|
REPUBLIKA,
08 Juli 2013
Kenaikan
suku bunga kebijakan BI Rate sebesar 0,25 persen dan kenaikan harga BBM sekitar
44 persen di satu sisi memberikan kepastian terhadap kebijakan ekonomi, namun
di sisi lain memberikan beban besar pada dunia usaha dan rumah tangga. Apalagi,
inflasi akan naik tinggi pada Juli karena pengaruh kenaikan harga BBM yang bersamaan
dengan bulan Ramadhan.
Perbankan
juga sudah mulai menaikkan bunga pinjaman antara 0,25 dan 0,5 persen. Bunga
deposito tentu juga dinaikkan. Bagi debitur kredit pemilikan rumah (KPR) yang
bunganya tetap (fixed) sudah dua
tahun, mereka mulai membayar bunga mengambang (floating) yang lebih tinggi. Untuk
debitur UKM dan korporasi, bunga pinjaman mereka juga dinaikkan. Bank berusaha
untuk tidak terlalu membebani debitur. Karena itu, bank juga menanggung
penurunan marginnya (net interest margin)
yang selanjutnya menekan laba bank.
Tentu saja bagi dunia usaha, situasi ini cukup berat karena
kenaikan biaya harus mereka tanggung yang mengurangi laba mereka. Perusahaan
akan sedapat mungkin menggeser beban biaya ini ke pada konsumen. Namun, penggeseran
biaya ini juga tidak bisa dilakukan sepenuhnya.
Tekanan terhadap nilai rupiah juga masih berlanjut karena
defisit neraca berjalan (ekspor dikurangi impor dan jasa-jasa) yang cukup
besar. Tambahan lagi, rencana bank sentral AS, the Fed, kemungkinan tidak akan
lagi membeli obligasi dalam jumlah besar (quantitative
easing) pada pertengahan 2014 yang membuat investor mengalihkan dananya
kembali ke AS. Pengalihan dana kembali ke AS ini membuat nilai dolar menguat
dan mata uang lain melemah.
Menghadapi situasi ini, BI kemungkinan akan menaikkan BI Rate
lagi sebesar 0,25 persen. Implikasi lanjutannya adalah bank juga akan menaikkan
bunga pinjaman dan deposito. Debitur rumah tangga dan perusahaan tentunya akan
merasakan beban yang lebih besar lagi.
Pemerintah juga akan menerbitkan obligasi dolar lebih besar
untuk menambah cadangan devisa dan menutupi defisit anggaran yang membesar,
antara lain, karena penerimaan pajak yang menurun. Pemerintah juga mengenakan
pajak terhadap UKM sebesar satu persen dari omzet per bulannya. Pengenaan pajak
ini sebenarnya menambah beban bagi UKM pada saat mereka mengalami kenaikan
biaya karena kenaikan harga BBM dan bunga kredit.
Kebijakan ekonomi pemerintah semestinya lebih stimulatif
untuk mendukung dunia usaha menghadapi tekanan yang berat dan supaya dunia
usaha tidak mengalihkan bebannya terlalu besar kepada masyarakat. Pada saat
menghadapi tekanan ini, semestinya pemerintah tidak menambah beban kepada dunia
usaha.
Defisit anggaran lebih besar dibiayai dengan penerbitan
obligasi tentunya dengan memperhatikan rasio utang terhadap PDB yang masih
aman. Apa yang perlu diperhatikan adalah utang swasta yang berjangka pendek, kurang
dari satu tahun. Biasanya terjadi
kesenjangan antara data BI (serta pemerintah) dan para analis mengenai besarnya
utang jangka pendek ini. Para analis menghitungnya lebih besar daripada BI.
Kekhawatiran terhadap utang swasta jangka pendek ini semakin memberikan tekanan
pada nilai rupiah.
Jelas bagi pemerintah, kebijakan stabilitas harga adalah
utama. Inflasi harus dikendalikan jangan sampai melebihi 7,5 persen. Tugas
Menteri Perdagangan Gita Wirjawan untuk memastikan harga kebutuhan pokok terkendali
melalui kerja sama dengan Bulog. Sensitivitas
impor kebutuhan pokok tertentu, seperti daging dan bawang, terhadap produsen
dalam negeri harus diperhatikan. Impor ini sifatnya adalah sementara untuk
stabilitas harga dan bukan menggantikan produksi dalam negeri. Jika harga
kebutuhan pokok terkendali, inflasi juga terkendali sehingga BI tidak harus
menaikkan BI Rate lebih tinggi lagi.
Karena perekonomian dunia belum lagi akan membaik sampai
paling tidak pertengahan 2014, defisit neraca berjalan masih akan sulit untuk
diatasi. Ekspor masih lemah, sementara impor tidak dapat
dikurangi secara signifikan karena kandungan impor yang tinggi dalam produk
manufaktur dan investasi. Tinggal upaya untuk menambah aliran modal melalui penanaman
modal asing (PMA) yang diharapkan dapat mengompensasi defisit neraca berjalan.
Belakangan ini, lingkungan investasi semakin tidak kondusif
dengan kebijakan yang tujuannya sebenarnya baik untuk mendorong produksi dalam
negeri. Pada saat kebutuhan aliran modal masuk sangat dibutuhkan, lingkungan
investasi harus lebih terbuka dan upaya untuk meningkatkan produksi dalam negeri
dibuat lebih realistis.
Upaya mengembangkan produksi dalam negeri juga harus lebih
fokus sehingga tidak hanya menjadi jargon politis, tetapi juga dapat terlaksana
dengan baik.
Kepemilikan asing di bank dan perusahaan,
termasuk pertambangan, semestinya diperbolehkan mayoritas 51 persen. Upaya yang
harus dilakukan adalah menyertakan partisipasi lokal dari sisa kepemilikan
tersebut.
Larangan ekspor barang tambang untuk diolah dalam negeri
lebih baik dilakukan secara selektif di mana kemungkinan pembangunan fasilitas
peleburan (smelter) dapat dilakukan
tidak secara merata. Begitu pula insentif dibutuhkan bagi kegiatan eksplorasi
migas pada saat kecenderungan produksi minyak menurun.
Perkembangan ekonomi Indonesia masih dapat dilakukan secara win-win antara pelaku domestik dan asing. Pada saat modal asing masih mencari imbal hasil lebih tinggi, Indonesia masih menjadi salah satu tujuan utama. Apa yang penting adalah kepentingan nasional tetap harus dijaga. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar