|
KOMPAS,
28 Juni 2013
Pembentukan ASEAN
Community 2015 sudah dekat. Indonesia harus bersiap diri di tiga pilar Komunitas ASEAN
tersebut, yakni pilar politik dan keamanan, ekonomi, serta sosial budaya. Di
pilar sosial budaya, perempuan pekerja atau buruh migran belum mendapat
perlindungan memadai karena ASEAN
Declaration on the Protection and Promotion of the Rights of Migrant Workers,
yang ditandatangani para petinggi ASEAN pada 13 Januari 2007, hanya menjadi
”macan kertas”.
Direktur Eksekutif Migrant Care Anis Hidayah mengatakan,
seperti banyak prediksi sebelumnya, ASEAN
Declaration on the Protection and Promotion of the Rights of Migrant Workers
tidak dipatuhi secara tulus oleh negara-negara ASEAN dalam melindungi buruh
migran. Selama hampir enam tahun deklarasi itu dibentuk, tidak banyak perubahan
signifikan terhadap nasib buruh migran, terutama buruh migran Indonesia di
Malaysia dan Singapura.
Hal senada disampaikan Komisioner Komisi Nasional Anti
Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Arimbi Heroepoetri. Komnas
Perempuan memandang, selama ini masalah utama perempuan Indonesia di tingkat
ASEAN adalah masalah pekerja migran (yang kebanyakan perempuan), terutama
mereka yang bekerja di Malaysia dan Singapura.
Melalui ASEAN Community
ini diharapkan ada standardisasi perlindungan pekerja migran di tingkat ASEAN
mengingat dalam Roadmap ASEAN Community
bagian perlindungan untuk pekerja migran sudah terelaborasi dengan lengkap.
Diusir
Di Malaysia, misalnya, buruh migran Indonesia yang tidak
berdokumen masih saja menjadi sasaran pengusiran. Menurut Anis Hidayah, setiap
minggu Pemerintah Malaysia secara rutin mengusir buruh migran yang tidak
berdokumen lewat beberapa pelabuhan seperti Pasir Panjang Johor Bahru ke
Nunukan, Kalimantan Timur.
Seharusnya, dengan adanya deklarasi yang ditandatangani pada
2007 itu, ada tindakan yang lebih baik untuk mengurus buruh migran, tidak
sekadar mengusir. Pasalnya, kerap terjadi para buruh migran itu lari dari
pemberi kerja, biasanya karena mengalami kasus-kasus kekerasan, sementara
paspor dan dokumen lain dipegang si pemberi kerja.
Begitu juga bagi pekerja rumah tangga (PRT) migran, baik di
Malaysia maupun Singapura, sampai hari ini belum sepenuhnya menerima hak-hak
fundamental layaknya pekerja sektor lain sehingga rentan terhadap pelanggaran
hak asasi manusia (HAM).
Di Malaysia, PRT migran masih banyak yang mengalami
penyiksaan, kekerasan seksual, dan gaji tidak dibayar. Meski Indonesia dan
Malaysia tahun lalu telah berhasil memperbarui nota kesepahaman tentang PRT,
dokumen itu belum sepenuhnya bisa memperbaiki nasib PRT selama kedua negara
masih lemah komitmennya dalam mewujudkan legislasi di negara masing-masing
terkait perlindungan PRT.
Sebenarnya deklarasi ASEAN untuk perlindungan buruh migran
merupakan langkah maju jika semua anggota ASEAN mengimplementasikannya.
”Lemahnya kepatuhan ini juga karena instrumen ini non legally binding (tidak
wajib). Karena itu, sangat mendesak untuk segera dibentuk instrumen
yang legally binding.
Sayang, proses yang telah berlangsung cukup lama
untuk mewujudkan instrumen tersebut tak mendapatkan dukungan sepenuhnya,
terutama dari negara tujuan seperti Malaysia dan Singapura, sehingga stagnan
dalam pembahasan TOR,” ujar Anis Hidayah.
Eskalasi buruh migran Indonesia yang terancam hukuman mati di
Malaysia semestinya juga menjadi daya dorong bagi Indonesia untuk lebih serius
mendorong proses di ASEAN, termasuk kerentanan buruh migran terhadap
perdagangan manusia di Malaysia dan Singapura.
Kelompok
rentan
ASEAN Community 2015 menempatkan isu perempuan sebagai
kelompok rentan bersama dengan kelompok lanjut usia, anak-anak, dan penyandang
cacat/disabilitas. Permasalahannya, masing-masing kelompok rentan ini memiliki
pola kerentanan yang berbeda sehingga seharusnya memiliki pola penanganan yang
berbeda pula.
Dalam dokumen Roadmap
ASEAN Community ini, menurut Arimbi Heroepoetri, tidak muncul langkah
afirmasi untuk perlindungan perempuan dengan tegas dalam level regional,
apalagi dalam level masing-masing negara, selain mengacu pada Committee on the Elimination of
Discrimination Against Women (CEDAW).
Arimbi menyatakan, perlu diingat juga, perempuan di setiap
negara anggota ASEAN memiliki pola kerentanan yang berbeda dalam hal akses
politik, ekonomi, dan pendidikan. Disparitas dalam akses tersebut juga masih
tajam, termasuk latar belakang budaya dan agama.
”Potensi konflik budaya dan agama di ASEAN yang sering kali mengorbankan
perempuan tidak cukup tecermin dalam dokumen ini. Eksistensi masyarakat adat
sama sekali tidak disinggung, padahal secara faktual masyarakat adat hadir di
setiap negara ASEAN,” kata Arimbi.
Indonesia sebagai negara terbesar di ASEAN—dalam hal ukuran
sumber daya manusia dan sumber daya alam—dapat menjadi panutan untuk mendorong
terjadinya keadilan jender dan perlindungan perempuan (termasuk kelompok rentan
lainnya), salah satunya dengan mendorong hadirnya instrumen HAM nasional khusus
perempuan di setiap negara ASEAN. Hal itu mengingat di ASEAN hanya Indonesia
yang memiliki instrumen HAM nasional khusus perempuan, yaitu Komnas Perempuan.
Pengalaman membangun Komnas
Perempuan dapat dijadikan acuan bagi negara-negara
ASEAN lainnya.
Dengan hadirnya ASEAN
Community pada 2015, diharapkan semua penduduk di negara anggota ASEAN yang
berjumlah 608 juta jiwa bisa bekerja sama mengatasi persoalan-persoalan yang
ada di kawasan Asia Tenggara dan perjanjian/kesepakatan yang telah dihasilkan
tak lagi menjadi ”macan kertas” semata. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar