|
KORAN
TEMPO, 08 Juli 2013
Dalam kurikulum 2013 yang terbaca di Internet terlihat
bahwa struktur pendidikan sejak SD sampai SMA dimulai dengan nilai agama, dan
semuanya dikaitkan dengan agama.
Setelah melakukan sedikit perbaikan pada 1999 (revisi),
kurikulum 1994 yang menekankan substansi mata pelajaran bergeser ke kompetensi
siswa pada 2004. Tidak ada alasan yang kuat dalam penggantian kurikulum
berbasis kompetensi tahun 2004 menjadi kurikulum tingkat satuan pendidikan
tahun 2006, kecuali memberi kesempatan dari daerah sampai sekolah untuk
berkreasi melengkapi kurikulum tersebut. Faktanya, hal ini juga tidak berjalan
lancar.
Kini pemerintah menyodorkan kurikulum 2013 yang terkesan
terburu-buru. Yang lebih mencolok lagi, tujuan kurikulum yang pertama dan utama
berkaitan dengan pengamalan ajaran agama. Segala sesuatunya dihubungkan dengan
agama dan Tuhan. Apakah kurikulum itu lebih tepat disebut kurikulum berbasis syariah?
Dalam perjalanan proses pengesahan dasar negara Indonesia,
7 (tujuh) kata "dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluknya" yang dikenal sebagai "Piagam Jakarta" tidak bisa
diterima dengan suara bulat. Negara memang memberi kebebasan bagi setiap
penganut agama dalam menjalankan ibadahnya, tapi negara tidak bertugas agar
kewajiban agama itu harus dilaksanakan oleh pemeluknya.
Kompetensi inti dari kelas I SD sampai kelas XII SMA adalah
sama, yakni "menghayati dan mengamalkan ajaran agama yang dianutnya".
Kompetensi inti adalah bentuk kualitas yang dimiliki oleh mereka yang telah
menyelesaikan satuan/jenjang pendidikan tertentu yang mencakup pengetahuan,
sikap, serta keterampilan (kognitif, afektif, dan psikomotorik). Kompetensi dasar
merupakan kompetensi setiap mata pelajaran untuk setiap kelas yang diturunkan
dari Kompetensi Inti. Tidak ada masalah bila kompetensi "menghayati dan
mengamalkan ajaran agama" itu diberlakukan khusus untuk mata pelajaran
agama. Tapi tampak dipaksakan bahwa kualitas yang dihasilkan setelah belajar
aljabar, ilmu pengetahuan alam, bahasa Indonesia, geografi, dan lain-lain
adalah kesalehan siswa dalam mengamalkan ajaran agamanya.
Kita mengetahui bahwa salah satu tujuan berbangsa dan
bernegara sebagaimana diatur dalam pembukaan UUD 1945 adalah mencerdaskan
kehidupan bangsa. Kementerian terkait seyogianya merumuskan tujuan pendidikan
nasional berdasarkan prinsip di atas. Menciptakan manusia yang cerdas adalah
tujuan pendidikan yang pertama dan utama, walaupun perlu dilengkapi dengan
muatan nilai-nilai luhur lainnya, seperti kejujuran, tanggung jawab, dan
kesalehan.
Dalam kurikulum 2013 yang terbaca di Internet terlihat
bahwa struktur pendidikan sejak SD sampai SMA itu dimulai dengan nilai agama,
dan semuanya dikaitkan dengan agama. Kompetensi dasar SMA kelas X untuk mata
pelajaran bahasa Indonesia adalah "mensyukuri anugerah Tuhan akan
keberadaan bahasa Indonesia dan menggunakannya sesuai dengan kaidah dan konteks
untuk mempersatukan bangsa". Memang bahasa Indonesia adalah alat
komunikasi yang mempersatukan bangsa, tapi apa perlu ditekankan bahwa bahasa
Indonesia itu merupakan anugerah Tuhan?
Dalam kompetensi dasar sejarah Indonesia SMA kelas X
dicantumkan "menghayati keteladanan para pemimpin dalam mengamalkan ajaran
agamanya". Pelajaran sejarah jelas menguraikan perjuangan para pemimpin
bangsa dalam merebut dan mengisi kemerdekaan. Hal ini tentu patut diteladani,
tapi perjuangan tersebut tidak otomatis semuanya berkaitan dengan ajaran agama.
Lantas, apa yang akan dihasilkan dari mata pelajaran agama
Islam dan budi pekerti SMA kelas X? Dua di antaranya adalah "meyakini
kebenaran hukum Islam" dan "berpakaian sesuai dengan ketentuan
syariat Islam dalam kehidupan sehari-hari". Di Indonesia, kita mengenal
hukum nasional, dan di berbagai daerah juga berlaku hukum adat. Tentu perlu
dijelaskan bahwa "hukum Islam" itu tidak boleh bertentangan dengan
hukum nasional. Mengenai "busana yang sesuai dengan ketentuan syariat
Islam", apakah itu berarti seluruh siswa perempuan muslim harus berjilbab,
misalnya?
Asal-usul
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh menjelaskan
soal asal-usul kurikulum 2013 di depan para ulama dan pelaku pendidikan di
Kabupaten Semarang saat memberi sambutan dalam acara peresmian sebuah SMK
Kesehatan pada 4 Mei 2013 (edukasi.kompas.com/read/2013/05/04/21062649).
Menurut Nuh, pendidikan pada hakikatnya bertujuan menghilangkan tiga penyakit
masyarakat. "Satu saja yang diingat bahwa tujuan pendidikan adalah
menghilangkan kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan peradaban,"
ujarnya.
Menteri Nuh mendapat gagasan tentang konsep kurikulum 2013
saat menunaikan ibadah umrah pada 2006. Konsep itu adalah tazkiyah (attitude),
tilawah (pengetahuan), dan ta'alim (keterampilan). "Saya buka rahasia konsep
kurikulum 2013 ini. Pada kesempatan saya menunaikan umrah tahun 2006, dalam
perjalanan ke Madinah, saya menyempatkan mengaji. Pada saat itu saya menemukan
surat yang menerangkan tentang tilawah, tazkiyah, dan ta'alim ini. Saya baca
berulang-ulang surat ini. Saya pikir inilah yang saya cari-cari selama
ini," ucapnya. Sebetulnya konsep kognitif, afektif, dan psikomotorik sudah
dikenal luas dalam bidang pendidikan walaupun tidak menggunakan istilah
berbahasa Arab.
Konsep atau kurikulum 2013 diharapkan dapat mengatasi
ketiga penyakit masyarakat tersebut. Penerapan kurikulum 2013, Nuh melanjutkan,
akan dilaksanakan secara bertahap. Pihaknya menyadari banyak pihak yang
menentang penerapan kurikulum 2013. "Sikap kita sudah jelas. Yaa bunaya
irham ma'ana, wala takunu ma'al kafiriin. Maka janganlah ikuti jalan
orang-orang yang menentang," kata Nuh.
Yang disitir oleh Menteri Nuh itu adalah potongan ayat
Al-Quran (surat Huud ayat 42) yang berisi percakapan antara Nabi Nuh dan
anaknya. Ketika anaknya tidak mau diajak naik ke kapal Nabi Nuh, ia
dipersilakan bergabung dengan orang kafir. Dalam kisah Nabi Nuh diceritakan
bahwa banjir besar bakal melanda, dan Nabi Nuh mempersiapkan bahtera serta
meminta pengikutnya (dan juga hewan) bergabung supaya selamat dari topan dan
badai. Akan tetapi, sesungguhnya Menteri Nuh bukan Nabi Nuh. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar