|
KOMPAS,
23 Juli 2013
Rencana konvensi Partai Demokrat
menjaring calon presiden dan calon wakil presiden tidak terlepas dari kegalauan
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terhadap tiadanya kader-kader Partai Demokrat
yang layak dicalonkan sebagai kandidat Pemilu Presiden 2014.
Sebagian orang
memandang positif rencana konvensi tersebut, karena akan menghasilkan pemimpin
alternatif yang mumpuni membawa kemajuan bangsa Indonesia. Namun, sebagian
pengamat melihat konvensi tidak lebih dari pergelaran politik untuk
meningkatkan citra partai yang terpuruk akibat berbagai kasus korupsi beberapa
kader Partai Demokrat.
Terlepas dari
sikap pro-kontra, konsep penyelenggaraan konvensi itu agaknya dibangun secara
terbuka. Elite Partai Demokrat seolah hendak memupuk citra bahwa ”pendekatan”
konvensi itu sangat rasional, fair, dan tidak subyektif (akal-akalan);
siapa pun bisa ikut berlaga sepanjang memenuhi kriteria yang ditentukan oleh
”komite independen”.
Penentuan
capres-cawapres pun didasarkan pada pendapat masyarakat yang dijaring melalui
survei beberapa lembaga, bukan oleh pimpinan Partai Demokrat. Hal ini berbeda
dengan konvensi Partai Golkar pada 2004 yang mekanismenya agak tertutup.
Kegagalan partai
Konvensi
sesungguhnya merupakan cermin kegagalan fungsi partai politik melakukan proses
perekrutan dan pendidikan kader sebagai pemimpin bangsa. Ini terjadi pada semua
partai dan hanya Presiden SBY yang jujur mengakui.
Dalam kehidupan
partai politik dewasa ini, proses perekrutan dan kaderisasi bersifat organik
dalam struktur partai yang dicirikan oleh pelapisan berbagai
organisasi onderbouw atau organisasi massa yang semakin tidak
diperlukan.
Proses
kaderisasi yang dikembangkan partai-partai modern-pragmatik-profesional saat
ini lebih banyak mengandalkan ”pemasaran dan iklan politik” sebagaimana
dituntut oleh political images and image building. Kontak berhadapan muka
(face to face) dengan rakyat berubah
menjadi lebih mediated contacts melalui alat-alat komunikasi modern
dalam arti seluas-luasnya.
Dalam
keseharian, rakyat (pemilih) kurang diemong dan dijaga kedekatannya. Oleh
karena itu wajar kalau rakyat tidak mengenal kader (pengurus) partai, sekalipun
di tingkat kecamatan. Jadi, konvensi adalah salah satu upaya untuk
menyelamatkan pamor partai agar tidak semakin meredup. Ada kesan konvensi juga
menjadi wahana untuk ”membajak” kader partai lain.
Pola penjaringan
secara terbuka seperti itu jelas membuka peluang bagi individu tertentu dari
luar partai yang dahaga kekuasaan untuk ikut ”bertarung”. Hal demikian berbeda
dengan model konvensi di Amerika Serikat.
Semua calon
yang berkompetisi berasal dari lingkungan dan internal partai serta merupakan
figur yang tangguh dalam pemikiran (visi), stamina, dan juga sumber daya
keuangan. Mereka dipilih berdasarkan kapabilitas, kapasitas, dan integritas.
Pada konvensi
Partai Demokrat, capres-cawapres ditentukan oleh masyarakat melalui
lembaga-lembaga survei. Mekanisme penentuan capres-cawapres melalui survei
adalah cara yang fair, logis, dan secara keilmuan dapat
dipertanggungjawabkan.
Di sisi lain,
survei untuk konvensi menuntut metode yang tepat dan benar. Survei preferensi
yang selama ini dipakai sebagai alat ukur, misalnya, tidak bisa dipergunakan
karena hanya melihat elektabilitas berdasarkan popularitas.
Hal ini
berbahaya karena konvensi hanya ”memilih” kandidat yang populer, tetapi tidak
memiliki kapabilitas, kapasitas, dan integritas sebagai pemimpin. Kian
berbahaya lagi manakala berbagai lembaga survei mengeluarkan hasil
berbeda-beda. Jika demikian, konvensi tidak jauh berbeda dengan panggung
hiburan Indonesia Idol; pemenangnya yang paling populer meski kualitas
suara tidak terlalu bagus.
Pelembagaan konvensi
Rencana
konvensi Partai Demokrat dalam penentuan capres-cawapres 2014 ─meski terdapat
keterbatasan di sana-sini─ barangkali bisa dijadikan titik awal bagi semua
partai politik di negeri ini sebagai medium seleksi pemimpin bangsa yang
memiliki kapabilitas, kapasitas, dan integritas. Para calon yang mengikuti
konvensi seharusnya berasal dari kalangan internal partai yang sudah ditempa,
teruji, dan berhasil dalam kepemimpinannya.
Konvensi
seyogianya tidak dijadikan ajang pelampiasan, pelarian, atau penyelamatan yang
dilakukan saat terjadi krisis kepemimpinan dan meredupnya pamor partai.
Sementara itu ketika situasi kembali ”normal”, penentuan capres-cawapres dibawa
kembali ke mekanisme tradisional, yaitu kongres partai yang sebatas mengukuhkan
ketua umum partai bersangkutan sebagai calon.
Konvensi adalah
suatu keniscayaan dalam perkembangan masyarakat politik yang terbuka dan
demokratis. Tanpa melembagakan konvensi sebagai mekanisme penentuan calon
pemimpin bangsa, maka selamat tinggal kader partai yang potensial menjadi
pemimpin masa depan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar