|
SINAR
HARAPAN, 08 Juli 2013
Kunjungan
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ke Swedia akhir Mei lalu meninggalkan
sebuah catatan menarik. Presiden
SBY mengatakan berharap bisa memetik pelajaran dari Swedia dalam membangun
demokrasi yang lebih matang di Indonesia. Demokrasi, menurut presiden, tidak
mungkin hanya dibangun atas dasar kebebasan, tetapi harus diikuti dengan
penegakan hukum (rule of law) (Media Indonesia, 29/5).
Apa
yang disampaikan presiden sebetulnya hal yang berkaitan dengan cara pandang
baru dalam kajian tentang demokrasi. Selama ini, demokrasi dilihat dari
kacamata transitologis. Artinya,
demokrasi di sebuah negara berada dalam pisau analisis tahapan dan proses
menuju sebuah negara yang demokratis (baca: demokratisasi). Polanya yaitu
diawali dari kejatuhan sebuah rezim yang otoriter, kemudian terjadi transisi
demokrasi, yang kemudian dapat (namun tidak selalu) berujung pada konsolidasi
demokrasi.
Padahal,
cara pandang seperti itu sudah mulai banyak ditinggalkan oleh ilmuwan politik.
Menurut Subono dan Darmawan (2013), jika sebelumnya ilmuwan-ilmuwan seperti
Guillermo O’Donnell, Samuel Huntington, dan Larry Diamond, termasuk yang
mendukung argumentasi transisi sebuah negara menjadi negara demokratis yang
berujung pada konsolidasi demokrasi, yang menarik adalah, tokoh-tokoh di atas
itu sendiri yang belakangan mengkritik dan meragukan konsolidasi demokrasi.
Guillermo
O’Donnell, misalnya, dalam tulisannya yang berjudul Illusions About
Consolidation (1996), menegaskan bahwa tidak ada teori yang bisa
memberikan penjelasan memadai mengenai kenapa dan bagaimanakah sebuah negara
yang pemilunya telah terlembagakan akan “menyelesaikan” skenario setting
institusional mereka, atau bahkan “terkonsolidasi”.
Ilmuwan
lain, Samuel P Huntington, juga pernah mengintroduksi gagasan besarnya yang
mempertanyakan konsolidasi demokrasi dalam tulisannya yang berjudul After
Twenty Years: The Future of Third Wave (1997) di Journal of Democracy.
Di
artikel tersebut Huntington menyebutkan “…it
is impossible clearly to specify when a democracy has become “consolidated”…”.
Tak
mau kalah dengan O’Donnell dan Huntington, Larry Diamond dalam makalahnya yang
berjudul Is The Third Wave of
Democratization Over?: An Empirical Assesment (1997), mencoba menyampaikan
bahwa dengan bertambahnya jumlah negara demokrasi dan secara keseluruhan
tingkat demokratisnya negara-negara di dunia bertahan selama masa tertentu,
Diamond mengatakan adalah masuk akal untuk membuat kesimpulan bahwa sebuah
gelombang demokratisasi hampir berakhir.
Singkatnya,
ada cara pandang baru sebagai “pengganti” perspektif konsolidasi demokrasi.
Cara pandang yang dimaksud ialah perspektif kualitas demokrasi. Kualitas
demokrasi menurut Diamond dan Morlino adalah demokrasi yang menyediakan untuk
warga negaranya tingkatan yang tinggi untuk kebebasan, persamaan politik, dan
kontrol rakyat terhadap kebijakan publik dan pembuat kebijakan melalui
institusi mapan yang memiliki legitimasi dan berjalan secara hukum (Diamond dan Morlino, 2005: xi).
Kualitas
demokrasi memiliki sejumlah indikator berupa dimensi, yaitu dimensi prosedural,
substansi, dan hasil. Penegakan hukum, dengan berbagai macam jenis penamaannya
di berbagai sumber, merupakan salah satu indikator dari kualitas demokrasi di
sebuah negara. Penegakan hukum masuk ke dalam kategori dimensi prosedural.
Penting
Penegakan
hukum dapat didefinisikan sebagai bahwa semua warga negara adalah sama di
hadapan hukum, dan hukum itu sendiri bersifat jelas, diketahui oleh publik,
universal, stabil, non-retroaktif, dan secara adil dan konsisten diterapkan di
seluruh warga negara oleh pengadilan yang independen (Diamond dan Morlino, 2005).
Dalam
konteks Indonesia, di mana demokrasi sering kali disempitkan dengan kebebasan
dan pemberian hak (politik) terhadap setiap warga negara, jelas memerlukan
penegakan hukum.
Tindak
kekerasan dalam kasus di Palopo pada saat pelaksanaan pilkada di daerah itu
(Maret 2013), bentrokan di Musi Rawas yang bermuara pada desakan agar pemekaran
daerah mereka segera dikabulkan (April 2013), dan di Muna di mana seorang
pengurus PAN berkelahi sampai menyebabkan rekan satu partainya meninggal (Mei
2013), jelas harus diberikan sanksi yang adil berdasarkan hukum yang berlaku.
Begitu
juga dengan perilaku korupsi yang dipertontonkan kepada publik terutama oleh
para elite politik dalam konteks penyalahgunaan jabatannya untuk kepentingan
pribadi maupun kelompok.
Pertanyaan
berikutnya: Mengapa hukum penting untuk ditegakkan bersamaan dengan
implementasi dari demokrasi? Pertama, efek dari penegakan prinsip penegakan
hukum. Menurut Weingast (1997), hukum akan ditegakkan dengan sendirinya jika
kedaulatan dari penegakan hukum memengaruhi semua subjek secara setara dan
secara bersamaan.
Dalam
bahasa sederhana, penegakan hukum akan membuat hukum begitu dihormati dan
secara simultan akan menimbulkan efek jera untuk seluruh warga negara.
Harapannya ialah masyarakat yang menghormati hukum tidak hanya mengedepankan
hak dan kebebasan politik diri sendiri dan atau kelompoknya saja, melainkan
juga hak dan kebebasan politik orang dan atau kelompok lain.
Kedua,
untuk menghindari penyalahgunaan kekuasaan oleh politikus. Politikus bisa saja
mengintervensi penegakan hukum karena kekuasaan yang dimilikinya, jika di
negara tempat politikus tersebut bernaung implementasi dari penegakan hukum
bersifat lemah. Jose Maria Maravall dalam buku berjudul Democracy and The Rule of Law (2003) membuat sebuah ilustrasi yang
sangat menarik berkaitan dengan pentingnya penegakan hukum.
Menurutnya,
diasumsikan saja bahwa politikus ingin kembali menduduki jabatannya dan ingin
memaksimalkan otonominya dalam pembuatan keputusan. Di sisi lain, para warga
negara ingin mencegah penyalahgunaan yang dilakukan oleh politikus.
Para
warga negara itu memiliki dua instrumen untuk melindungi diri mereka: pertama,
untuk “melempar” politikus tidak dapat kembali menduduki jabatannya pada saat
pemilu; kedua, untuk menegakkan batasan hukum diskresi (pengecualian) politik
bagi petahana melalui pemilu secara melembaga. Perlindungan pertama disediakan
oleh demokrasi, sedangkan perlindungan kedua disajikan oleh penegakan hukum.
Kesimpulannya,
mengutip Ferejohn dan Pasquino (2003), penegakan hukum dan demokrasi adalah dua
atribut yang diinginkan dari sistem politik demokrasi dan harus dicapai secara
bersamaan. Ke depan, sudah sepatutnya, Indonesia sebagai negara yang
disebut-sebut sebagai salah satu negara demokrasi terbesar di dunia, tidak
hanya mementingkan aspek tertentu dari demokrasi, seperti kebebasan, tetapi
juga penegakan hukum yang bersifat kontinu. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar