Minggu, 21 Juli 2013

Bulan Ramadan, Bulan Konsumsi

Bulan Ramadan, Bulan Konsumsi
Santi Indra Astuti ;   Wakil Dekan 1 Fakultas Ilmu Komunikasi
Universitas Islam Bandung (Unisba)
KORAN SINDO, 16 Juli 2013



Menjelang Ramadan, kita dibanjiri dengan ucapan selamat menjalankan ibadah puasa Ramadan, ditambah doa-doa supaya ibadah kita menjadi berkah pada bulan Suci ini. 

Sayangnya, saya tidak mendapatkan atau menemukan doa yang meminta kepada Allah SWTsecara khusus untuk mengendalikan nafsu belanja atau nafsu mengonsumsi. Padahal, tampaknya kita butuh doa semacam itu sekarang. 

Konsumsi di Televisi 

Bulan Ramadan bukan hanya bulan ibadah. Bagi masyarakat Indonesia, bulan Ramadan sudah bergeser menjadi bulan konsumsi, yaitu bulan di mana kita mengonsumsi sebanyak-banyaknya atau kita didorong untuk menjadi lebih konsumtif dari biasanya. Tanda-tandanya banyak. Mari kita lihat apa yang berlangsung di layar kaca alias televisi. 

Televisi pada bulan Ramadan ditaburi program-program berlabel spesial Ramadan. Inilah kategori program yang mengangkat tema keagamaan dan nilai-nilai Ramadan, dengan aktor, aktris, dan pengisi acara yang disesuaikan dengan tema tersebut. Walaupun kelihatannya televisi jadi “bertobat”, atau paling tidak jadi beratribut muslim sepanjang Ramadan, semua itu hanya penampakan luar. 

Banyak penonton yang tidak menyadari bahwa program spesial Ramadan itu bukan hanya spesial temanya, melainkan juga spesial iklannya. Kalau pada hari biasa selingan iklan berdurasi maksimal 3 menit, pada bulan Ramadan porsi iklan mencapai 5–7 menit setiap selingan program! Saya menghitung tidak kurang dari 10 iklan ditayangkan dalam termin waktu tersebut, dengan durasi ratarata 30 detik setiap iklan. Ini baru iklan normal, belum termasuk iklan jenis lainnya. Di luar iklan selingan program, ada juga iklan menjelang imsak, azan subuh, dan adan magrib. 

Ini iklan yang superspesial, dengan durasi kira-kira 3–5 menit. Iklan-iklan tersebut menjadi prolog stasiun TV untuk mengucapkan selamat menjalankan ibadah puasa atau selamat berbuka puasa. Tentu saja pesan sesungguhnya bukan itu, melainkan pada iklaniklannya: “Berbuka puasalah dengan kecap anu, fast food X, obat maag Y, sarung/busana muslim merek Z, dan lain-lain.” Iklan juga muncul dalam bentuk penempatan produk pada program yang tengah berlangsung. 

Maka, jangan heran kalau Tukul Arwana minum suplemen obat kuat A, panggung sahur OVJ memajang warung yang dipenuhi rentengan sachet produk B, hadiah-hadiah kuis dibanjiri produk C, sampai kata kunci yang harus diucapkan peserta kuis pun meniru kalimat atau slogan produk D. Demikianlah, dengan cara ini, perlahan-lahan identitas produk memasuki benak para penonton televisi di seluruh Indonesia. 

Nafsu kita pun dibentuk. Dengan sukses, iklan televisi menciptakan kebutuhan terhadap produk tersebut dan mendorong kita untuk mengonsumsinya. Padahal, sebenarnya kita tidak butuh-butuh amat. 

Konsumsi di Pusat Perbelanjaan 

Gairah konsumsi yang dipicu di televisi lantas diperkuat di luar layar kaca. Di sekitar kita, kecenderungan peningkatan konsumsi pada bulan Ramadan melonjak tidak terkendali. Kalau dulu pusat-pusat perbelanjaan baru dipenuhi pengunjung pada paruh terakhir Ramadan, tepatnya setelah THR dibagikan, kini pusat perbelanjaan telah dipenuhi pengunjung pada awal Ramadan. Mari kita lihat fenomena di berbagai kota. Kemacetan terjadi di simpul-simpul lokasi perbelanjaan. 

Tempat parkir tidak cukup lagi menampung kendaraan pengunjung hingga terpaksa mengambil badan jalan. Kasir, yang sudah ditambah posnya, dipenuhi antrean pembeli. Ruang pas baju alias bahkan sampai diberi nomor antrean saking panjangnya. Padahal, kapasitasnya sudah ditambah dua kali lipat dari jumlah pada hari-hari biasa. Pusat perbelanjaan pun jauh-jauh hari sudah menyiapkan strategi pemasaran untuk memanfaatkan gairah konsumsi yang meningkat. 

Mulai dari melipatgandakan produksi sampai memasang label-label diskon, sale, bahkan pre-sale, untuk membujuk konsumen. Promosi semacam itu terbukti berhasil, karena di tengah krisis ekonomi yang berlangsung saat ini, saat harga pangan melonjak gila-gilaan, nafsu belanja masyarakat tetap tidak terbendung. 

Gila Konsumsi 

Peningkatan konsumsi pada bulan Ramadan sesungguhnya tidak lepas dari kebiasaan yang kita pelihara. Pertama, Ramadan dianggap sebagai bulan penuh penderitaan dalam mengekang hawa nafsu. Karena itu, berbuka puasa menjadi oase untuk memuaskan nafsu duniawi yang terkekang. Makanan Ramadan dibuat istimewa dibanding hari-hari sebelumnya. 

Takjil, kurma, kue-kue kering hanyalah beberapa contoh keistimewaan tersebut. Buntutnya, kita jadi terbiasa lapar mata ketika membeli santapan untuk berbuka puasa. Bukan rahasia lagi bahwa apa yang kita beli kerap tidak sesuai dengan daya tampung perut kita. Kedua, Ramadan menjadi momen yang begitu istimewa sehingga perlu “dirayakan” dengan silaturahmi yang lebih dibanding hari-hari biasa. Maka, momen buka puasa bersama pun dilakukan demi memperkuat silaturahmi sambil beramal. Tidak ada yang salah dengan ini. 

Tetapi, bayangkan, hampir setiap organisasi, lingkar pertemanan, keluarga besar, sampai kelompok-kelompok informal di mana kita menjadi anggotanya menjadwalkan buka (puasa) bareng. Sepanjang Ramadan, sedikitnya ada empat momen buka bersama yang diselenggarakan, yaitu buka bersama yang dijadwalkan kantor, buka bersama dengan komunitas di luar kantor, buka bersama dengan teman-teman segeng, dan buka bersama keluarga besar. 

Tidak mengherankan restoran-restoran menjadi penuh dan full book untuk melayani kebutuhan tersebut! Disadari atau tidak, waktu kita terkorbankan untuk menyiapkan atau menghadiri acara tersebut. Ketiga, Idul Fitri dimaknai sebagai hari kemenangan mengatasi godaan hawa nafsu. Maka, ketika hari besar itu tiba, perlu dirayakan semeriah-meriahnya. Konsekuensinya, Lebaran ditandai dengan segala sesuatu yang serbabaru: baju baru, sepatu baru, peralatan ibadah yang baru, dekorasi rumah baru, sampai mobil baru karena mudik tampaknya membutuhkan kendaraan yang benar-benar sip untuk menghadapi kemacetan (di samping, kadang-kadang buat peningkatan simbol status juga). 

Lebaran juga perlu ditandai dengan segala macam kemewahan layaknya sebuah pesta. Santapan lezat, kue-kue istimewa, dan uang saku spesial alias angpau. Masyarakat Indonesia tergolong masyarakat kolektif yang mengonsumsi bukan hanya untuk dirinya, melainkan juga untuk banyak pihak. Maka, pasar dan pusat belanja lain diserbu buat beli oleh-oleh, sumbangan kelompok duafa, parsel kepada kolega. Intinya, ada saja alasan untuk memperbesar keran konsumsi. 

Epilog 

Apa ujung dari semua ini? Terlepas dari semua niat baik dalam menjalankan ibadah dan membahagiakan orang lain pada bulan suci ini, harus saya ungkapkan bahwa kita telah terjerumus dalam pusaran konsumsi yang tidak berkesudahan. Nilai-nilai Ramadan yang berpijak pada kesederhanaan dan penghayatan terhadap penderitaan kaum duafa serta upaya pembersihan diri dari kekangan nafsu duniawi pupus sudah. 

Semua hilang digantikan segudang alasan dan kebiasaan untuk mengonsumsi. Andai hal ini terus dilakukan dan kita tidak punya tekad kuat untuk menyetop gairah konsumsi yang gila-gilaan ini, makna Ramadan sesungguhnya akan menjadi menghilang dan berubah menjadi bulan konsumsi! ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar