|
MEDIA
INDONESIA, 16 Juli 2013
KERUSUHAN
di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Tanjung Gusta, Medan, yang berujung pada
kaburnya 240 orang napi awalnya dipicu aksi protes para napi. Para narapidana
tersebut memprotes karena aliran listrik dan air padam, pada Kamis (11/7) mulai
dini hari hingga sore hari. Kerusuh an yang terjadi di LP Tanjung Gusta
tersebut sebenarnya bukan merupakan peristiwa kerusuhan LP yang pertama.
Sejumlah kerusuhan pernah terjadi
di berbagai LP di Tanah Air antara lain kerusuhan di Rutan Salemba Jakarta (20
Juli 2001) yang dipicu perbedaan jatah makan siang bagi narapidana, kerusuhan
di LP Tanjung Gusta (19 Januari 2003) yang dipicu karena adanya sejumlah
narapidana yang akan melarikan diri dan dicegah sejumlah narapidana lainnya,
keributan di LP Lowok Waru Malang (26 Mei 2003) yang dipicu perkelahian di
dalam sel, kerusuhan di LP Cipinang (31 Juli 2007) yang dipicu persaingan
antarkelompok narapidana dalam LP, dan yang terbaru peristiwa penembakan empat
tahanan titipan di LP Cebongan Sleman (19 Maret 2013) oleh sejumlah oknum
anggota Kopassus, dan masih banyak lagi sederet peristiwa kerusuhan lain di
berbagai LP di negeri ini.
Kerusuhan yang terjadi di
berbagai LP di negeri ini sebenarnya memberikan ilustrasi dan sekaligus pesan
mengenai perlunya evaluasi dan pembenahan secara menyeluruh terhadap kondisi
berbagai LP yang sangat memprihatinkan. Bahkan, jauh dari memadai dalam
memenuhi kebutuhan pemenuhan hak-hak asasi para narapidana yang harus menjalani
hukuman di dalamnya. Narapidana memiliki sejumlah hak asasi yang wajib
dilindungi berdasarkan hukum nasional ataupun regulasi internasional.
Pembinaan narapidana di LP tidak
boleh mereduksi perlindungan HAM bagi para narapidana yang sedang menjalani
masa hukuman. Juga, harus mampu mewujudkan tujuan ideal pelaksanaan pemasyarakatan
di LP yang digariskan pada Pasal 3 UU No 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.
Hal itu antara lain menyiapkan warga binaan pemasyarakatan agar dapat
berintegrasi secara sehat dengan masyarakat sehingga dapat berperan kembali
sebagai anggota masyarakat yang bebas dan bertanggung jawab.
Jumlah penghuni LP Tanjung Gusta
selama ini tercatat dua kali dari kapasitas normal LP Tanjung Gusta. Jumlah
penghuni dalam catatan Kementerian Hukum dan HAM sebanyak 2.600 orang yang
terdiri dari 2.594 orang napi dan 6 orang tahanan. Jumlah itu jauh melebihi
kuota hingga 247% dari kapasitas maksimal LP yang seharusnya hanya 1.054 orang.
Realitas itu sudah menggambarkan terjadinya kompleksitas yang dihadapi LP untuk
menyediakan berbagai fasilitas pemenuhan kebutuhan normal bagi para penghuni LP
sesuai dengan persyaratan peraturan perundang-undangan nasional dan regulasi
internasional di bidang pemasyarakatan.
Dalam Standard Minimum Rules for The Treatment of Prisoners yang
disepakati PBB di Jenewa pada 1995 dan disetujui Dewan Ekonomi dan Sosial
dengan Resolusi 663 C (XXIV) pada 31 Juli 1957 dan Resolusi 2076 (LXII) pada 1
Mei 1997 diatur mengenai 95 butir aturan perlakuan terhadap narapidana. Itu
misalnya mengenai standar minimum yang menyangkut makanan, pakaian, kebersihan
pribadi, pelayanan kesehatan, dan sejenisnya.
Pada intinya, substansi dari
ketentuan tersebut mengatur keharusan bagi negara untuk memfasilitasi kebutuhan
hidup para narapidana untuk dapat memenuhi standar kelayakan hidup sebagai
manusia normal. Satu-satunya yang boleh dirampas dari para narapidana selama
menjalani hukuman hanyalah kebebasannya.
Namun, negara bertanggung jawab
sepenuhnya untuk memberikan fasilitas hidup bagi narapidana sesuai dengan
standar kehidupan manusia normal. Hal itu menjadi hak asasi yang melekat kepada
diri setiap orang yang dirampas hak atas kebebasannya selama menjalani hukuman
formal negara sebagai implikasi putusan pemidanaan berdasarkan norma hukum
pidana nasional suatu negara.
Demikian juga dalam Body of Principles for The Protection of All
Persons Under Any Form of Detention or Imprisonment sebagai salah satu
ketentuan yang telah disepakati PBB pada 9 Desember 1988 dengan Resolusi 43/173
yang mengatur 39 butir prinsip perlindungan bagi orang yang ditahan atau
dipenjara.
Pada intinya ketentuan tersebut
mengatur kewajiban bagi negara untuk memberikan perlindungan bagi para
narapidana agar tidak mengalami penganiayaan ataupun penyiksaan serta tidak
direndahkan martabatnya selama yang bersangkutan menjalani hukuman pidana di
penjara. UU No 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan sebenarnya telah mencoba
menggunakan ketentuan internasional tersebut sebagai rujukan dalam pembinaan
para narapidana.
Namun, realitasnya kasus overcapacity penghuni LP seperti yang
terjadi di LP Tanjung Gusta tersebut juga dialami berbagai LP di seluruh negeri
ini pada umumnya. Belum lagi, jika dipermasalahkan praktik-pratik diskriminasi
perlakuan antarnarapidana di berbagai LP ataupun sejumlah pembiaran aksi
kekerasan antarnarapidana ataupun oleh sipir penjara di berbagai LP turut
menambah suram kondisi lembaga pemasyarakatan di negeri ini.
Dalam kasus di LP Tanjung Gusta,
terdapat salah satu butir tuntutan narapidana yang terkesan paradoks dengan
pemicu terjadinya kerusuhan tersebut. Tuntutan para narapidana adalah agar
pemerintah (baca: Kementerian Hukum dan HAM) mengevaluasi dan meninjau ulang
eksistensi PP No 99 Tahun 2012 yang mengatur pengetatan remisi secara terbatas,
khusus kepada narapidana dalam kasus terorisme, perdagangan narkoba, dan korupsi.
Jika dibaca dari perspektif
semiotika dari filsuf F Saussure, dinyatakan bahwa sebuah sistem pertandaan
harus mengekspresikan gagasan. Karena itu, tuntutan terkait dengan peninjauan
ulang PP No 99 Tahun 2012 justru tidak mengekspresikan gagasan yang semula
menjadi latar belakang pemicu kerusuhan di LP Tanjung Gusta tersebut. Bahkan,
dalam kacamata filsafat logika, ketidakkonsistenan gagasan dengan ekspresi
gagasan dalam sistem pertandaan tersebut bisa disebut sebagai accent, yaitu
penipuan terhadap pembaca pesan karena adanya perubahan/pergeseran makna yang
mengorbankan pesan asli untuk sebuah kepentingan terselubung.
Pertanyaan berikutnya adalah ada
(si)apa di balik tuntutan yang berawal dari kerusuhan di LP Tanjung Gusta
tersebut? Jika ditinjau dari semangatnya, PP No 99 Tahun 2012 sudah koheren
dengan agenda nasional pemberantasan korupsi, perdagangan narkoba, dan
terorisme sebagai kejahatankejahatan luar biasa (extraordinary crimes). Maka, dalam memahami pesan hermeneutis di
balik peristiwa kerusuhan di LP Tanjung Gusta perlu memahami keseluruhan dari
apa yang tersirat ataupun yang tersurat dari peristiwa tersebut. Negara perlu
berintrospeksi sekaligus merefl eksi secara empatik, tetapi kritis dalam
memahami pesan di balik kerusuhan Tanjung Gusta. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar