|
KOMPAS,
28 Juni 2013
Ibarat bom waktu, konflik lahan di
wilayah Sumatera Selatan sewaktu-waktu bisa meledak dahsyat. Penyelesaian yang
berlarut-larut, ditambah tak jelasnya keberpihakan pemerintah kepada warga yang
merasa diperlakukan tidak adil, membuat ledakan kemarahan dikhawatirkan brutal.
Konflik lahan saat ini memasuki babak baru, yang ditandai dengan semakin banyak
warga yang bersengketa soal lahan ditetapkan sebagai tersangka. Keberpihakan
negara kian dipertanyakan.
Meskipun sudah dua tahun sejak
bentrokan berdarah di Sei Sodong, Kecamatan Mesuji, Kabupaten Ogan Komering
Ilir (OKI), Sumatera Selatan, hingga kini belum ada penyelesaian tuntas terkait
akar masalah dari konflik tersebut. Menyusul bentrokan yang menewaskan tujuh
orang pada 22 April 2011 itu, warga desa yang terpencil di perbatasan
Lampung-Sumatera Selatan itu pun merasa hidup dalam tekanan dengan kehadiran
aparat di sekitar mereka.
Pada pertengahan 2011, bentrokan
berdarah terjadi antara warga Sei Sodong dan petugas keamanan perusahaan
perkebunan kelapa sawit PT Sumber Wangi Alam (SWA). Bentrokan berujung tewasnya
7 orang, yaitu 5 pekerja perusahaan dan 2 warga. Seorang pekerja PT SWA tewas
saat ratusan warga menyerang kompleks pekerja PT SWA itu.
Penyerangan dipicu kemarahan akibat
tewasnya 2 warga oleh petugas keamanan PT SWA. Konflik berakar pada tuntutan
warga sejak 2000 terhadap lahan seluas 633 hektar. Sebelumnya, lahan itu
dijanjikan PT SWA sebagai kebun plasma. Namun, hingga waktu itu belum juga
direalisasi.
Tokoh Sei Sodong, Mangkuraddin
(54), mengatakan, pembicaraan terakhir antara warga dan PT SWA beberapa bulan
lalu tetap tak menghasilkan penyelesaian tuntas. ”PT SWA bersikeras
mempertahankan lahan, kami pun bertekad menuntut kembali lahan kami,” katanya,
Selasa lalu.
Menurut Mangkuraddin, saat ini
warga makin sakit hati. Selain tak ada kabar berita tentang janji terebut,
semakin banyak aparat keamanan yang menjaga kawasan perkebunan tersebut. Hal
ini membuat warga berpendapat, negara lebih berpihak pada perusahaan dibanding
rakyat kecil.
Sakit
hati
Konflik serupa juga terjadi di Desa
Nusantara, Kecamatan Air Sugihan, OKI. Warga memendam sakit hati menyusul
penetapan dua tokoh desa itu, yaitu Sukirman (42) dan Syaiful Anwar (41),
sebagai tersangka dalam kasus sengketa lahan antara warga dan perusahaan
perkebunan sawit PT Selatan Agro Makmur Lestari (PT SAML). Warga dituduh
menduduki lahan yang telah dimasukkan dalam hak guna usaha (HGU) PT SAML seluas
lebih kurang 1.200 hektar.
Sukirman mengatakan, status
tersangka ini membuat tekad warga Forum Petani Nusantara Bersatu kian membara.
Sudah lahan yang menjadi penghidupan utama warga ”dirampas”, tokoh warga pun
dijadikan tersangka. ”Kami merasa dizolimi negara. Kami merasa tak bersalah,
tetapi justru menjadi tersangka,” ujar Sukirman.
Kamaluddin (52), warga Kabupaten
Ogan Ilir, juga dijatuhi hukuman penjara karena dituduh merusak saat unjuk rasa
di markas Polda Sumatera Selatan pada awal 2013. Direktur Eksekutif Walhi
Sumatera Selatan Anwar Sadat dan aktivis Walhi Sumatera Selatan Dedek Chaniago
juga dikenai vonis penjara saat unjuk rasa.
Untuk sementara, penangkapan
tokoh-tokoh warga dan aktivis memang bisa meredam unjuk rasa dan pendudukan
lahan PTPN VII Cinta Manis. Namun, itu hanya sementara. Dendam justru membara
di benak sebagian warga Ogan Ilir yang menuntut lahan dari PTPN VII Cinta
Manis.
Setahun terakhir, ribuan warga desa
terus berunjuk rasa dan menduduki lahan untuk menuntut PTPN VII Cinta Manis
melepaskan lahan tebunya seluas 13.500 hektar.
Kepala Divisi Pengembangan dan
Pengorganisasian Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumatera Selatan
Hadi Jatmiko mengatakan, selama tahun ini, Walhi Sumatera Selatan mendata
sekitar 52 warga yang bersengketa lahan justru ditetapkan sebagai tersangka.
Menurut dia, penetapan tersangka ini menunjukkan minimnya keberpihakan negara
terhadap warganya sendiri.
Buntut rebutan lahan di kawasan
Hutan Register 45 Mesuji, Provinsi Lampung, pada Juni 2012, hingga kini juga
belum diselesaikan secara tuntas. Waktu itu, tak hanya rumah, tetapi juga mobil
dan sepeda motor milik
perambah hutan dibakar. Sejumlah warga pun cedera.
perambah hutan dibakar. Sejumlah warga pun cedera.
Demikian juga bentrokan berdarah
antara warga dan aparat yang menewaskan dua orang di lokasi yang sama, akhir
2011. Ini membuktikan Register 45 Mesuji terus membara.
Sejak kasus Mesuji mencuat serta
ramai diperbincangkan, wilayah itu seolah berlaku status quo. Pemerintah
tak punya nyali mengusir para perambah, yang jumlahnya berdasarkan data
Pemerintah Kabupaten Mesuji mencapai 16.000 orang saat ini.
Tisnanta, dosen Fakultas Hukum
Universitas Lampung, yang juga mantan anggota Tim Gabungan Pencari Fakta Kasus
Mesuji, mengatakan, kondisi di Register 45 Mesuji terus memburuk, antara lain,
karena adanya pembiaran masuknya perambah tersebut. Konflik yang dulu hanya
bersifat vertikal, pun cenderung meluas menjadi horizontal.
Sampai kapan?
Di Sumatera Utara, konflik agraria
juga menjadi kisah panjang saat investasi multinasional masuk ke Sumatera Timur
sejak abad ke-18, yaitu saat Jacobus Nieyus pertama kali membuka perkebunan
tembakau. Sejak itu, masyarakat pun tersisih oleh modal dan mesin keuntungan,
yang mendorong terjadinya konflik yang terus-menerus hingga saat ini.
Korbannya jelas orang-orang kecil,
petani penggarap yang berusaha mendapatkan lahan mereka, dan pegawai-pegawai
rendahan perusahaan yang berada di lapangan.
”Kami ini yang berhadapan langsung
dengan warga. Direksi bisa pergi dan dipindahkan setiap saat, tetapi kami
tinggal di sini dan terus menghadapi warga,” tutur pekerja PT Perkebunan
Nusantara (PTPN) II yang tak mau disebut namanya.
Bentrokan antara petani penggarap
dan karyawan perusahaan menjadi hal biasa di Sumatera Utara. Laporan
Sekretariat Bersama Reforma Agraria Sumatera Utara menyebutkan, pada
Januari-Juli 2012 tercatat 16 kasus konflik petani versus
perusahaan/pengusaha/koperasi, yang memperebutkan lahan seluas lebih dari
16.000 hektar. Puluhan orang terluka dan puluhan lainnya ditangkap polisi. Tak
ketinggalan rumah dan kendaraan terbakar
Komisi A DPRD Sumatera Utara juga
mencatat, hingga tahun lalu ada 875 kasus konflik tanah di Sumatera Utara yang
belum terselesaikan. Sedangkan Polda Sumatera Utara melaporkan, sejak tahun
2005 hingga 2012 telah terjadi 2.794 kasus sengketa tanah. Sejak tahun 1954,
upaya penyelesaian konflik tanah telah dilakukan, tetapi hingga kini belum ada
titik terang.
Benget Silitonga, anggota Tim
Inisiator Penyelesaian Kasus Tanah Alternatif di Sumatera Utara, meminta
Pemerintah Provinsi Sumatera Utara, yang dipimpin Gatot Pudjo Nugroho segera
membereskan konflik lahan di Sumatera Utara yang berlarut-larut. Jika tidak,
sampai kapan rakyat harus ”bertarung” dengan pengusaha dan aparat? ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar