah bahwa orang yang digambarkan selalu sebagai pribadi yang mampu mengatasi segalagalanya. Ia bagaikan Superman yang mampu terbang tinggi dan Spiderman yang selalu menjadi pahlawan. Ia dicitrakan selalu bisa mengatasi segala kesulitankesulitan yang terjadi. Padahal, harus dikatakan bahwa agenda untuk membangun Indonesia ke depan tidaklah semudah yang mereka bayangkan. 

Tidaklah semudah yang sering dikatakannya. Situasi saat ini tidak selalu menguntungkan pembangunan, pertumbuhan, dan pemerataan ekonomi. Akibat krisis global, angka pengangguran semakin tinggi, sementara lapangan kerja semakin sulit. Peluang untuk membuka kesempatan kerja semakin sulit karena daya saing yang rendah. Ketergantungan hidup semakin kuat. Bahkan dalam hal pangan sebagai fondasi kehidupan bangsa ini, begitu rentan terhadap ketergantungan pihak lain. 

Di sisi lain, kita semakin jauh dari kesadaran bahwa fokus kita dalam berbangsa adalah bagaimana memperbaiki kehidupan masyarakat agar lebih baik daripada masa lalu. Pemimpin kita saat ini, bagaimanapun bentuk, model, dan sikap kepemimpinannya, adalah mereka yang secara aktual merepresentasikan perjalanan kebangsaan ini. Mereka dipilih oleh rakyat dengan mandat utama untuk memperbaiki kehidupan rakyat. 

Selama ini malah belum banyak kebijakan yang mengubah nasib rakyat, dan tidak ada kesungguhan untuk melakukan perbaikan dan mencari akar masalahnya. Apakah para pemimpin sudah tidak lagi memiliki kemampuan untuk memimpin, atau betapa sulitnya mengubah Indonesia bergeser beberapa derajat saja ke arah yang lebih baik.

Omdo 

Akibat Omdo, terlalu banyak kegagalan pemerintah yang membuat citra pemerintahan saat ini turun dari waktu ke waktu. Harapan yang terlampau besar dibebankan kepada penguasa melahirkan situasi berbalik. Kini bukan orang gagah dan ganteng lagi yang dibutuhkan untuk mengatasi segala macam persoalan kebangsaan. Yang dibutuhkan adalah sikap tegas menyatakan salah sebagai salah, dan benar sebagai benar. 

Tentu saja ada banyak hal pahit yang akan dihadapi ketika menjalankan itu. Sikap peragu justru akan membuat kita makin terperosok, tidak mengetahui mana yang salah dan benar. Kita akan terjebak pada ambiguitas dankekaburan. Kompromi tidak selalu akan menghasilkan efek positif, jika hal tersebut dilakukan dengan mengorbankan perasaan rakyat. Pemerintah harus menyadari bahwa tindakan-tindakannya selama ini terlampau banyak yang melukai hati rakyat. 

Menyatakan dengan kenaikan harga BBM akan bisa mengentaskan kemiskinan, mengimpor beras akan membuat stok pangan kita aman, mencegah bencana dengan tanpa membantu korban hingga tuntas, membiarkan para koruptor berloncat-loncatan seperti tupai sehingga sulit ditangkap, menjamin keamanan nyatanya situasi makin mencekam, menyatakankemiskinanberkurang padahal senyatanya kemiskinan makin meningkat, menegakkan hukum sambil mengakalinya dan seterusnya adalah peristiwa-peristiwa yang sering kali melukai hati rakyat.
Kita membutuhkan pemimpin yang memimpin dengan kekuatan hati nurani, bukan dengan kekuasaan politik semata. Rakyat membutuhkan pemimpin yang tidak saja gagah, bercitra, dan berwibawa, tetapi juga seseorang yang mampu menjadi panutan bersama. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar