Senin, 08 Juli 2013

Demi Masa

Demi Masa

Sarlito Wirawan Sarwono  ;  Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
KORAN SINDO, 07 Juli 2013



”Demi masa. Sesungguhnya manusia itu dalam kerugian. Kecuali yang beriman dan beramal saleh dan mereka yang berpesan dengan kebenaran dan mereka yang berpesan dengan kesabaran” (QS 103: 1-3). 

Begitulah pesan Allah SWT pada umatnya. Banyak sekali tafsir tentang ayat yang satu ini, tetapi saya sendiri menafsirkannya dalam bahasa pop kirakira seperti ini, ”Jangan sia-siakan waktu. Tetaplah beriman dan beramal saleh, selalu di jalan yang benar dan selalu bersabar. Kalau tidak kalian akan rugi sendiri.” Menurut saya, ini ayat yang sangat sakti. Coba tanya pada setiap orang yang sukses, pasti mereka sangat menghargai waktu. Bangun lebih pagi, bekerja lebih keras, selalu menepati janji, selalu tepat waktu dan seterusnya. 

Dalam azan subuh pun selalu ditambahkan seruan yang tidak ada dalam azan di waktu-waktu yang lain, ”Salat itu lebih baik daripada tidur.” Orang Betawi bilang, ”Buruan bangun, keburu nasi lu dipatok ayam.” Di negara-negara maju, waktu sangat presisi. Di Belanda, saya ke kampus naik bus dari halte dekat rumah pukul 08.02 (tertera di jadwal di dinding halte). Pada pukul 08.00 belum kelihatan apa-apa, pukul 08.01 kelihatan bus muncul di tikungan dan tepat berhenti di depan saya 30 detik kemudian. Saya dan penumpang lain naik, pas pukul 08.02 bus berangkat. 

Demikian pula kereta api dan moda transportasi lain. Dengan waktu yang sangat presisi itu, mudah sekali orang merencanakan kegiatan. Untuk suatu janji dengan orang tertentu, di tempat tertentu, dan waktu tertentu, jauh-jauh hari kita bisa merencanakan perjalanan kita: naik bus nomor berapa, pukul berapa, menyambung kereta api pukul berapa, sambung bus lagi, plus jalan kaki sebentar, sampainya pasti tepat waktu (kecuali ada badai atau salju). 

Kalau kita naik MRT di Singapura pun begitu. Kereta api datang tiap 2-3 menit. Sambil menunggu kita bisa melihat papan waktuyangmenunjukkanberapa detik lagi kereta akan datang. Begitu papan waktu menunjukkan angka ”nol” si MRT pun sampai. Secara internasional, waktu pun diseragamkan. Rata-ratawaktu dunia ditetapkan (entah siapa yang menetapkan) sebagai Greenwich Mean Time (GMT), yaitu waktu di kota kecil Greenwhich dekat London. 

Waktu-waktu lain di seluruh dunia mengacu ke GMT. WIB, misalnya, adalah GMT +7, artinya kalau di GMT pukul 00.00 tengah malam, di Kampung Rambutan sudah pukul 07.00 pagi. Penetapan waktu internasional ini sangat berguna bagi penerbangan, orang yang bepergian ke luar negeri, atau bertransaksi bisnis dengan mitra di belahan bumi yang lain. 

Tetapi menyepakati waktu bukanlah hal yang mudah. Kita sekarang hampir selalu menggunakan kalender Masehi, karena presisi dan seragam di seluruh dunia. Kita tahu persis kapan kita akan ulang tahun, kapan hari kemerdekaan, kapan liburan sekolah, atau kapan arisan bulan depan. Namun, jika kita teliti arti nama-nama bulan dalam kalender Masehi, kita akan tercengang, karena Septa artinya tujuh, padahal bulan September adalah bulan kesembilan, dan Decaberarti 10, padahal Desember adalah bulan ke- 12. 

Ternyata gara-garanya karena ada dua nama Kaisar Romawi yang disisipkan dalam kalender Masehi tersebut, yaitu Juli (kaisar Julius Caesar, 46 tahun sebelum masehi) dan Agustus (kaisar Agustus, 8 SM). Sebelum kalender yang didasarkan pada peredaran matahari itu disepakati, sejarah kalender di Romawi sana pun banyak sekali. Prosesnya terjadi selama berabadabad, penuh intrik dan politik, antara yang pro-kalender bulan (lunar) dan yang pro-kalender matahari (solar). 

Akhirnya kalender matahari yang unggul dan kita pakai sampai sekarang. Tetapi kalender bulan pun masih dipakai sampai hari ini. Khususnya untuk keperluan upacara adat atau keagamaan. Tahun Hijriah (Islam), tahun Saka (Jawa, Bali, Hindu) dan tahun China, adalah tahun-tahun lunar. Masalahnya, tahun lunar tidak sepasti tahun solar (tidak ada hubungannya dengan mesin diesel), sehingga lebih sulit untuk dijadikan pegangan. 

Walaupun begitu, saya belum pernah mendengar acara sekatenan (tahun baru Jawa) berbeda tanggal antara Yogyakarta dan Solo, atau cap go meh di kelenteng di Tangerang berbeda tanggal dari kelenteng di Pontianak. Walaupun menggunakan kalender lunar, semuanya presisi, sehingga dapat direncanakan jauh-jauh hari, termasuk pesan tiket untuk pulang kampung atau pesan makanan dari perusahaan katering. Tetapi tidak begitu halnya dengan Islam. 

Beberapa tahun yang lalu (saya tidak ingat lagi tahun berapa), Lebaran pernah ditetapkan sehari kemudian setelah rapat dengan debat panjang yang tidak jelas di Departemen Agama. Suasana sudah malam takbiran, cucu-cucu bermain kembang api di halaman, beduk-beduk sudah disiapkan, tinggal dipukuli saja semalaman, yang tua-tua menyimak televisi tentang pengumuman hari Lebaran dari pemerintah. Tahu-tahu, lebarannya bukan besok, tetapi lusa. 

Istri saya yang paling dongkol karena pesanan catering tidak bisa diubah lagi. Akhirnya kami putuskan lebaran besok saja (ikut Muhammadiyah), tetapi salat id lusa (ikut NU). Weleh-weleh, aneh. Tetapi apa boleh buat, daripada makanan mubazir. Sebentar lagi kita masuk Ramadan. Kapan mulai puasa? Tanggal 8 atau 9 Juli? Semua bertanya-tanya, termasuk rumput yang bergoyang pun ikut bertanya-tanya. Menunggu bagaimana hasil ahli hisab dan ahli rukyat berdebat. 

Berdebat terus! Setahun minimal tiga kali umat Islam Indonesia dibuat bingung, yaitu ketika akanpuasa, mau lebaran, dan mau salat Idul Adha. Rata-rata Indonesia salat Idul Adha sehari sesudah Mekkah, padahal menurut GMT, WIB lebih dulu dari WIM (”Waktu Ini Mekkah”). Mengapa kita tidak meniru umat Islam di Kanada saja. Mereka sudah menetapkan bahwa 1 Ramadan adalah 10 Juli, karena menurut perhitungan (hisab) mereka, 1 Ramadan di Mekkah jatuh pada tanggal 9 Juli, artinya tanggal 10 di Kanada, maka mereka ikut saja Mekkah (salat pun menghadap ke Kakbah, mengapa puasa tidak?). 

Jadi masalah sebetulnya mau atau tidak para pemimpin umat Islam di Indonesia ini bersepakat? Demi masa, waktu itu harus disepakati. Yang namanya presisi itu basisnya adalah kesepakatan. Tanpa kesepakatan waktu, tidak jelas kapan kereta api akan datang, atau kapan katering akan dipesan. Maka kalian pun akan tergolong orang-orang yang merugi. Termasuk istri saya (dan saya sebagai bandar istri saya). Selamat beribadah puasa. Maaf lahir batin. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar