Kamis, 18 Juli 2013

Ekonomi Masih Tertekan

Ekonomi Masih Tertekan
Umar Juoro  ;   Ekonom Senior
di Center for Information and Development Studies dan Habibie Center
REPUBLIKA, 08 Juli 2013


Kenaikan suku bunga kebijakan BI Rate sebesar 0,25 persen dan kenaikan harga BBM sekitar 44 persen di satu sisi memberikan kepastian terhadap kebijakan ekonomi, namun di sisi lain memberikan beban besar pada dunia usaha dan rumah tangga. Apalagi, inflasi akan naik tinggi pada Juli karena pengaruh kenaikan harga BBM yang bersamaan dengan bulan Ramadhan.

Perbankan juga sudah mulai menaikkan bunga pinjaman antara 0,25 dan 0,5 persen. Bunga deposito tentu juga dinaikkan. Bagi debitur kredit pemilikan rumah (KPR) yang bunganya tetap (fixed) sudah dua tahun, mereka mulai membayar bunga mengambang (floating) yang lebih tinggi. Untuk debitur UKM dan korporasi, bunga pinjaman mereka juga dinaikkan. Bank berusaha untuk tidak terlalu membebani debitur. Karena itu, bank juga menanggung penurunan marginnya (net interest margin) yang selanjutnya menekan laba bank.

Tentu saja bagi dunia usaha, situasi ini cukup berat karena kenaikan biaya harus mereka tanggung yang mengurangi laba mereka. Perusahaan akan sedapat mungkin menggeser beban biaya ini ke pada konsumen. Namun, penggeseran biaya ini juga tidak bisa dilakukan sepenuhnya.

Tekanan terhadap nilai rupiah juga masih berlanjut karena defisit neraca berjalan (ekspor dikurangi impor dan jasa-jasa) yang cukup besar. Tambahan lagi, rencana bank sentral AS, the Fed, kemungkinan tidak akan lagi membeli obligasi dalam jumlah besar (quantitative easing) pada pertengahan 2014 yang membuat investor mengalihkan dananya kembali ke AS. Pengalihan dana kembali ke AS ini membuat nilai dolar menguat dan mata uang lain melemah.

Menghadapi situasi ini, BI kemungkinan akan menaikkan BI Rate lagi sebesar 0,25 persen. Implikasi lanjutannya adalah bank juga akan menaikkan bunga pinjaman dan deposito. Debitur rumah tangga dan perusahaan tentunya akan merasakan beban yang lebih besar lagi.

Pemerintah juga akan menerbitkan obligasi dolar lebih besar untuk menambah cadangan devisa dan menutupi defisit anggaran yang membesar, antara lain, karena penerimaan pajak yang menurun. Pemerintah juga mengenakan pajak terhadap UKM sebesar satu persen dari omzet per bulannya. Pengenaan pajak ini sebenarnya menambah beban bagi UKM pada saat mereka mengalami kenaikan biaya karena kenaikan harga BBM dan bunga kredit.

Kebijakan ekonomi pemerintah semestinya lebih stimulatif untuk mendukung dunia usaha menghadapi tekanan yang berat dan supaya dunia usaha tidak mengalihkan bebannya terlalu besar kepada masyarakat. Pada saat menghadapi tekanan ini, semestinya pemerintah tidak menambah beban kepada dunia usaha.

Defisit anggaran lebih besar dibiayai dengan penerbitan obligasi tentunya dengan memperhatikan rasio utang terhadap PDB yang masih aman. Apa yang perlu diperhatikan adalah utang swasta yang berjangka pendek, kurang dari satu tahun. Biasanya terjadi kesenjangan antara data BI (serta pemerintah) dan para analis mengenai besarnya utang jangka pendek ini. Para analis menghitungnya lebih besar daripada BI. 

Kekhawatiran terhadap utang swasta jangka pendek ini semakin memberikan tekanan pada nilai rupiah.
Jelas bagi pemerintah, kebijakan stabilitas harga adalah utama. Inflasi harus dikendalikan jangan sampai melebihi 7,5 persen. Tugas Menteri Perdagangan Gita Wirjawan untuk memastikan harga kebutuhan pokok terkendali melalui kerja sama dengan Bulog. Sensitivitas impor kebutuhan pokok tertentu, seperti daging dan bawang, terhadap produsen dalam negeri harus diperhatikan. Impor ini sifatnya adalah sementara untuk stabilitas harga dan bukan menggantikan produksi dalam negeri. Jika harga kebutuhan pokok terkendali, inflasi juga terkendali sehingga BI tidak harus menaikkan BI Rate lebih tinggi lagi.

Karena perekonomian dunia belum lagi akan membaik sampai paling tidak pertengahan 2014, defisit neraca berjalan masih akan sulit untuk diatasi. Ekspor masih lemah, sementara impor tidak dapat dikurangi secara signifikan karena kandungan impor yang tinggi dalam produk manufaktur dan investasi. Tinggal upaya untuk menambah aliran modal melalui penanaman modal asing (PMA) yang diharapkan dapat mengompensasi defisit neraca berjalan.

Belakangan ini, lingkungan investasi semakin tidak kondusif dengan kebijakan yang tujuannya sebenarnya baik untuk mendorong produksi dalam negeri. Pada saat kebutuhan aliran modal masuk sangat dibutuhkan, lingkungan investasi harus lebih terbuka dan upaya untuk meningkatkan produksi dalam negeri dibuat lebih realistis.

Upaya mengembangkan produksi dalam negeri juga harus lebih fokus sehingga tidak hanya menjadi jargon politis, tetapi juga dapat terlaksana dengan baik.

Kepemilikan asing di bank dan perusahaan, termasuk pertambangan, semestinya diperbolehkan mayoritas 51 persen. Upaya yang harus dilakukan adalah menyertakan partisipasi lokal dari sisa kepemilikan tersebut.

Larangan ekspor barang tambang untuk diolah dalam negeri lebih baik dilakukan secara selektif di mana kemungkinan pembangunan fasilitas peleburan (smelter) dapat dilakukan tidak secara merata. Begitu pula insentif dibutuhkan bagi kegiatan eksplorasi migas pada saat kecenderungan produksi minyak menurun.

Perkembangan ekonomi Indonesia masih dapat dilakukan secara win-win antara pelaku domestik dan asing. Pada saat modal asing masih mencari imbal hasil lebih tinggi, Indonesia masih menjadi salah satu tujuan utama. Apa yang penting adalah kepentingan nasional tetap harus dijaga. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar