Selasa, 09 Juli 2013

Kurikulum 2013 Berbasis Syariah?

Kurikulum 2013 Berbasis Syariah?
Asvi Warman Adam  ;    Peneliti Utama LIPI
KORAN TEMPO, 08 Juli 2013


Dalam kurikulum 2013 yang terbaca di Internet terlihat bahwa struktur pendidikan sejak SD sampai SMA dimulai dengan nilai agama, dan semuanya dikaitkan dengan agama.
Setelah melakukan sedikit perbaikan pada 1999 (revisi), kurikulum 1994 yang menekankan substansi mata pelajaran bergeser ke kompetensi siswa pada 2004. Tidak ada alasan yang kuat dalam penggantian kurikulum berbasis kompetensi tahun 2004 menjadi kurikulum tingkat satuan pendidikan tahun 2006, kecuali memberi kesempatan dari daerah sampai sekolah untuk berkreasi melengkapi kurikulum tersebut. Faktanya, hal ini juga tidak berjalan lancar. 
Kini pemerintah menyodorkan kurikulum 2013 yang terkesan terburu-buru. Yang lebih mencolok lagi, tujuan kurikulum yang pertama dan utama berkaitan dengan pengamalan ajaran agama. Segala sesuatunya dihubungkan dengan agama dan Tuhan. Apakah kurikulum itu lebih tepat disebut kurikulum berbasis syariah?
Dalam perjalanan proses pengesahan dasar negara Indonesia, 7 (tujuh) kata "dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya" yang dikenal sebagai "Piagam Jakarta" tidak bisa diterima dengan suara bulat. Negara memang memberi kebebasan bagi setiap penganut agama dalam menjalankan ibadahnya, tapi negara tidak bertugas agar kewajiban agama itu harus dilaksanakan oleh pemeluknya.
Kompetensi inti dari kelas I SD sampai kelas XII SMA adalah sama, yakni "menghayati dan mengamalkan ajaran agama yang dianutnya". Kompetensi inti adalah bentuk kualitas yang dimiliki oleh mereka yang telah menyelesaikan satuan/jenjang pendidikan tertentu yang mencakup pengetahuan, sikap, serta keterampilan (kognitif, afektif, dan psikomotorik). Kompetensi dasar merupakan kompetensi setiap mata pelajaran untuk setiap kelas yang diturunkan dari Kompetensi Inti. Tidak ada masalah bila kompetensi "menghayati dan mengamalkan ajaran agama" itu diberlakukan khusus untuk mata pelajaran agama. Tapi tampak dipaksakan bahwa kualitas yang dihasilkan setelah belajar aljabar, ilmu pengetahuan alam, bahasa Indonesia, geografi, dan lain-lain adalah kesalehan siswa dalam mengamalkan ajaran agamanya. 
Kita mengetahui bahwa salah satu tujuan berbangsa dan bernegara sebagaimana diatur dalam pembukaan UUD 1945 adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Kementerian terkait seyogianya merumuskan tujuan pendidikan nasional berdasarkan prinsip di atas. Menciptakan manusia yang cerdas adalah tujuan pendidikan yang pertama dan utama, walaupun perlu dilengkapi dengan muatan nilai-nilai luhur lainnya, seperti kejujuran, tanggung jawab, dan kesalehan. 
Dalam kurikulum 2013 yang terbaca di Internet terlihat bahwa struktur pendidikan sejak SD sampai SMA itu dimulai dengan nilai agama, dan semuanya dikaitkan dengan agama. Kompetensi dasar SMA kelas X untuk mata pelajaran bahasa Indonesia adalah "mensyukuri anugerah Tuhan akan keberadaan bahasa Indonesia dan menggunakannya sesuai dengan kaidah dan konteks untuk mempersatukan bangsa". Memang bahasa Indonesia adalah alat komunikasi yang mempersatukan bangsa, tapi apa perlu ditekankan bahwa bahasa Indonesia itu merupakan anugerah Tuhan? 
Dalam kompetensi dasar sejarah Indonesia SMA kelas X dicantumkan "menghayati keteladanan para pemimpin dalam mengamalkan ajaran agamanya". Pelajaran sejarah jelas menguraikan perjuangan para pemimpin bangsa dalam merebut dan mengisi kemerdekaan. Hal ini tentu patut diteladani, tapi perjuangan tersebut tidak otomatis semuanya berkaitan dengan ajaran agama. 
Lantas, apa yang akan dihasilkan dari mata pelajaran agama Islam dan budi pekerti SMA kelas X? Dua di antaranya adalah "meyakini kebenaran hukum Islam" dan "berpakaian sesuai dengan ketentuan syariat Islam dalam kehidupan sehari-hari". Di Indonesia, kita mengenal hukum nasional, dan di berbagai daerah juga berlaku hukum adat. Tentu perlu dijelaskan bahwa "hukum Islam" itu tidak boleh bertentangan dengan hukum nasional. Mengenai "busana yang sesuai dengan ketentuan syariat Islam", apakah itu berarti seluruh siswa perempuan muslim harus berjilbab, misalnya? 
Asal-usul 
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh menjelaskan soal asal-usul kurikulum 2013 di depan para ulama dan pelaku pendidikan di Kabupaten Semarang saat memberi sambutan dalam acara peresmian sebuah SMK Kesehatan pada 4 Mei 2013 (edukasi.kompas.com/read/2013/05/04/21062649). Menurut Nuh, pendidikan pada hakikatnya bertujuan menghilangkan tiga penyakit masyarakat. "Satu saja yang diingat bahwa tujuan pendidikan adalah menghilangkan kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan peradaban," ujarnya.
Menteri Nuh mendapat gagasan tentang konsep kurikulum 2013 saat menunaikan ibadah umrah pada 2006. Konsep itu adalah tazkiyah (attitude), tilawah (pengetahuan), dan ta'alim (keterampilan). "Saya buka rahasia konsep kurikulum 2013 ini. Pada kesempatan saya menunaikan umrah tahun 2006, dalam perjalanan ke Madinah, saya menyempatkan mengaji. Pada saat itu saya menemukan surat yang menerangkan tentang tilawah, tazkiyah, dan ta'alim ini. Saya baca berulang-ulang surat ini. Saya pikir inilah yang saya cari-cari selama ini," ucapnya. Sebetulnya konsep kognitif, afektif, dan psikomotorik sudah dikenal luas dalam bidang pendidikan walaupun tidak menggunakan istilah berbahasa Arab. 
Konsep atau kurikulum 2013 diharapkan dapat mengatasi ketiga penyakit masyarakat tersebut. Penerapan kurikulum 2013, Nuh melanjutkan, akan dilaksanakan secara bertahap. Pihaknya menyadari banyak pihak yang menentang penerapan kurikulum 2013. "Sikap kita sudah jelas. Yaa bunaya irham ma'ana, wala takunu ma'al kafiriin. Maka janganlah ikuti jalan orang-orang yang menentang," kata Nuh. 

Yang disitir oleh Menteri Nuh itu adalah potongan ayat Al-Quran (surat Huud ayat 42) yang berisi percakapan antara Nabi Nuh dan anaknya. Ketika anaknya tidak mau diajak naik ke kapal Nabi Nuh, ia dipersilakan bergabung dengan orang kafir. Dalam kisah Nabi Nuh diceritakan bahwa banjir besar bakal melanda, dan Nabi Nuh mempersiapkan bahtera serta meminta pengikutnya (dan juga hewan) bergabung supaya selamat dari topan dan badai. Akan tetapi, sesungguhnya Menteri Nuh bukan Nabi Nuh. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar