Selasa, 02 Juli 2013

Neoliberalisme dan Kekerasan Sektarian

Neoliberalisme dan Kekerasan Sektarian
Coen Husain Pontoh ;  Editor IndoPROGRESS
IndoPROGRESS, 01 Juli 2013


DALAM sistem neoliberalisme, Politik (dalam pengertian P besar) sebagai sebuah ikhtiar publik untuk melayani kepentingannya sendiri telah bangkrut. Apa yang terjadi, politik semata-mata diorientasikan untuk melayani dan tunduk pada mekanisme pasar. Segala sesuatu yang menghambat hukum pasar, baik yang datang dari negara, kelas, dan komunitas harus disingkirkan. Politik disapu bersih oleh, meminjam Walter Benjamin, ‘angin puyuh kemajuan/storm of progress.[1]Jika pada masa Benjamin ‘kemajuan’ itu adalah ‘modernisasi,’ maka pada kita, ‘kemajuan’ itu adalah ‘neoliberalisme.’  Dalam neoliberalisme, pasar bebas adalah dasar dan tujuan bermasyarakat.

Inilah yang kita saksikan hari-hari ini. Politik menjadi sesuatu yang menjengkelkan, membuang-buang waktu. Birokrasi itu korup dan tidak efisien. Partai politik, apalagi, parasit yang harus disingkirkan jauh-jauh dari rasionalitas hubungan sosial. Kalau terpaksa harus dipertahankan, jadikan saja sebagai kuda tunggangan untuk mereka yang baik. Para politisi adalah orang-orang yang menjadikan politik sebagai alat untuk memperkaya diri, yang omongannya tak bisa dipegang karena lidahnya bercabang banyak, yang bertindak berdasarkan kepentingan jangka pendek dan sempit, kini dan di sini. Demonstrasi-demonstrasi, dengan berbagai alasan, mengganggu kelancaran pergerakan barang dan jasa, bikin kotor, bikin macet, meresahkan, apalagi jika sudah meletus jadi bentrokan.
Politik (dalam pengertian p kecil) lalu menjadi urusannya para manajer dan teknokrat, baik itu di level birokrasi pemerintahan, korporasi, serta LSM. Kalkulasi politik menjadi kalkulasi untung rugi secara ekonomis. ‘Sudahlah kita hitung-hitungan bisnis aja,’ begitu mantra saktinya. Masyarakat digiring pada sebuah jalan rasionalitas bahwa ‘jika ingin maju, ingin efisien, ingin setara, ingin beradab, inilah jalan yang mesti dilalui walaupun sulit dan menyakitkan.’ Dalam hal pencabutan subsidi BBM, rasionalitas ini bekerja dengan sempurna, yang konsekuensinya Politik ditaruh di bawah perhitungan matematis mengenai seberapa besar uang yang bisa diselamatkan sebagai hasil dari kebijakan ‘populer’ selama ini. Follow the money, bukan follow the public lalu menjadi motivasi utama di balik pembuatan kebijakan publik. Dengan kata lain, karena pengeluaran anggaran untuk publik tidak mendatangkan penambahan jumlah uang, maka kebijakan tersebut adalah keliru. 

Tetapi, pasar yang merupakan meja dimana segala harapan dan daya imajinasi mengenai kemakmuran diletakkan tak pernah bekerja sesuai skenario. Bersamaan dengan pencapaiannya akan pertumbuhan ekonomi, ia juga mengerek tinggi-tinggi bendera ketimpangan sosial, membuka lebar-lebar peta kemiskinan massal di seantero wilayah, dan mengkriminalisasi kaum marjinal. Sialnya ketika pasar mengalami krisis, ia membawa serta semua orang dalam penderitaan, bahkan mereka yang tidak menikmati kue pembangunan di masa pertumbuhan ekonomi. ‘Kapitalisme buat yang kaya dan sosialisme buat yang miskin,’ kata orang AS ketika mereka terpaksa ikut menderita akibat krisis ekonomi. Selain itu, pasar bersamaan dengan retorika kebebasan yang dihembuskannya, menggandeng pula aparatus-aparatus kekerasan negara dan non-negara untuk menjaga kebebasannya itu. Individu bebas dalam pasar adalah individu yang bergerak atau beraktivitas dalam batas-batas logika pasar. Si kaya dan si miskin tetap menjadi individu bebas sejauh ia terus melakukan tranksasi, tetapi begitu transaksi itu terganggu maka pasar melalui aparatusnya siap mengambilalih kebebasan tersebut. Inilah kontradiksinya, sehingga itu kita tidak dapat menghentikan daya rusak pasar dengan semakin mengintegrasikan diri ke dalam pasar.

Sektarianisme sebagai mekanisme kontrol sosial

Tentu saja mekanisme pasar untuk mendisiplinkan masyarakat melalui kompetisi, logika ekspansi dan akumulasi kapital, serta kriminalisasi kaum miskin, tidak berlangsung secara otomatis dan sukarela.  Seperti yang saya katakan di atas, kapitalisme-neoliberal selalu membutuhkan negara melalui aparatus represif dan hegemoniknya untuk proses pendisiplinan itu. Pendisiplinan ini  bertujuan untuk menundukkan dan mengontrol potensi-potensi dan aksi-aksi perlawanan yang muncul dalam masyarakat terhadap ketimpangan sosial-ekonomi akibat penerapan kebijakan neoliberalisme. Di sini negara fungsinya menjadi algojo (state punishment) dari orde neoliberal.

Namun, pada tahap tertentu, ketika proses demokrasi membatasi pengerahan aparatus negara secara langsung untuk mendisiplinkan masyarakat, negara kemudian memfasilitasi dan memanfaatkan elemen-elemen non-negara untuk proses pendisiplinan itu. Di negara-negara kapitalis maju, elemen non-negara ini tampil dalam bentuk privatisasi jasa keamanan serta privatisasi penjara yang kini populer disebut prison-industrial-complex, atau kelompok-kelompok neo-fasis. Di Indonesia, elemen-elemen non-negara itu muncul dalam bentuk kelompok-kelompok seperti Front Pembela Islam, Forum Umat Islam, Majelis Mujahidin Indonesia, dsb.

Nah, pemanfaatan elemen-elemen non-negara itu diproduksi melalui sebuah proses politik yang tidak bertujuan mengoreksi kontradiksi sosial dan ekonomi yang dimunculkan oleh sistem  tersebut.  Itu sebabnya, kalangan ini aktif mempromosikan isu-isu sektarian, baik yang berbasis agama, ras maupun etnis. Aksi-aksi ini tidak bercorak vertikal, yang bertujuan mempertanyakan atau mengoreksi ketimpangan penguasaan dan distribusi akses-akses ekonomi. Apa yang disuarakan dalam setiap aksi tersebut sepenuhnya bercorak horizontal: sesat, kafir, penodaan agama, menihilkan yang lain, anti-Barat, atau antek zionis yang intinya mengusung isu-isu moral yang abstrak. Jika toh mereka mempertanyakan ketimpangan penguasaan ekonomi, maka itu sepenuhnya bertolak dari kacamata agama, ras, atau etnis.
Dengan karakternya seperti itu, maka jika Politik adalah sebuah ikhitiar publik untuk melayani kepentingannya, maka proses politik berbasis sektarian ini saya sebuat sebagai ‘politik yang anti politik.’ Ia tidak membawa kita pada demokrasi sejati melainkan pada barbarisme.
Demikianlah, melalui aksi-aksi kekerasan terhadap kelompok-kelompok yang dianggap sesat, seperti Ahmadiyah, Syiah, dan tentu saja, Kristen, harus dilihat sebagai bagian dari proses pendisiplinan hubungan sosial yang ada. Para penyerang ini tak mungkin bisa beraksi, jika tidak diberi peluang atau didukung oleh negara atau fraksi-fraksi tertentu dalam negara. Apalagi dengan sejarah negara Indonesia yang sangat kuat, yang kekuasaannya menjulur di seluruh lini kehidupan, dari pusat ibukota yang gemerlap hingga ke desa-desa terpencil, maka mustahil mengabaikan peran negara  dalam aksi-aksi kekerasan ini. Melalui aksi-aksi kekerasan elemen non-negara itu, negara secara langsung maupun tidak langsung mau menyatakan kepada para penentangnya ‘jangan berani-berani melawan kami.’ Dan terbukti, kelompok pengusung sektarianisme ini juga bisa dengan mudah menyerang kelompok buruh, mahasiswa, atau organisasi komunitas yang memperjuangkan hak-hak sosial-ekonominya.
Aceh sebagai contoh kasus

Jika kekerasan sektarian merupakan bagian dari strategi rezim neoliberal untuk memecah-belah dan mengontrol munculnya perlawanan dalam masyarakat, maka bagaimana kita menempatkan kasus Aceh? Di provinsi itu, penerapan Syariah diwujudkan melalui sebuah mekanisme demokrasi elektoral, atau ditetapkan oleh pemimpin yang terpilih secara demokratik. Apakah ini juga bagian dari kontrol sosial?[2]
Sekadar mengingatkan, Aceh adalah sebuah wilayah yang hubungannya dengan pemerintah pusat, lebih sering ditandai oleh konflik sosial dan politik ketimbang kerjasama dan perdamaian. Studi Graham K. Brown (2005)[3] menunjukkan bahwa akar dari hubungan yang konfliktual itu adalah pada lebarnya kesenjangan ekonomi akibat proses pembangunan yang diterapkan Orde Baru. Aceh, sebagai salah satu provinsi terkaya di Indonesia, ternyata juga adalah salah satu provinsi termiskin. Kenyataan ini jelas tak bisa diterima oleh penduduk lokal, yang kemudian terekspresikan dalam tuntutan untuk merdeka dari apa yang mereka sebut sebagai ‘kolonialisme Jawa.’

Kita semua tahu, rezim Orba kemudian merespon tuntutan merdeka tersebut dengan sebuah operasi militer yang berdarah-darah. Sementara akar masalah, berupa kesenjangan penguasaan akses ekonomi, sama  sekali tidak dibereskan. Akibatnya, rezim Orba gagal memadamkan perjuangan menuntut kemerdekaan tersebut, sampai kemudian Soeharto jatuh pada 1998 dan jalan damai penyelesaian konflik menjadi opsi yang paling realistis.
Setelah proses perdamaian Helsinki, Aceh kemudian memperoleh status otonomi khusus. Para kombatan turun gunung, rakyat bersuka, proses politik mulai digelar, lalu hasil pun dicapai. Namun, walaupun menggunakan hukum Syariah, mekanisme dan desain pemerintahan sepenuhnya berwatak demokrasi elektoral. Pertanyaan kemudian, apakah imajinasi politik untuk bisa mengelola kekayaan alam secara adil dan mensejahterahkan kehidupan penduduk lokal terpenuhi? Sebagai provinsi yang kaya sumberdaya alam, apakah pemerintahan baru ini mampu mensejahterahkan rakyatnya, seperti tuntutan mereka ketika melawan rezim Orba? Kenyataannya dengan kandungan SDA yang begitu tinggi, [4]  ‘Kemiskinan di Aceh berada pada urutan ketujuh di Indonesia atau peringkat satu untuk wilayah Sumatera’ ujar Gubernur Aceh, Zaini Abdullah (2012). Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan bahwa tingkat kemiskinan Aceh berada pada kisaran 19,48 persen. Angka ini berada jauh di atas rata-rata kemiskinan nasional sebesar 12,36 persen. [5]

Masih menurut pemerintah Aceh, kemiskinan itu disebabkan oleh tingkat pendidikan yang rendah, minimnya lapangan kerja, dan rendahnya etos kerja. Tapi, apa benar kemiskinan itu karena budaya rakyat Aceh sendiri? Saya katakan tidak. Seoharto dan para intelektualnya sudah mengatakan ini ketika memulai proses pembangunan di Aceh ketika itu, dan terbukti keliru. Lalu kenapa pemerintah Aceh pasca Helsinki ini kembali mengulang-ulang mantra-mantra modernisasi pembangunan a la rezim Orde Baru?

Di sini kita mesti menempatkan motif utama dibalik pengkambinghitaman sikap budaya rakyat Aceh itu untuk membenarkan beroperasinya kebijakan neoliberal. Ini tampak dari berbagai pernyataan pejabat lokal bahwa untuk menghela laju pembangunan ekonomi Aceh tidak bisa diserahkan pada dinamika lokal, melainkan harus meminta bantuan korporasi keuangan internasional (IFC) yang merupakan bagian dari Bank Dunia.
‘Aceh saat ini butuh investor asing untuk membawa modal, teknologi tepat guna, untuk membantu meningkatkan nilai produk-produk kami. Kepada mereka yang melakukan investasi minimum Rp. 5 milyar, kita siap untuk membebaskan mereka dari kewajiban membayar pajak lokal,’ demikian janji Said Yulizal, direktur Kantor Pelayanan Terpadu Satu Pintu (KPTSP), kabupaten Aceh Besar.
Jika dilihat lebih detil lagi, maka sebenarnya SDA Aceh itu telah dikapling-kapling baik oleh perusahaan-perusahaan multinasional, seperti ExxonMobil yang menguasai PT Arun LNG, maupun oleh para pengusaha nasional seperti Arifin Panigoro, Surya Paloh, Tommy Winata, Siti Hartati Murdaya, Aburizal Bakrie, bahkan mantan kombatan GAM seperti Muzakkir Manaf.[6] Bersama-sama dengan para elite oligarki ini, elite politik lokal Aceh mengeksploitasi SDA Aceh yang kaya raya tersebut untuk kepentingan mereka.

Lalu, apa pentingnya penerapan Syariat Islam jika ia tidak bertujuan untuk mengoreksi ketimpangan sosial tersebut, yang menurut Brown, merupakan dasar perlawanan Aceh terhadap pemerintah pusat di masa lalu? Atau dalam pernyataan yang berbeda, karena ketimpangan penguasaan dan distribusi kekayaan SDA itu terus berlangsung, maka potensi perlawanan kini mengarah pada elite lokal di Aceh.  Disinilah, menurut saya, pemerintah dan elite lokal Aceh menjadikan Syariat Islam ini sebagai alat untuk mengontrol dan menundukkan potensi perlawanan rakyat terhadap ketimpangan sosial-ekonomi akibat pemberlakuan kebijakan neoliberal.  Dari perspektif pemerintah Aceh, karena rakyatnya berpendidikan rendah, tidak punya motivasi berprestasi, dan karenanya rawan akan tindakan kriminal, maka melalui seperangkat kebijakan hukum Syariah, rakyat Aceh harus didisiplinkan kehidupan sosialnya. Pembangkangan terhadap  UU yang ditetapkan  oleh sebuah lembaga politik ini, lalu diabstraksikan sebagai pembangkangan terhadap perintah Allah, kitab suci, Nabi, dan hadis-hadisnya. Dan tentu saja pembangkangan itu patut diganjar menurut hukum yang ditafsirkan sebagai suci, dan melalui ganjaran itulah kehidupan sosial didisiplinkan. 
Siapa yang berani membangkang dan melawan dicap sebagai sesat, kafir, anti-Islam, dihukum, dst. Dengan tradisi beragama yang kuat di Aceh, ancaman dan tuduhan sesat tentu saja akan dihindari semaksimal mungkin. Di sinilah mekanisme pendisiplinan sosial itu bekerja, karena UU tersebut berimplikasi politik yang sangat luas.  Melalui kontrol ketat atas tubuh, cara berpakaian, dan berperilaku, yang diimbangi dengan hukuman, maka rakyat dibikin tak berdaya.
Mengembalikan yang Politik

Melalui pemaparan singkat ini, saya berpendapat perlawanan terhadap aktivitas politik yang anti-politik tersebut, tidak bisa dilokalisir sebagai persoalan penerapan hukum Syariah, atau lebih khusus lagi, dalam konteks perang tafsir ayat-ayat suci dan hadis-hadis Nabi Muhammad SAW, semata. Perlawanan seperti ini, bukan saja tidak efektif, tapi tidak menyentuh akar persoalan yang ada karena melepaskan aksi-aksi tersebut dari konteks ekonomi-politiknya. Selama kita terus berpikir dan bertindak partikular, maka sejatinya kita tidak berbeda dengan kelompok yang mengendepankan ‘politik yang anti-politik’ itu.
Bersamaan dengannya, perlawanan terhadap politik sektarianisme harus ditujukan untuk menghidupkan kembali Politik, sebagai ikhtiar publik untuk melayani kepentingannya. Dan di sini, kita  mesti berani menentang ‘angin puyuh’ neoliberalisme yang telah menjadi meja pertaruhan hidup kita saat ini. Karena inilah ruang dimana kita tidak bisa bicara Politik, kecuali mengikuti hukum besi pasar yang impersonal yang dikawal oleh negara. Dengan mengritik dan menentang sistem kapitalisme-neoliberal, kita dipaksa untuk berpikir holistik, secara menyeluruh, karena inilah desain pembangunan yang kita anut dan jalani selama ini. Karena itu menjadi absurd, jika kemarin kita menentang aksi-aksi sektarianisme tapi hari ini kita mendukung kebijakan pencabutan subsidi BBM.

Kepustakaan
[1] Henry A. Giroux, Neoliberalism and the death of the social state: remembering Walter Benjamin’s Angel of History, Social Identities, Vol. 17, No. 4, 2011.
[2] Saya membahas hukum Syariah ini sebagai sebuah gagasan politik untuk menopang kepentingan ekonomi-politik dari elite lokal di Aceh. Studi yang lebih detil berkaitan dengan turunan dari hukum Syariah ini secara ekonomi politik, bisa dibaca pada studi Michael Buehler, The rise of shari’a by-laws in Indonesian districts An indication for changing patterns of power accumulation and political corruption, South East Asia Research, 2008.
[3] Graham K. Brown, Horizontal Inequalities, Ethnic Separatism, and Violent Conflict:The Case of Aceh, Indonesia, Human Development Report, 2005.
[4] Laporan kementerian energi dan Sumber Daya Alam (2007), misalnya, menyebutkan bahwa Aceh diperkirakan memiliki kandungan emas 20 juta ton, 600 juta ton tembaga, 32 juta ton platinum, 32 juta ton merkuri, 53.000 ton timah, 350,000 ton biji besi, 6.4 juta ton besi, dan 600 juta ton molybdenum. Lihat Andi Haswidi, Aceh province moves to exploit natural-resource potential, Jakarta Post, Thusday, April 19, 2007,
[6] Untuk laporan lebih detil mengenai ekonomi-politik penguasaan SDA Aceh ini, lihat Goergo Junus Aditjondro, Profiting From Peace: The Political Economy of Aceh’s Post-Helsinki Reconstruction, Working Paper #3, INFID, 2007.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar