|
KORAN
SINDO, 06 Juli 2013
Perseteruan politik yang melibatkan
Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) terus berlangsung.
Pascakeputusan paripurna DPR yang mengesahkan Rancangan Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) 2013, yang kemudian secara politis mengisyaratkan persetujuan DPR terhadap kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) yang akan dilaksanakan oleh pemerintah. Gonjang-ganjing politik yang melibatkan partai koalisi yang dimotori oleh Demokrat dengan partai oposisi yang dimotori oleh PDIP memanaskan konstelasi politik.
Dua berbeda antara yang menerima kenaikan BBM dan menolak kenaikan BBM. Kontestasi politik semakin memanas tatkala PKS yang merupakan partai yang tergabung dalam Sekretariat Gabungan (Setgab) koalisi bersama Partai Demokrat, berseberangan sikap dengan kubu koalisi. PKS yang belakangan didera oleh persoalan suap impor daging sapi yang melibatkan Presiden Partai Luthfi Hasan Ishaaq (LHI) tiba-tiba mampu membalikkan wacana publik dengan wacana penolakan harga BBM.
Apa yang dilakukan PKS, kemudian menjadi strategi komunikasi politik ampuh untuk mengalihkan isu suap impor daging sapi ke penolakan harga BBM. Pergerakan PKS mengundang reaksi Partai Demokrat dan anggota Setgab koalisi lainnya, sehingga menimbulkan kegaduhan politik di dalam Setgab yang menginginkan PKS segara angkat kaki dari Setgab koalisi.
Namun, desakan Partai Demokrat dan anggota koalisi lainnya tak diindahkan oleh PKS. Puncaknya, PKStetapbersikapkonsisten menolak kenaikan harga BBM saat paripurna DPR yang mengesahkan RUU APBNP 2013. Sikap mendua PKS tersebut bukanlah pertama. Menurut catatan penulis, sudah empat kali PKS berseberangan dengan Partai Demokrat.
Pertama pada tahun 2010, saat Kasus Bank Century mencuat ke publik dan diputuskan juga melalui paripurna DPR. Saat itu belum ada Setgab, dan pembelotan bukan hanya dilakukan oleh PKS, namun juga Golkar dan PPP. Kemudian tahun 2011 PKS, kembali berseberangan soal kasus Mafia Pajak. Tahun 2012 juga kembali berseberangan dengan menolak kenaikan BBM dan itu kembali terulang di tahun 2013.
Sikap mendua PKS dalam berkoalisi tentu bisa saja dilakukan dalam praktik politik. Sahsah saja setiap partai melakukan manuver dan strategi dalam mencapai tujuan partai. Namun dalam berpolitik, tentu ada etika politik yang harus dijalankan agar masyarakat juga dapat memaknai politik praktis sebagai sebuah pembelajaran politik.
Pendidikan politik menjadi penting bagi masyarakat karena akan mendorong demokratisasi ke arah yang lebih baik. PKS tentu mempunyai alasan mengapa sikap mendua tersebut dilakukan. Akan tetapi sebagai partai politik, PKS bertanggung jawab untuk memberikan pendidikan politik bagi masyarakat.
Menunggu SBY
Persoalan PKS yang berseberangan dengan Setgab koalisi tak kunjung usai. Sampai saat ini PKS yang jelas-jelas secara realitas politik tak sejalan dengan Setgab koalisi pemerintahan tak juga mundur dari Setgab dan tidak juga menarik tiga menterinya, yakni Menkominfo Tifatul Sembiring, Menteri Pertanian Suswono, dan Menteri Sosial Salim Segaf Aljufri dari Kabinet Indonesia Bersatu II.
PKS menganggap SBY yang merupakan pimpinan tertinggi Setgab memiliki kewenangan untuk mengambil langkah. Selain itu, sebagai presiden, SBY memiliki hak prerogatif untuk mengganti menteri di kabinet. Alasan-alasan yang diambil oleh PKS ini tentu sarat makna politik. Dengan sikap demikian, PKS ingin dikesankan ”terzalimi” apabila SBY mengeluarkan PKS dari koalisi dan memecat menteri asal PKS.
Sementara itu, Partai Demokrat dan pihak Istana ingin PKS tahu diri, dan segera angkat kaki dari Setgab koalisi dan menarik menteri-menteri PKS. Sikap saling tunggu ini masih terus berlangsung menjadi kontestasi politik elite kedua partai. Mencermati sikap politik PKS, ada beberapa langkah penting yang harus dilakukan oleh PKS.
Pertama, PKS telah mampu memainkan strategi komunikasi politik dengan mengalihkan isu suap impor daging sapi ke penolakan kenaikan harga BBM. Hal itu mampu menaikkan simpati publik yang tidak setuju terhadap kebijakan kenaikan harga BBM. Momentum ini mestinya digunakan oleh PKS untuk segera mengambil sikap untuk keluar dari koalisi.
Kedua, PKS segera mengambil posisi oposisi pemerintahan dan menarik tiga menterinya di kabinet. Hal itu tentu berat, namun jauh lebih baik untuk meraih simpati publik untuk menghadapi Pemilu 2014.
Mengukur Keberanian SBY
Keberanian SBY kembali diuji. Kali ini sikap tegas tersebut adalah segera mengeluarkan PKS dari Setgab koalisi dan mencopot tiga menteri PKS di KI BII. Sebagai pimpinan tertinggi Setgab koalisi dan presiden tentu, SBY memiliki kewenangan untuk melakukan langkah tegas. Namun sampai saat ini, keberanian SBY tak kunjung datang.
Ketegasan SBY dalam memimpin bangsa sering diperbincangkan, karena SBY dianggap sosok yang lamban dan tidak tegas. Ada beberapa alasan yang dapat dilihat dari sikap SBY ini. Pertama, SBY mengetahui strategi politik yang sedang dimainkan PKS. Kedua, ada kekhawatiran SBY dengan kekuatan politik yang ada di parlemen jika PKS dikeluarkan dari Setgab.
Alasan ini mestinya tidak terlalu dipertimbangkan secara serius oleh SBY. Pasalnya, SBY secara politik sebagai ketua umum Partai Demokrat memiliki tanggung jawab menyelamatkan partainya yang terus melorot elektabilitasnya. Dengan bersikap tegas, mestinya SBY yakin akan dinilai positif oleh publik. Mengenai kalkulasi politik di parlemen, SBY tidak perlu khawatir, sebab jika SBY mampu mengendalikan dan membangun komunikasi politik dengan Partai Golkar maka kekuatan diparlemen tetap besar.
Momentum ini mestinya dimanfaatkan oleh SBY untuk membuktikan diri sebagai pemimpin yang berani mengambil tindakan tegas. Mestinya SBY menyadari bahwa sisa satu tahun kepemimpinannya, merupakan momentum untuk menunjukkan kepada masyarakat Indonesia tentang pemimpin yang tegas.
Telah lama publik menunggu sosok SBY yang cepat dan tegas? Namun, lagi-lagi SBY-lah yang paling tahu mengapa tak kunjung mengambil sikap terkait kisruh PKS dalam Setgab. ●
Pascakeputusan paripurna DPR yang mengesahkan Rancangan Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) 2013, yang kemudian secara politis mengisyaratkan persetujuan DPR terhadap kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) yang akan dilaksanakan oleh pemerintah. Gonjang-ganjing politik yang melibatkan partai koalisi yang dimotori oleh Demokrat dengan partai oposisi yang dimotori oleh PDIP memanaskan konstelasi politik.
Dua berbeda antara yang menerima kenaikan BBM dan menolak kenaikan BBM. Kontestasi politik semakin memanas tatkala PKS yang merupakan partai yang tergabung dalam Sekretariat Gabungan (Setgab) koalisi bersama Partai Demokrat, berseberangan sikap dengan kubu koalisi. PKS yang belakangan didera oleh persoalan suap impor daging sapi yang melibatkan Presiden Partai Luthfi Hasan Ishaaq (LHI) tiba-tiba mampu membalikkan wacana publik dengan wacana penolakan harga BBM.
Apa yang dilakukan PKS, kemudian menjadi strategi komunikasi politik ampuh untuk mengalihkan isu suap impor daging sapi ke penolakan harga BBM. Pergerakan PKS mengundang reaksi Partai Demokrat dan anggota Setgab koalisi lainnya, sehingga menimbulkan kegaduhan politik di dalam Setgab yang menginginkan PKS segara angkat kaki dari Setgab koalisi.
Namun, desakan Partai Demokrat dan anggota koalisi lainnya tak diindahkan oleh PKS. Puncaknya, PKStetapbersikapkonsisten menolak kenaikan harga BBM saat paripurna DPR yang mengesahkan RUU APBNP 2013. Sikap mendua PKS tersebut bukanlah pertama. Menurut catatan penulis, sudah empat kali PKS berseberangan dengan Partai Demokrat.
Pertama pada tahun 2010, saat Kasus Bank Century mencuat ke publik dan diputuskan juga melalui paripurna DPR. Saat itu belum ada Setgab, dan pembelotan bukan hanya dilakukan oleh PKS, namun juga Golkar dan PPP. Kemudian tahun 2011 PKS, kembali berseberangan soal kasus Mafia Pajak. Tahun 2012 juga kembali berseberangan dengan menolak kenaikan BBM dan itu kembali terulang di tahun 2013.
Sikap mendua PKS dalam berkoalisi tentu bisa saja dilakukan dalam praktik politik. Sahsah saja setiap partai melakukan manuver dan strategi dalam mencapai tujuan partai. Namun dalam berpolitik, tentu ada etika politik yang harus dijalankan agar masyarakat juga dapat memaknai politik praktis sebagai sebuah pembelajaran politik.
Pendidikan politik menjadi penting bagi masyarakat karena akan mendorong demokratisasi ke arah yang lebih baik. PKS tentu mempunyai alasan mengapa sikap mendua tersebut dilakukan. Akan tetapi sebagai partai politik, PKS bertanggung jawab untuk memberikan pendidikan politik bagi masyarakat.
Menunggu SBY
Persoalan PKS yang berseberangan dengan Setgab koalisi tak kunjung usai. Sampai saat ini PKS yang jelas-jelas secara realitas politik tak sejalan dengan Setgab koalisi pemerintahan tak juga mundur dari Setgab dan tidak juga menarik tiga menterinya, yakni Menkominfo Tifatul Sembiring, Menteri Pertanian Suswono, dan Menteri Sosial Salim Segaf Aljufri dari Kabinet Indonesia Bersatu II.
PKS menganggap SBY yang merupakan pimpinan tertinggi Setgab memiliki kewenangan untuk mengambil langkah. Selain itu, sebagai presiden, SBY memiliki hak prerogatif untuk mengganti menteri di kabinet. Alasan-alasan yang diambil oleh PKS ini tentu sarat makna politik. Dengan sikap demikian, PKS ingin dikesankan ”terzalimi” apabila SBY mengeluarkan PKS dari koalisi dan memecat menteri asal PKS.
Sementara itu, Partai Demokrat dan pihak Istana ingin PKS tahu diri, dan segera angkat kaki dari Setgab koalisi dan menarik menteri-menteri PKS. Sikap saling tunggu ini masih terus berlangsung menjadi kontestasi politik elite kedua partai. Mencermati sikap politik PKS, ada beberapa langkah penting yang harus dilakukan oleh PKS.
Pertama, PKS telah mampu memainkan strategi komunikasi politik dengan mengalihkan isu suap impor daging sapi ke penolakan kenaikan harga BBM. Hal itu mampu menaikkan simpati publik yang tidak setuju terhadap kebijakan kenaikan harga BBM. Momentum ini mestinya digunakan oleh PKS untuk segera mengambil sikap untuk keluar dari koalisi.
Kedua, PKS segera mengambil posisi oposisi pemerintahan dan menarik tiga menterinya di kabinet. Hal itu tentu berat, namun jauh lebih baik untuk meraih simpati publik untuk menghadapi Pemilu 2014.
Mengukur Keberanian SBY
Keberanian SBY kembali diuji. Kali ini sikap tegas tersebut adalah segera mengeluarkan PKS dari Setgab koalisi dan mencopot tiga menteri PKS di KI BII. Sebagai pimpinan tertinggi Setgab koalisi dan presiden tentu, SBY memiliki kewenangan untuk melakukan langkah tegas. Namun sampai saat ini, keberanian SBY tak kunjung datang.
Ketegasan SBY dalam memimpin bangsa sering diperbincangkan, karena SBY dianggap sosok yang lamban dan tidak tegas. Ada beberapa alasan yang dapat dilihat dari sikap SBY ini. Pertama, SBY mengetahui strategi politik yang sedang dimainkan PKS. Kedua, ada kekhawatiran SBY dengan kekuatan politik yang ada di parlemen jika PKS dikeluarkan dari Setgab.
Alasan ini mestinya tidak terlalu dipertimbangkan secara serius oleh SBY. Pasalnya, SBY secara politik sebagai ketua umum Partai Demokrat memiliki tanggung jawab menyelamatkan partainya yang terus melorot elektabilitasnya. Dengan bersikap tegas, mestinya SBY yakin akan dinilai positif oleh publik. Mengenai kalkulasi politik di parlemen, SBY tidak perlu khawatir, sebab jika SBY mampu mengendalikan dan membangun komunikasi politik dengan Partai Golkar maka kekuatan diparlemen tetap besar.
Momentum ini mestinya dimanfaatkan oleh SBY untuk membuktikan diri sebagai pemimpin yang berani mengambil tindakan tegas. Mestinya SBY menyadari bahwa sisa satu tahun kepemimpinannya, merupakan momentum untuk menunjukkan kepada masyarakat Indonesia tentang pemimpin yang tegas.
Telah lama publik menunggu sosok SBY yang cepat dan tegas? Namun, lagi-lagi SBY-lah yang paling tahu mengapa tak kunjung mengambil sikap terkait kisruh PKS dalam Setgab. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar