|
SUARA
KARYA, 04 Juli 2013
Semakin bangsa ini dikuasai nafsu
kenikmatan, kehormatan dan kekuasaan, maka pada gilirannya korupsi dan
nafsu-nafsu jahat lain-lainnya akan sukar diatasi. Berbarengan
bertumbuh-kembangnya korupsi, bertumbuh pula bencana alam seperti gempa dan
letusan gunung. Jika diperhatikan, bencana alam di Indonesia semakin meningkat,
yang diikuti peningkatan risiko terhadap semua elemen yang berada di permukaan
bumi, termasuk manusia beserta semua sarana dan prasarananya. Tingkat
kerentanan penduduk di Indonesia semakin meningkat karena pertambahan penduduk
yang cepat, utamanya pada daerah perkotaan dan kepesisiran.
Dengan pertumbuhan penduduk yang
hampir tak terkontrol, diperkirakan 20 tahun mendatang 60% penduduk Indonesia
bertempat tinggal di perkotaan dan kepesisiran. Daerah perkotaan yang kepadatan
penduduknya tinggi berarti banyak penduduk yang berisiko terhadap bencana alam.
Strategi penanggulangan bencana
dalam upaya meminimalkan jumlah korban, kehilangan harta benda dan kerusakan
lingkungan dapat dilaksanakan apabila didukung oleh data risiko bencana,
sebagai dasar untuk penanggulangan. Daerah yang berisiko tinggi perlu mendapat
perhatian yang lebih tinggi dan diprioritaskan.
Dengan perencanaan yang
sistematik dan didukung oleh data risiko bencana diharapkan strategi
penanggulangan bencana dapat berhasil dengan baik. Implementasi penilaian
risiko yang relevan dengan sudut pandang geomorfologi faktor bahaya. Banyak
cara untuk menilai tingkat bahaya pada suatu daerah terhadap suatu jenis
bahaya. Bila tingkat bahaya pada suatu daerah telah diketahui kemudian
dilakukan inventarisasi elemen berisiko beserta penilaian kerentanannya. Dengan
cara tumpang susun peta tingkat bahaya dan distribusi keruangan dari elemen
berisiko dapat dianalisis elemen yang berisiko terhadap tingkat bahaya dan
tingkat risikonya. Hasil analisis tersebut dapat dijadikan dasar untuk
pengurangan risiko.
Kapasitas penduduk juga menjadi
unsur penting dalam menaksir tingkat risiko, meskipun dari unsur bahaya
termasuk tinggi tetapi bila kapasitas penduduk dalam merespons bahaya juga
tinggi maka risiko akan lebih kecil. Selain itu risiko bencana terhadap
penduduk juga tergantung pada waktu, siang dan malam hari akan menunjukkan
tingkat risikonya.
Bencana alam yang pernah menimpa
negeri ini yang cukup parah, misalnya, tsunami di Aceh, gempa bumi di Nias,
Yogyakarta, Bengkulu, Jawa, dan Padang. Terakhir, gempa bumi berkekuatan 6,5 SR
kembali melanda bumi Aceh, Rabu (3/7). Sampai saat ini kita belum mampu
memprediksi gempa bumi dan belum ada alat pendeteksi. Hanya saja, untuk
mengatasi potensi serta potensi serta pemetaan daerah mana yang rawan menjadi
jalur gempa bisa ditelusuri dengan melihat melalui citra satelit maupun
pemetaan di lapangan.
Potensi dan mengetahui daerah yang rawan gempa bisa
dilakukan. Di samping itu, kita berusaha untuk meringankan korban dengan
gerakan solidaritas. Solidaritas tersebut diberikan tanpa memandang di daerah
mana mereka berada, apa agamanya dan apa pula pandangan politiknya.
Setelah bencana tersebut berlalu,
rasa solidaritas kita kembali menipis. Tak pelak lagi, sebagian masyarakat
hanya hidup di atas emosi dan prasangka satu sama lain yang akhirnya bermuara
pada kekerasan. Dari pengalaman masa lampau, pengalaman masa kini, dan proses
masa depan, seorang yang benar-benar realistis akan berpendapat, bahwa
kekerasan, tidak dapat mencapai pemecahan persoalan secara mendasar dan abadi.
Pemecahan masalah itu sering hanya mengambang dan temporer. Dan, sementara
perdamaian semu meninabobokkan banyak orang, secara diam-diam masyarakat
semakin terbawa arus perpecahan karena adanya kecurigaan antar kelompok yang
saling bersaing dan tiap-tiap kelompok mengalami problema-problema intern yang
setiap saat dapat meledak, walaupun usaha-usaha pencegahan selalu diusahakan
melalui berbagai cara.
Dengan mata telanjang kita lihat,
betapa banyak tindak kriminal yang ada di negara ini. Terutama, korupsi yang
membuat bangsa ini terbelit dalam kesulitan ekonomi dan banyak warga
masyarakatnya yang terbelenggu oleh kemiskinan.
Mengapa negeri ini terserang
penyakit sosial? Karena, selama ini kita cenderung membiarkan dan tidak pernah
mengambil tindakan yang tegas, sehingga membentuk nilai-nilai yang berlaku
menjadi jungkir balik. Orang yang bertindak benar dan tidak melakukan kesalahan
justru bisa dianggap salah. Sebaliknya, gerakan-gerakan yang melawan hukum
dibiarkan, bahkan justru dianggap sebagai gerakan yang benar, walaupun sering
melakukan kekerasan.
Kekerasan secara sederhana, bisa
diartikan penggunaan kekuatan yang tidak selalu, tetapi sering bernuansa fisik,
untuk melukai, merusak, memaksa atau upaya menyakiti, melanggar kesejahteraan.
Kekerasan tidak hanya menyangkut kekerasan fisik. Kekerasan juga bisa berbentuk
penghancuran harga diri, martabat, kehidupan orang lain melalui cara-cara
psikologis dan pemaksaan pikiran. Bencana alam yang berulangkali melanda
Indonesia bisa disebabkan karena kita semua termasuk orang-orang pendosa yang
melampaui batas. Tindakan korupsi yang dilakukan para elite membuat rakyat
menjadi miskin. Sementara itu, tindakan terhadap rakyat jelata seperti pedagang
kaki lima dan sejenisnya tidak jarang dilakukan dengan kekerasan. Padahal,
Tuhan berpihak kepada kaum lemah, miskin, kecil dan terpinggirkan.
Mudah-mudahan bencana alam yang
berulangkali melanda negeri ini menyadarkan para koruptor dan para pelaku
kekerasan yang membuat kaum lemah, kecil, miskin makin terpinggirkan. Apabila
mereka bisa menyadari perbuatannya, maka bencana alam dapat dikurangi. Namun,
jika perbuatan seperti itu tetap dilakukan, tidak mustahil negeri ini terus
menerus dilanda bencana alam. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar