|
REPUBLIKA,
06 Juli 2013
Seiring dengan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM)
bersubsidi, pemerintah menaikkan anggaran belanja tahun ini lewat Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2013 menjadi Rp 1,722 triliun.
Peningkatan ini menyebabkan anggaran pendidikan turut naik. Dikutip dari
data RAPBN-P 2013, total anggaran pendidikan pada RAPBN-P 2013 naik menjadi Rp
345,335 triliun dari sebelumnya pada APBN 2013 Rp 336,8 triliun. Salah satu
rencananya, tambahan anggaran pendidikan ini akan dioptimalkan penggunaannya
dalam bentuk Bantuan Siswa Miskin (BSM) dan Beasiswa Bidik Misi sebesar Rp 7,43
triliun untuk 16,6 juta anak dari keluarga miskin di seluruh Indonesia.
Melihat komitmen pemerintah untuk tetap mematuhi amanah
undang-undang bahwa anggaran pendidikan wajib 20 persen dari APBN patut
diapresiasi. Hanya, yang masih patut disayangkan ada lah efektivitas anggaran
dan strategi politik pendidikan yang masih melayang entah ke mana.
Distribusi anggaran
Kebijakan anggaran harus memperhatikan rasa keadilan dan
kepatutan.
Oleh karena itu, dua sektor penting pendidikan dan kemiskinan seharusnya menjadi cerminan fungsi distribusi anggaran. Dalam praktiknya, besarnya anggaran pendidikan tidak berbanding lurus dengan perluasan akses pendidikan berkualitas.
Oleh karena itu, dua sektor penting pendidikan dan kemiskinan seharusnya menjadi cerminan fungsi distribusi anggaran. Dalam praktiknya, besarnya anggaran pendidikan tidak berbanding lurus dengan perluasan akses pendidikan berkualitas.
Sejak 2009, akhirnya pemerintah memenuhi amanat konstitusi
20 persen anggaran pendidikan pascaputusan Mahkamah Konstitusi yang memasukkan
komponen gaji. Pada APBN-P 2009 anggaran pendidikan dialokasikan sebesar Rp
208,2 triliun dan empat tahun kemudian melonjak Rp 336,8 triliun pada APBN 2013,
bahkan mengalami kenaikan lagi setelah APBN-P 2013 disahkan.
Besarnya peningkatan anggaran pendidikan ini terlihat belum
bisa menyelesaikan persoalan pendidikan yang masih karut-marut. Di berbagai
daerah, masih banyak jumlah gedung sekolah yang rusak dan tidak layak untuk kegiatan
belajar mengajar. Begitu pun yang terjadi kepada para pengajar. Secara
umum kualitas dan kompetensi guru di Indonesia belum sesuai harapan. Hingga
saat ini, baru sekitar 51 persen berpendidikan S-1, sedangkan sisanya belum
berpendidikan S-1. Selain itu, baru 70,5 persen guru yang memenuhi syarat
sertifikasi.
Alhasil, saat ini angka putus sekolah di Indonesia
tergolong cukup tinggi. Pada 2010 mencapai 1,08 juta anak atau naik 30 persen
dibandingkan tahun sebelumnya. Berdasarkan laporan Education for All Global Monitoring yang dirilis UNESCO 2011,
Indonesia berada di peringkat 69 dari 127 negara dalam Education Development Index. Pada level Asia, Indonesia tertinggal
jauh dari Brunei Darussalam yang berada di peringkat ke-34 yang masuk dalam
jajaran kelompok dengan skor tinggi bersama Jepang (nomor 1 di Asia). Indonesia
hanya mampu berada di atas negara-negara, seperti Filipina, Kamboja, India, dan
Laos.
Tak ayal, laporan terbaru World Economic Forum (WEF) bertajuk The Global Competitiveness Index 2012-2013 menunjukkan bahwa
peringkat daya saing Indonesia melorot ke posisi 50 dengan skor 4,4 dari posisi
ke-46 pada tahun sebelumnya. Dengan demikian, dibandingkan dengan negara
tetangga, posisi daya saing Indonesia makin tertinggal.
Kita pasti bertanya-tanya, mengapa besarnya anggaran pendidikan belum membawa hasil yang signifikan. Hal ini terjadi karena politik pendidikan nasional belum memiliki visi yang jelas sehingga berbagai kebijakan dan implementasi pendidikan tampak sekadar coba-coba dan reaktif.
Kita pasti bertanya-tanya, mengapa besarnya anggaran pendidikan belum membawa hasil yang signifikan. Hal ini terjadi karena politik pendidikan nasional belum memiliki visi yang jelas sehingga berbagai kebijakan dan implementasi pendidikan tampak sekadar coba-coba dan reaktif.
Dalam teori pembangunan kontemporer dikemukakan bahwa
pendidikan mempunyai keterkaitan yang amat erat dengan pembangunan ekonomi.
Karena itu, investasi di bidang pembangunan SDM bernilai sangat strategis,
tidak bisa diterapkan secara coba-coba dan seram- pangan. Sebab, pendidikan
memberikan kontribusi yang amat besar terhadap kemajuan pembangunan, termasuk
untuk memacu pertumbuhan ekonomi.
Pendidikan yang baik dan benar akan mampu melahirkan
angkatan kerja yang terdidik. Tenaga kerja terdidik akan berpengaruh lebih
signifikan lagi bila disertai penguasaan teknologi sehingga menghasilkan
keunggulan kompetitif (competitive
advantage). Penguasaan teknologi ini sangat penting untuk mendorong
produktivi tas dan efisiensi. Penguasaan teknologi itu dimungkin kan bilamana
persyaratan modal manusia yang andal telah dipenuhi. Jadi, antara modal manusia
dan teknologi harus ada persenyawaan agar menciptakan kekuatan sinergis
sehingga bisa mendorong percepatan pertumbuhan ekonomi.
Kini, semakin jelas bahwa investasi dalam bidang pendidikan
tidak semata-mata untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi, tetapi lebih luas
lagi, yaitu perkembangan ekonomi. Hal yang perlu digarisbawahi adalah
pengembangan investasi pendidikan tidak bisa dilakukan dengan kebijakan instan,
seperti BSM, Beasiswa Bidik Misi, atau sejenisnya. Program BSM hanya akan
menempatkan masyarakat miskin sekadar sebagai objek penerima bantuan. Dalam konteks
ini, akhirnya masyarakat tidak mampu berpikir secara kritis dan mengembangkan
prakarsa-prakarsa inovatif yang sebenarnya menjadi esensi dari pemberdayaan.
Di tengah sebagian masyarakat yang semakin pragmatis,
program BSM ini sangat tidak tepat karena justru hanya akan mengajarkan
masyarakat semakin bergantung kepada pemerintah . Sudah saatnya pemerintah
merancang solusi kebijakan jangka panjang dan terintegrasi agar masyarakat
miskin tetap terlindungi. Karena itu, investasi di bidang pendidikan tidak saja
berfaedah bagi perseorangan, tetapi juga bagi komunitas bisnis dan masyarakat
umum.
Pendidikan merupakan jalan menuju kemajuan dan pencapaian
kesejahteraan sosial dan ekonomi. Sedangkan, kegagalan membangun pendidikan
akan melahirkan berbagai problem krusial: pengangguran, kriminalitas,
penyalahgunaan narkoba, dan instabilitas sosial yang menjadi beban
sosial-politik bagi pemerintah. Sepatutnya kebijakan investasi pendidikan tak
dihubungkan dengan kenaikan harga BBM. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar