|
KOMPAS,
23 Juli 2013
Dalam kalender umat Islam, Ramadhan adalah sebuah bulan
istimewa. Di bulan itu, penganut Islam diwajibkan menjalankan ibadah puasa
selama sebulan penuh berdasarkan sebuah ayat Al Quran.
Ayat itu menjelaskan bahwa sebelum lahirnya syariat Islam,
berpuasa sudah menjadi tradisi dalam syariat-syariat sebelumnya, khususnya
Yudaisme dan Kristianisme. Puasa juga merupakan salah satu ajaran esensial dari
agama Hinduisme, Budhisme, Zoroaster, dan Konfusianisme. Juga dalam agama-agama
lokal. Esensinya sama: membentuk jiwa yang tercerahkan sehingga bisa membimbing
pada perilaku yang baik dan terhindar dari perilaku buruk yang merugikan
manusia atau merusak alam.
Dalam syariat Islam, tujuan itu untuk mencapai kondisi jiwa
yang takwa, yang secara mandiri mampu menghindari motif dan perilaku buruk dan
cenderung kepada kebenaran dan kebaikan. Inilah makna pencerahan menurut Islam,
sebagaimana dirumuskan dalam filsafat idealisme Hegel: jiwa yang mampu
menciptakan kondisi dan lingkungan hidupnya dan menentukan jalannya sejarah,
dan bukan jiwa yang dibelenggu kondisi materialnya dalam filsafat Feuerbachian.
Dalam Hadis Riwayat Imam Bukhari dikatakan, ”Barangsiapa
berpuasa karena keyakinan (imanan) yang disertai dengan introspeksi (wa
ihtisaban), akan diampuni dosa-dosanya di masa lalu.” Seseorang akan diampuni
dosa-dosanya jika menyatakan tobat, tidak lagi mengulangi perbuatan-perbuatan
buruknya. Karena itu, dalam bulan puasa itu, setiap orang memiliki peluang
khusus untuk berzikir dan berdoa, khususnya dengan memperbanyak shalat,
khususnya dalam shalat tarawih pada malam hari walaupun bisa dilakukan secara
santai, dan mengaji Al Quran.
Dengan kata lain, berpuasa sebagaimana dikatakan oleh Romo
Driyarkara harus diniati dan dilaksanakan sebagai ”proyek”, yaitu proyek
membentuk status jiwa yang takwa, jiwa yang tercerahkan.
Dalam teori psikologi Sigmund Freud (1856-1939), dikatakan
bahwa jiwa atau kepribadian manusia itu terdiri atas tiga komponen. Komponen
pertama disebut sebagai Id, bagian dari bawah sadar yang dikendalikan oleh
kecenderungan atau dorongan naluriah mempertahankan hidup dari segi jasmaniah. Bagian
jiwa ini mengandung dilema. Di satu pihak, jika tidak dikendalikan, akan
menimbulkan perilaku yang tidak menyelamatkan diri sendiri dan orang lain:
keserakahan, agresi, dan nafsu seksual yang bebas. Namun, jika dikendalikan
secara kuat, misalnya dengan melaksanakan nilai-nilai keseluruhan, jika terlalu
keras akan menimbulkan represi kejiwaan.
Nafsu makan, umpamanya, perlu dipenuhi, tetapi juga perlu
dikendalikan: jika tidak, akan menimbulkan penyakit. Namun, jika dilakukan
terlalu kuat, akan menimbulkan kekurangan atau ketimpangan gizi. Karena itu,
perlu dikendalikan secara seimbang melalui pola gizi yang seimbang (al mizan).
Dalam teori Freud, pengendalian terhadap Id mula-mula
dilakukan melalui penanaman nilai-nilai luhur oleh orangtua, guru, atau adat-istiadat
masyarakat yang membentuk yang disebut superego. Namun, sering kali superego
itu dibentuk dengan cara yang terlalu keras, misalnya dengan ajaran-ajaran
agama yang mengandung ancaman-ancaman atau adat yang mengandung sanksi sosial.
Jika demikian, menurut Freud, superego akan merupakan represi sehingga bisa
menimbulkan sakit kejiwaan, neurosis. Seorang yang fanatik dalam beragama
sering justru melakukan tindakan kekerasan.
Dalam pemikiran para filsuf Pencerahan Eropa, ajaran agama
dianggap sebagai tirani melalui dogmatismenya dan, dalam pandangan Marx, agama
telah menciptakan kesadaran palsu. Namun, karena agama itu seolah-olah membius
masyarakat dalam kesadaran palsunya, Marx juga mengatakan bahwa agama adalah
candu masyarakat. Dengan demikian, pemikiran Pencerahan Eropa itu pada dasarnya
dipandang mengandung sentimen antiagama.
Abad Pencerahan disebut juga Abad Nalar (The Age of Reason) karena ciri utamanya
adalah rasionalisasi yang menempatkan manusia dan nalar manusia di atas
realitas materialnya dan, karena itu, mengatasi kondisi materialnya. Namun,
bersama-sama dengan filsafat Hobbes dan Hegel, rasionalitas itu diwujudkan ke
dalam konsep negara kuat, yang dilambangkan sebagai Leviathan atau Raja Laut
yang otoritarian, sebagai altrerego Tuhan sehingga menimbulkan reaksi yang
berujud paham anarkisme atau antinegara itu.
Pandangan terhadap Pencerahan yang berperspektif pesimistis
itu juga dikemukakan oleh Horkheimer dan Adorno, yang mengembangkan Teori
Kritis, mazhab Frankfurt, yang mengatakan bahwa Fasisme dan Nazisme itu
sebenarnya bersumber dari filsafat Pencerahan.
Dalam teori Freud, hubungan antara Id dan superego perlu
direkonsiliasikan dengan sikap kritis atau rasionalitas yang terkandung dalam
bagian kepribadian sadar atau kritis-rasional yang disebut ego. Fungsi ego
ialah mengendalikan Id atau superego ke dalam kesadaran rasional. Teori Freud
itu mencerminkan
pemikiran Abad Pencerahan dan Abad Nalar pada abad ke-19.
Dalam tulisannya tentang ”Apa Pencerahan (Aufklarung)
itu?”, filsuf Pencerahan Jerman, Immanuel Kant (1724-1804), merumuskan bahwa
Pencerahan pada hakikatnya adalah pemikiran tentang ”emansipasi kesadaran manusia dari kondisi ketidaktahuan”. Jadi,
kata Kant, ”jika mempunyai gagasan,
komunikasikan dan jika tidak tahu, selidikilah hingga tahu” sehingga
manusia terbebas dari ketidaktahuan dan ketidakpedulian.
Namun, seorang pendukung mazhab Kritis yang lebih
kontemporer, Herbert Marcuse, memiliki teori tersendiri yang sejalan dengan
Horkheimer dan Adorno, yang mengatakan bahwa rasionalisme, khususnya
rasionalisme teknoekonomi, bisa menimbulkan pola manusia tunggal-dimensi.
Rasionalitas tunggal-dimensi itu bisa menimbulkan pula represi
terhadap eros (kecenderungan terhadap cinta dan keindahan) yang
manusiawi. Karena itu, peradaban yang manusiawi perlu pula didasarkan pada
nilai eros dan rasionalitas secara seimbang.
Sementara itu, filsuf Muslim Abad Pertengahan, Al Ghazali
(1058-1111), memiliki suatu teori ”nafsu” yang didasarkan pada Al Quran. Dalam
teorinya, kepribadian manusia terdiri atas tiga jenis nafsu. Pertama,
nafsu amarah yang dapat
dinisbatkan sebagai Id. Kedua, nafsu lawwamah yang
dapat dinisbatkan sebagai ego. Dan ketiga, nafsu mutmainnah yang dapat dinisbatkan sebagai superego.
Nafsu amarah membentuk manusia sebagai basar atau
aspek jasmaniah dari manusia. Nafsu ini, jika tak dikendalikan, akan melahirkan
perbuatan buruk dan merusak manusia dan lingkungannya. Namun, pengendalian ini
dilakukan oleh nafsu lawwamah, kecenderungan kritis atau rasional. Namun,
rasionalitas ini masih memungkinkan sifat rasional yang tidak manusiawi melalui
kecenderungan egoisme. Namun, nafsu lawwamah yang
kritis itu sebenarnya merupakan kombinasi antara olah pikir dan al aql (akal) dan dzikir atau olah rasa dengan al qolb (kalbu). Nafsu ini
diperlukan untuk diseimbangkan dengan nafsu amarah yang, menurut Marcuse,
manusiawi yang jika tidak dipenuhi akan menimbulkan penyakit fisik, kejiwaan,
karena direpresi.
Keseimbangan antara nafsu amarah yang menimbulkan ambisi
dan keberanian itu dan nafsu kritis dan rasional dan moral dari nafsu lawwamah itu akan melahirkan jiwa
yang seimbang atau nafsu mutmainnah,
dalam wujud manusia yang arif, yang dalam tarekat disebut sebagai mencapai
kondisi ”makrifat” dalam kepribadian
manusia yang arif.
Makrifat itu mirip pengertiannya dengan pemaknaan pencerahan Kant,
yaitu emansipasi dari ketidaktahuan dan ketidakpedulian, bukan hanya hasil dari
kecerdasan rasional, melainkan juga kecerdasan emosional. Puasa tidak saja
menciptakan manusia yang arif, tetapi juga budiman, dengan cara memperbanyak
mengeluarkan sadaqah dan zakat untuk mereka yang kurang beruntung.
Kesempatan luas
Dalam bulan Ramadhan, manusia diberi kesempatan yang luas
mencapai status kearifbudimanan. Kesempatan itu dibuka dengan penciptaan iklim
kondusif: berpuasa secara berjemaah. Puasa sebagaimana banyak dijelaskan dalam
Al Quran adalah suatu perjuangan besar mengendalikan diri. Iklim itu diciptakan
melalui berpuasa meningkatkan hubungan silaturahim.
Pada masa Orde Baru, telah lahir tradisi baru, yaitu shalat
tarawih bersama di rumah-rumah pribadi, biasanya rumah seorang tokoh atau
pejabat yang berfungsi menghubungkan silaturahim antara pemimpin dan rakyat.
Shalat tarawih itu disertai pula dengan ceramah pencerahan. Bahkan, timbul pula
model ”pesantren kilat” untuk anak-anak remaja membentuk kepribadian yang
seimbang.
Iklim yang kondusif bagi pelaksanaan ibadah puasa tidak
perlu dilakukan dengan seruan kaum muslim sendiri agar masyarakat ”menghormati
bulan puasa”. Seruan itu sebaiknya dilakukan mereka yang tak menjalankan puasa
atau oleh pemerintah. Penghormatan itu seyogianya dilakukan sendiri oleh umat
Islam terhadap bulan Ramadhan dengan cara menahan amarah dan bertindak ramah.
Adalah tindakan kontradiktif dengan semangat berpuasa jika
dilakukan dengan gerakan sweeping, pemaksaan atau tekanan, apalagi dengan
aksi kekerasan atau melalui kekuasaan pemerintah untuk menutup restoran pada
siang hari karena tekanan atau paksaan itu melanggar hak orang lain yang tak
berpuasa yang memerlukan makan pada siang hari. Berpuasa akan benar-benar jadi
jihad akbar jika dilakukan dalam suasana terbuka walaupun dan justru karena
penuh godaan itu. Mari menyambut Ramadhan
sebagai bulan pencerahan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar