Selasa, 23 Juli 2013

Nasib Rupiah

Nasib Rupiah
Farial Anwar  ;  Pengamat Ekonomi
SUARA KARYA, 22 Juli 2013


Saat ini nilai tukar rupiah mengalami tekanan yang luar biasa berat. Tekanan yang dimulai sejak awal 2012 itu nyatanya tak kunjung reda. Jangankan menguat, rupiah saat ini bahkan terus bergerak jauh melampaui kisaran Rp 10.000 per dolar AS. Hal ini diperkirakan terus berlanjut karena sama sekali tidak ada faktor positif yang bisa membuat rupiah menguat.

Neraca perdagangan kita mengalami defisit. Nilai ekspor jauh lebih rendah daripada impor. Tak ada eksportir yang mau melepas dolarnya. Mereka bahkan cenderung terus menyimpannya untuk mendapatkan keutungan yang jauh lebih besar. Dengan kata lain, kita mengalami kekurangan likuiditas.

Selain itu, masih terjadi aksi profit taking. Investor asing keluar dari pasar modal dengan membawa dana lebih dari Rp 20 triliun, yang tentu saja mereka tukarkan dengan dolar. Ekspektasi negatif sebelumnya telah terbangun ketika pemerintah begitu bertele-tele untuk menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM).

Kemudian, harga BBM justru dinaikkan pada waktu yang kurang pas, saat menjelang bulan Ramadhan di mana permintaan terhadap barang pada bulan itu biasanya cukup tinggi. Terbukti, harga bahan pokok saat ini di luar kendali. Maka, diperkirakan inflasi akan jauh di bawah prediksi pemerintah sebesar 7,2 persen.

Semua faktor itu tentu membuat nilai tukar kita makin tidak bernilai. Mana ada orang yang mau nemegang mata uang yang inflasinya jauh lebih tinggi daripada bunganya? Sangat aneh jika ada yang mengatakan rupiah di kisasan Rp 10.000 adalah rupiah dinilai fundamentalnya atau dianggap telah mencapai keseimbangan baru.
Justru rupiah di kisaran Rp 10.000 akan mengganggu fundamental ekonomi kita, berdampak sangat negatif pada seluruh aspek perekonomian kita. Pelemahan rupiah sudah keterlaluan. Dalam jangka waktu hanya satu setengah tahun, rupiah terdepresiasi lebih dari Rp 1.000. Tak ada satu pun negara di regional Asia yang mengalami hal itu, bahkan saat ekonomi dunia memburuk sekalipun.

Bayangkan, dengan dolar yang begitu mahal, impor barang kita pun makin tinggi nilai yang harus dibayarkan. Belum lagi, utang valas swasta, meski mereka mendapat bunga rendah, akhirnya malah habis-habisan karena ditekan dolar yang mahal. Apalagi, Bank Indonesia (BI) juga telah menaikkan BI Rate dengan besaran cukup signifikan. Dunia usaha pun bisa makin babak belur dan harus berhati-hati menyusul potensi akan timbulnya kredit macet.

Di sisi pemerintah, dampak negatif yang timbul akibat nilai tukar yang anjlok juga tak kalah besar. Impor BBM harus dibayar jauh lebih mahal, demikian pula halnya dengan utang valas pemerintah, akan makin membengkak.

Oleh karena itu, pemerintah sebaiknya jangan berdiam diri. Jangan lagi mengandalkan BI melakukan intervensi karena cadangan devisa kita sudah makin menipis. Jangan enggan melakukan pengendalian devisa, dengan memberikan holding period. Bukannya hanya meminta devisa ekspor masuk bank dalam negeri, namun tak mengatur kapan dan bagaimana devisa itu bisa ke luar lagi.


Percayalah, tanpa pengendalian devisa, rupiah kita akan makin rontok dan ekonomi kita tentu akan mendapatkan imbasnya. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar