Senin, 01 Juli 2013

Berguru pada Kebenaran

Berguru pada Kebenaran
Mohamad Sobary ;  Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi dan Promosi
KORAN SINDO, 01 Juli 2013


Seorang nabi sering— tidak mengherankan— berada di tengah kerumunan umat seperti kaum aktivis zaman sekarang berada di dalam kerumunan orang-orang media. 

Kanjeng Nabi Musa AS disebut pernah berdialog dengan umatnya dan memberikan jawaban atas pertanyaan mengenai siapakah yang paling pandai di muka bumi. Ketika beliau menjawab bahwa beliaulah yang terpandai, Tuhan menegurnya bahwa ada “sahabat-Nya” yang lebih pandai darinya dan bahwa dia berada di pertemuan antara dua mata air dan di sana ada tanda: bila ikan asin hidup lagi dan melompat ke dalam air, dia sudah dekat di sekitar itu. 

Syahdan, Kanjeng Nabi Musa pun mencari tempat itu dan seperti dikisahkan dalam sebuah buku tipis yang menuturkan kekuatan karomahNabi Khidir, kedua nabi itu pun bertemu. Kanjeng Nabi Khidir mengatakan bahwa Musa tak akan kuat mengikutinya, tapi mari dicoba. Dalam perjalanan mereka, terjadi peristiwa yang mengejutkan Kanjeng Nabi Musa. Di suatu pantai, sebuah perahu dilubangi dan dirusak Kanjeng Nabi Khidir. Kemudian, di tempat lain, seorang anak dipiting lehernya dan mati seketika. 

Yang terakhir, ada sebuah rumah yang dirusak dan dihancurkan Nabi Khidir. Di sana dikisahkan, dalam setiap peristiwa itu Kanjeng Nabi Musa bertanya, dengan konten memprotes, mengapa hal itu dilakukan. Kanjeng Nabi Khidir pun menjelaskan mengapanya. Tentang perahu itu, nelayan pemiliknya sudah siap hendak berlayar untuk menangkap ikan. Tapi di tengah laut sana ada bajak laut yang juga siap merampasnya dan bahkan bakal membunuh sang nelayan. 

Maka, perahu itu dirusak demi menyelamatkan sang nelayan. Adapun soal si anak kecil yang dipiting itu, Kanjeng Nabi Khidir tahu, dia akan menjadi anak durhaka kepada orang tuanya dan bakal membahayakan kehidupannya. Maka anak itu pun diselamatkan dari kedurhakaan, atas izin Allah. Mengenai rumah yang dihancurkan? Di dalamnya tersimpan harta anak yatim di suatu pojok dan orang jahat siap merebut harta itu dari tangan yang berhak. Maka, rumah dirusak, jejak harta tak terlacak lagi, dan hak milik anak yatim itu terpelihara oleh pemeliharaan Allah. 

“Musa, sudah saatnya kita berpisah. Kau tak akan kuat mengikuti perjalanan selanjutnya.” Begitulah perpisahan yang didesakkan Kanjeng Nabi Khidir kepada “murid”-nya. Kitatahu, KanjengNabiMusa itu orang yang sangat rasional. Semua urusan harus ada penjelasan rasionalnya. Tidak boleh di matanyaada sesuatu yang berlangsung tanpa alasan yang masuk akal. 

Tapi Tuhan hendak memperlihatkan kepada nabi itu dan kepada kita, yang bukan nabi dan hidup bukan di zaman nabinabi, melainkan sekarang, di zaman yang “menabikan” materi dengan cara merampas materi dari orang lain, dan zaman di mana hukum diperdagangkan pasal demi pasal oleh para penegak hukum sendiri, dibantu para lawyer yang siap membengkokkan apa yang lurus dan membikin lurus apa yang bengkok, tanpa rasa malu. Apa yang hendak diperlihatkan Tuhan? 

Rasionalitas itu penting dan hebat. Tapi dia terbatas dan bahwa apa yang berada di luar batas rasionalitas itu, ada kebenaran tingkat tinggi, yang tak terjamah oleh kemampuan dan daya jangkau rasionalitas tadi. Problem mengenai perkara kebenaran pada hari ini mungkin tidak menyangkut diskursus dan pencarian kebenaran setinggi itu. Kebenaran jenis ini dan pada tingkat ini hanya menjadi urusan kaum cerdik pandai yang tulus mencari kebenaran dan selalu saja bertanya dan bertanya tentang kebenaran tingkat tinggi itu. 

Orang-orang itu bertanya dengan menggunakan suatu intellectual honesty, yang tak bakal laku di kalangan para penegak hukum, para lawyer yang tak pernah peduli terhadap kebenaran hukum, dan politisi kacangan yang tak tahu dan tak ingin tahu mengenai hakikat politik dan perjuangan politik. Mereka semua bergabung, bukan untuk bersama-sama belajar mengenai kebenaran hakiki, sebagaimana dicontohkan oleh Kanjeng Nabi Musa yang secara tulus berguru kepada Kanjeng Nabi Khidir. 

Pertanyaan- pertanyaan Kanjeng Nabi Musa diajukan dari kejernihan jiwa yang tulus, bukan pertanyaan retorika yang bertanya semata untuk bertanya. Kanjeng Nabi Musa belajar tentang hidup dan tak tahumenahu bahwa di balik kekuatan rasionalitas yang dibanggakannya ternyata masih ada lagi kekuatan lain, yang juga bicara mengenai kebenaran dengan “kesahihan” tingkat tinggi, yang membuatnya terpana. Kanjeng Nabi Musa pun termenung- menung sendirian memikirkan kebenaran. 

Zaman sekarang ini orang sudah tidak tertarik memikirkan perkara seperti itu. Dunia modern ini tak memberi kita kesempatan berpikir kontemplatif dan mendalam. Kehidupan mendera kita untuk tampak selalu cemas dan tergesa-gesa. Dunia berputar sangat cepat. Perubahan-perubahan sosial di sekitar kita sudah melampaui batas kapasitas masyarakat untuk belajar mengenai apa yang sedang terjadi. Kejutan demi kejutan muncul. Temuan demi temuan dipasarkan dan dijual murah—sebetulnya mahal— melalui mekanisme kredit yang menggiurkan. Materi melimpah. 

Dunia fana ini tampak menjadi lebih fana lagi sebagaimana diperkuat jenis temuan teknologi komunikasi dan mesin-mesin lain yang dalam waktu pendek berubah dan diganti temuantemuan baru yang lebih menarik. Hasrat memiliki apa yang fana itu menggelegar di dalam jiwa masyarakat, yang didera nafsu keserakahan materi karena gencarnya tawaran iklan yang tampak anggun, tapi kosong dari nilai-nilai kesejatian hidup. Kita tak lagi punya tradisi bertanya secara mendalam. 

Kita tak memikirkan pertanyaan. Mungkin kita bahkan tak lagi berpikir. Dalam iklim intelektual dan kejiwaan macam itu, tak mengherankan bila kini tak ada lagi orang yang tergerak untuk berguru pada kebenaran. Tradisi berpikir Kanjeng Nabi Musa sudah lewat dari kehidupan kita. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar