|
SINAR
HARAPAN, 02 Juli 2013
Jauh
dari ingar-bingar pemberitaan media massa, arah dan masa depan pertambangan Indonesia
mulai mengundang tanda tanya besar.
Awal
tahun 2013 ini kita memasuki tahun baru dengan harapan pertumbuhan ekonomi
lebih baik lagi dari tahun-tahun sebelumnya di semua sektor, tak terkecuali
sektor pertambangan. Aktivitas pertambangan sejak dahulu hingga hari ini
merupakan industri yang strategis dan vital dalam perekonomian suatu negara.
Tak
terkecuali di Indonesia, industri pertambangan memegang peranan penting dalam
pertumbuhan ekonomi. Arah dan masa depan pertambangan oleh pemerintah telah ditetapkan
akan bergerak ke hilir. Kita tidak boleh terus-menerus menjadi bangsa yang
mengekspor barang mentah ke luar negeri. Tentunya sebuah komitmen yang patut
diapresiasi semua pihak.
Merujuk
pada Undang-Undang Mineral dan Batu Bara (UU Minerba) Nomor 4 Tahun 2009,
memasuki tahun 2014 adalah awal dari sejarah baru pertambangan Indonesia. Tidak
ada lagi barang tambang mentah yang dijual ke luar negeri, semua harus diolah
menjadi komoditas setengah jadi atau jadi yang memiliki nilai tambah.
Permen
Nomor 7 Tahun 2012 juga kemudian disusul dengan kebijakan verifikasi dan
penataan kembali Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang telah dikeluarkan. Menurut
data Kementerian ESDM, total IUP yang sudah dikeluarkan mencapai 10.640. Dari
total tersebut IUP yang telah memiliki status clean and clear mencapai 4.834
dan IUP yang belum clear and clean sebanyak 5.806 (Oktober/2012).
Resistensi
Berpijak
dari realita yang berkembang saat ini, apakah niat luhur ini dapat terwujud
dalam dunia pertambangan Indonesia tahun 2014 nanti? Beberapa saat setelah
Menteri ESDM mengeluarkan Peraturan Menteri (Permen) Nomor 7 Tahun 2012, yang
mengatur tentang peningkatan nilai tambah mineral melalui kegiatan pengolahan
dan pemurnian mineral, peraturan ini segera mendapat kritik dan perlawanan dari
sejumlah asosiasi pengusaha tambang.
Ada
beberapa alasan yang dikemukakan. Pertama, peraturan itu dinilai menghambat
kinerja ekspor serta merugikan para pengusaha pertambangan. Konon, para
pengusaha tambang rugi hingga triliunan. Kebijakan ini tentu menjadi pukulan
hebat bagi industri pertambangan nasional, sejumlah perusahaan akibatnya gulung
tikar dan puluhan ribu karyawan tambang akhirnya dirumahkan.
Kedua
para pengusaha menganggap belum siapnya infrstruktur dan fasilitas pengolahan
dan pemurnian mineral di dalam negeri, ditambah lagi kondisi pasar domestik
belum mampu menyerap produksi hasil pengelolaan barang tambang.
Merespons
gelombang penolakan dari sejumlah kalangan, agar tidak terlalu membebani para
pengusaha tambang, sempat terbit Permen Nomor 11 Tahun 2012, sebagai revisi
Permen Nomor 7 Tahun 2012.
September
2012, Mahkamah Agung (MA) mengeluarkan keputusan yang cukup mengejutkan, dengan
mengabulkan tuntutan para pengusaha untuk membatalkan larangan ekspor mentah
barang tambang yang diatur dalam Permen ESDM Nomor 7 Tahun 2012.
Mahkamah
Agung membatalkan empat pasal di dalam Permen ESDM Nomor 7 Tahun 2012 tentang
peningkatan nilai tambah mineral melalui pengolahan dan pemurnian mineral.
Beberapa pasal yang dibatalkan oleh MA adalah Pasal 21, Pasal 8 Ayat (3), Pasal
9 Ayat (3) serta Pasal 10 Ayat (1). Dengan pembatalan empat pasal tersebut,
terutama Pasal 21, larangan untuk melakukan ekspor mineral dalam bentuk ore
(barang mentah) dibatalkan.
Keputusan
MA ini tentu tidak selaras dengan spirit hilirisasi industri pertambangan yang
telah digaungkan pemeritah jauh-jauh hari. Para pengusaha bisa saja sedikit
bernafas lega karena dibatalkannya Permen Nomor 7 Tahun 2012.
Tapi
bila kita melihat jarum jam, tentu waktu kita tidak banyak menyambut
implementasi UU Minerba tahun 2014 mendatang. Artinya, kurang dari satu tahun,
siap tidak siap kebijakan hilirisasi pertambangan harus tetap dijalankan.
Eksklusif
Industri
pertambangan adalah industri yang eksklusif, artinya tidak semua orang dapat
terlibat dalam industri ini. Selain butuh modal besar, infrastruktur,
pembangkit listrik, pabrik pengolahan, jalan, dan kantor, industri pertambangan
juga membutuhkan teknologi tingkat tinggi, riset berkelanjutan, serta sumber
daya manusia yang kompeten.
Kedua,
industri pertambangan adalah industri yang daya destruktifnya sangat besar
terhadap ekologi dan lingkungan. Tambang dapat dengan cepat mengubah bentang
alam secara drastis.
Hal
ini tentu bukan menjadi alasan untuk menolak kehadiran industri tambang di
suatu wilayah. Oleh sebab itu butuh komitmen tinggi dalam menjaga lingkungan
dan ekologi yang ada di sekitar wilayah pertambangan dan pengawasan ketat dari
pemerintah terhadap dampak-dampak kehadiran sebuah perusahaan tambang terhadap
lingkungan dan kesejahteraan masyarakatnya.
Mampukah
kita semua mempersiapkan semuanya dalam waktu satu tahun yang tersisa?
Berdasarkan data dari Kementerian ESDM dan Kementerian Perindustrian, paling
tidak terdapat belasan perusahaan tambang yang sudah mengajukan proposal untuk
mendirikan pabrik pengolahan barang tambang (smelter) di Tanah Air. Semoga data ini tidak hanya menjadi “angin
surga” dan nantinya benar-benar dapat terealisasi dan membawa manfaat ekonomi
yang lebih besar.
Kebijakan
dan komitmen pemerintah untuk membawa industri pertambangan bergerak ke hilir
patut kita apresiasi dan kita dukung. Suatu perubahan besar pastinya diiringi
resistensi dari kelompok-kelompok yang nyaman dan enggan berpikir jauh ke
depan, ke arah yang lebih baik.
Jangan
sampai keengganan dan kemalasan kita untuk berpikir dan bekerja lebih keras
menjadi penghalang untuk meningkatkan nilai tambah barang-barang tambang.
Jangan sampai ketika UU Minerba berlaku, barang-barang tambang yang hendak
diolah sudah habis terkuras. Semoga. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar