Selasa, 02 Juli 2013

Ketika Warga yang Dijadikan Tersangka

Ketika Warga yang Dijadikan Tersangka
IRE-JON-WSI ;  Wartawan KOMPAS
KOMPAS, 28 Juni 2013

Ibarat bom waktu, konflik lahan di wilayah Sumatera Selatan sewaktu-waktu bisa meledak dahsyat. Penyelesaian yang berlarut-larut, ditambah tak jelasnya keberpihakan pemerintah kepada warga yang merasa diperlakukan tidak adil, membuat ledakan kemarahan dikhawatirkan brutal. Konflik lahan saat ini memasuki babak baru, yang ditandai dengan semakin banyak warga yang bersengketa soal lahan ditetapkan sebagai tersangka. Keberpihakan negara kian dipertanyakan.

Meskipun sudah dua tahun sejak bentrokan berdarah di Sei Sodong, Kecamatan Mesuji, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan, hingga kini belum ada penyelesaian tuntas terkait akar masalah dari konflik tersebut. Menyusul bentrokan yang menewaskan tujuh orang pada 22 April 2011 itu, warga desa yang terpencil di perbatasan Lampung-Sumatera Selatan itu pun merasa hidup dalam tekanan dengan kehadiran aparat di sekitar mereka.

Pada pertengahan 2011, bentrokan berdarah terjadi antara warga Sei Sodong dan petugas keamanan perusahaan perkebunan kelapa sawit PT Sumber Wangi Alam (SWA). Bentrokan berujung tewasnya 7 orang, yaitu 5 pekerja perusahaan dan 2 warga. Seorang pekerja PT SWA tewas saat ratusan warga menyerang kompleks pekerja PT SWA itu.

Penyerangan dipicu kemarahan akibat tewasnya 2 warga oleh petugas keamanan PT SWA. Konflik berakar pada tuntutan warga sejak 2000 terhadap lahan seluas 633 hektar. Sebelumnya, lahan itu dijanjikan PT SWA sebagai kebun plasma. Namun, hingga waktu itu belum juga direalisasi.

Tokoh Sei Sodong, Mangkuraddin (54), mengatakan, pembicaraan terakhir antara warga dan PT SWA beberapa bulan lalu tetap tak menghasilkan penyelesaian tuntas. ”PT SWA bersikeras mempertahankan lahan, kami pun bertekad menuntut kembali lahan kami,” katanya, Selasa lalu.

Menurut Mangkuraddin, saat ini warga makin sakit hati. Selain tak ada kabar berita tentang janji terebut, semakin banyak aparat keamanan yang menjaga kawasan perkebunan tersebut. Hal ini membuat warga berpendapat, negara lebih berpihak pada perusahaan dibanding rakyat kecil.

Sakit hati

Konflik serupa juga terjadi di Desa Nusantara, Kecamatan Air Sugihan, OKI. Warga memendam sakit hati menyusul penetapan dua tokoh desa itu, yaitu Sukirman (42) dan Syaiful Anwar (41), sebagai tersangka dalam kasus sengketa lahan antara warga dan perusahaan perkebunan sawit PT Selatan Agro Makmur Lestari (PT SAML). Warga dituduh menduduki lahan yang telah dimasukkan dalam hak guna usaha (HGU) PT SAML seluas lebih kurang 1.200 hektar.

Sukirman mengatakan, status tersangka ini membuat tekad warga Forum Petani Nusantara Bersatu kian membara. Sudah lahan yang menjadi penghidupan utama warga ”dirampas”, tokoh warga pun dijadikan tersangka. ”Kami merasa dizolimi negara. Kami merasa tak bersalah, tetapi justru menjadi tersangka,” ujar Sukirman.

Kamaluddin (52), warga Kabupaten Ogan Ilir, juga dijatuhi hukuman penjara karena dituduh merusak saat unjuk rasa di markas Polda Sumatera Selatan pada awal 2013. Direktur Eksekutif Walhi Sumatera Selatan Anwar Sadat dan aktivis Walhi Sumatera Selatan Dedek Chaniago juga dikenai vonis penjara saat unjuk rasa.

Untuk sementara, penangkapan tokoh-tokoh warga dan aktivis memang bisa meredam unjuk rasa dan pendudukan lahan PTPN VII Cinta Manis. Namun, itu hanya sementara. Dendam justru membara di benak sebagian warga Ogan Ilir yang menuntut lahan dari PTPN VII Cinta Manis.

Setahun terakhir, ribuan warga desa terus berunjuk rasa dan menduduki lahan untuk menuntut PTPN VII Cinta Manis melepaskan lahan tebunya seluas 13.500 hektar.

Kepala Divisi Pengembangan dan Pengorganisasian Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumatera Selatan Hadi Jatmiko mengatakan, selama tahun ini, Walhi Sumatera Selatan mendata sekitar 52 warga yang bersengketa lahan justru ditetapkan sebagai tersangka. Menurut dia, penetapan tersangka ini menunjukkan minimnya keberpihakan negara terhadap warganya sendiri.

Buntut rebutan lahan di kawasan Hutan Register 45 Mesuji, Provinsi Lampung, pada Juni 2012, hingga kini juga belum diselesaikan secara tuntas. Waktu itu, tak hanya rumah, tetapi juga mobil dan sepeda motor milik
perambah hutan dibakar. Sejumlah warga pun cedera.

Demikian juga bentrokan berdarah antara warga dan aparat yang menewaskan dua orang di lokasi yang sama, akhir 2011. Ini membuktikan Register 45 Mesuji terus membara.

Sejak kasus Mesuji mencuat serta ramai diperbincangkan, wilayah itu seolah berlaku status quo. Pemerintah 
tak punya nyali mengusir para perambah, yang jumlahnya berdasarkan data Pemerintah Kabupaten Mesuji mencapai 16.000 orang saat ini.

Tisnanta, dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung, yang juga mantan anggota Tim Gabungan Pencari Fakta Kasus Mesuji, mengatakan, kondisi di Register 45 Mesuji terus memburuk, antara lain, karena adanya pembiaran masuknya perambah tersebut. Konflik yang dulu hanya bersifat vertikal, pun cenderung meluas menjadi horizontal.

Sampai kapan?

Di Sumatera Utara, konflik agraria juga menjadi kisah panjang saat investasi multinasional masuk ke Sumatera Timur sejak abad ke-18, yaitu saat Jacobus Nieyus pertama kali membuka perkebunan tembakau. Sejak itu, masyarakat pun tersisih oleh modal dan mesin keuntungan, yang mendorong terjadinya konflik yang terus-menerus hingga saat ini.

Korbannya jelas orang-orang kecil, petani penggarap yang berusaha mendapatkan lahan mereka, dan pegawai-pegawai rendahan perusahaan yang berada di lapangan.

”Kami ini yang berhadapan langsung dengan warga. Direksi bisa pergi dan dipindahkan setiap saat, tetapi kami tinggal di sini dan terus menghadapi warga,” tutur pekerja PT Perkebunan Nusantara (PTPN) II yang tak mau disebut namanya.

Bentrokan antara petani penggarap dan karyawan perusahaan menjadi hal biasa di Sumatera Utara. Laporan Sekretariat Bersama Reforma Agraria Sumatera Utara menyebutkan, pada Januari-Juli 2012 tercatat 16 kasus konflik petani versus perusahaan/pengusaha/koperasi, yang memperebutkan lahan seluas lebih dari 16.000 hektar. Puluhan orang terluka dan puluhan lainnya ditangkap polisi. Tak ketinggalan rumah dan kendaraan terbakar

Komisi A DPRD Sumatera Utara juga mencatat, hingga tahun lalu ada 875 kasus konflik tanah di Sumatera Utara yang belum terselesaikan. Sedangkan Polda Sumatera Utara melaporkan, sejak tahun 2005 hingga 2012 telah terjadi 2.794 kasus sengketa tanah. Sejak tahun 1954, upaya penyelesaian konflik tanah telah dilakukan, tetapi hingga kini belum ada titik terang.


Benget Silitonga, anggota Tim Inisiator Penyelesaian Kasus Tanah Alternatif di Sumatera Utara, meminta Pemerintah Provinsi Sumatera Utara, yang dipimpin Gatot Pudjo Nugroho segera membereskan konflik lahan di Sumatera Utara yang berlarut-larut. Jika tidak, sampai kapan rakyat harus ”bertarung” dengan pengusaha dan aparat? ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar