|
KORAN
SINDO, 23 Juli 2013
Rangkaian kasus pembunuhan dan
mutilasi yang dilakukan kerabat terdekat korban, khususnya anak kandung
terhadap orang tuanya, telah menghentak kesadaran kita akan pentingnya
menciptakan hubungan yang sehat di dalam keluarga inti selaku elemen sosial
yang dekat. Berbagai macam motif melatarbelakangi tindakan tersebut, mulai dari
dendam, cemburu, malu, hingga kasih sayang.
Untuk memahami fenomena tersebut, terdapat beberapa penjelasan dari sudut pandang ilmu keluarga dan perkembangan manusia (family science and human development). Secara teoritik, hubungan dasar orang tua dengan anak menjadi cikal bakal pembentukan karakter seseorang. John Bowlby (1960), seorang ahli perkembangan manusia yang mendalami tentang hubungan anak dengan orang tua, menyatakan, hubungan anak dan orang tua terbentuk sejak anak di dalam kandungan dan akan berakhir ketika salah satu meninggal dunia.
Hubungan yang sehat antara anak dan orang tua sejak usia dini juga dasar penentu pembentukan hubungan sosial sang anak dengan lingkungan sosialnya kelak. Bowlby mengategorikan hubungan orang tua dengan anak menjadi tiga karakter yaitu hubungan aman (secure), tidak aman penghindar (insecure avoidant), dan tidak aman ambivalen (insecure ambivalent). Hubungan yang secure didefinisikan sebagai hubungan yang sehat, harmonis, suportif, dan sensitif terhadap kondisi emosional anak. Hubungan ini ditandai kuatnya kedekatan emosial (attachment) antara anak dan orang tua.
Seorang anak dalam hubungan yang aman akan lebih mampu mengeksplorasi lingkungan sosialnya dengan penuh percaya diri, senang, dan nyaman. Kenyamanan ini terbentuk dengan selalu ada kehadiran orang tua selaku pihak yang dianggap dapat menjadi sandaran, penyemangat, dan pelindung saat dibutuhkan. Anak yang berada dalam pola relasi semacam itu dipercaya akan tumbuh menjadi individu dewasa yang berkepribadian positif.
Sebaliknya, hubungan orang tua anak yang cenderung bersifat insecure ambivalent dan insecure avoidant diyakini memiliki kecenderungan untuk menghasilkan berbagai masalah emosional pada anak di usia perkembangan selanjutnya. Asumsi tersebut diperkuat hasil penelitian yang dilakukan Ainsworth (1970) yang telah mengonfirmasi temuan Bowlby sebelumnya bahwa anak yang sejak kecil telah memiliki hubungan insecure avoidant dengan orang tuanya memiliki kecenderungan untuk tumbuh menjadi pribadi yang lebih sering lari dari masalah sebagai bentuk upaya menghindari tanggung jawab dan perasaan stres dirinya.
Pada derajat yang lebih ekstrem, ketidakmampuan untuk lari dari perasaan tertekan itu akan memicu sikap agresif dan perilaku anarkistis. Dalam interaksi sehari-hari, anak dengan hubungan yang insecure avoidant ini seringkali terlihat seperti laiknya mereka yang tumbuh dalam pola relasi yang secure, bahkan cenderung terkesan eksklusif untuk anak seusianya. Tapi, di balik sikapnya yang eksklusif itu, sebenarnya terselip kesadaran untuk menentang dan memberontak.
Sikap eksklusif itu acapkali dilakukan sebagai upaya untuk memproteksi diri dari perasaan tidak nyamannya secara psikologis. Ambil contoh, kasus pembunuhan seorang ibu bernama Linda Warow oleh anak kandungnya, Erik Karsoho, 22, di Tanjung Priok pada April 2013, dilatarbelakangi dendam membara sang anak yang merasa diremehkan dan pernah diasingkan sang ibunda di dalam gudang ketika yang bersangkutan hendak pergi ke Australia menengok para kakak sang pelaku pembunuhan.
Ketika sang anak seringkali dibiasakan berada dalam kondisi tertekan, tidak dihargai, dan diremehkan oleh orang terdekatnya termasuk orang tua, pribadi anak akan cenderung berkarakter insecure avoidant. Karena tidak mendapatkan penanganan yang tepat, pilihan tindakan sadis dengan membantai sang ibunda diambil sang anak sebagai ekspresi dan upaya membebaskan diri dari tekanan psikologis yang membuncah.
Berbeda dengan karakter yang telah dibentuk melalui penciptaan hubungan anak insecure ambivalent terhadap orang tuanya. Bowlby dan Ainsworth menjelaskan bahwa anak yang memiliki hubungan insecure ambivalentsejak kecil dengan orang tuanya akan tumbuh menjadi pribadi dewasa yang memiliki perasaan kondisi emosional yang tidak secure, cenderung stres, posesif, dan mudah waswas yang berlebihan.
Kondisi emosional ambivalen inilah yang menuntun seseorang selalu merasa takut kehilangan orang terdekat secara berlebihan, bahkan juga dapat berbentuk tindakan sadis dan anarkistis. Sebut saja kasus mutilasi yang dilakukan Sigit terhadap ibunya di Bendungan Hilir awal Juli 2013. Karena rasa takut kehilangan Sigit yang berlebihan terhadap sang ibunda, Sigit tega memutilasi jasad ibunya dengan dalih menjaga sang ibu untuk tetap bersamanya.
Dengan demikian, disadari bahwa penciptaan hubungan yang sehat dan aman bagi anak adalah tugas penting bagi orang tua. Orang tua yang merupakan figur terdekat dengan anak diharapkan dapat menyediakan basis yang aman melalui hubungan yang sehat dan harmonis (secure base) kepada anak sehingga anak dapat tumbuh menjadi anak dengan pribadi yang sehat. Penciptaan hubungan yang sehat sejatinya bukan semata-mata memberikan ruang bagi pemanjaan anak ataupun hubungan yang tidak memiliki konflik sama sekali.
Hubungan yang sehat juga tidak dapat dibangun dengan hanya memenuhi beragam fasilitas dan kebutuhan materiil si anak. Namun, lebih dari itu, penciptaan hubungan yang sehat dapat dilakukan dengan selalu memberikan dukungan, kasih sayang, hingga menuntun penyelesaian masalah atau konflik pada diri sang anak itu sendiri maupun sosialnya.
Peringatan Hari Anak Nasional, 23 Juli diharapkan dapat mengingatkan kembali para orang tua untuk selalu menciptakan hubungan yang harmonis dengan anak-anak mereka yang merupakan generasi penerus keluarga dan bangsa. Harapannya, hubungan secure anak dan orang tua dapat menjadi basis sosial yang kuat bagi sang anak untuk dapat menciptakan hubungan yang sehat di kehidupan sosialnya kelak. ●
Untuk memahami fenomena tersebut, terdapat beberapa penjelasan dari sudut pandang ilmu keluarga dan perkembangan manusia (family science and human development). Secara teoritik, hubungan dasar orang tua dengan anak menjadi cikal bakal pembentukan karakter seseorang. John Bowlby (1960), seorang ahli perkembangan manusia yang mendalami tentang hubungan anak dengan orang tua, menyatakan, hubungan anak dan orang tua terbentuk sejak anak di dalam kandungan dan akan berakhir ketika salah satu meninggal dunia.
Hubungan yang sehat antara anak dan orang tua sejak usia dini juga dasar penentu pembentukan hubungan sosial sang anak dengan lingkungan sosialnya kelak. Bowlby mengategorikan hubungan orang tua dengan anak menjadi tiga karakter yaitu hubungan aman (secure), tidak aman penghindar (insecure avoidant), dan tidak aman ambivalen (insecure ambivalent). Hubungan yang secure didefinisikan sebagai hubungan yang sehat, harmonis, suportif, dan sensitif terhadap kondisi emosional anak. Hubungan ini ditandai kuatnya kedekatan emosial (attachment) antara anak dan orang tua.
Seorang anak dalam hubungan yang aman akan lebih mampu mengeksplorasi lingkungan sosialnya dengan penuh percaya diri, senang, dan nyaman. Kenyamanan ini terbentuk dengan selalu ada kehadiran orang tua selaku pihak yang dianggap dapat menjadi sandaran, penyemangat, dan pelindung saat dibutuhkan. Anak yang berada dalam pola relasi semacam itu dipercaya akan tumbuh menjadi individu dewasa yang berkepribadian positif.
Sebaliknya, hubungan orang tua anak yang cenderung bersifat insecure ambivalent dan insecure avoidant diyakini memiliki kecenderungan untuk menghasilkan berbagai masalah emosional pada anak di usia perkembangan selanjutnya. Asumsi tersebut diperkuat hasil penelitian yang dilakukan Ainsworth (1970) yang telah mengonfirmasi temuan Bowlby sebelumnya bahwa anak yang sejak kecil telah memiliki hubungan insecure avoidant dengan orang tuanya memiliki kecenderungan untuk tumbuh menjadi pribadi yang lebih sering lari dari masalah sebagai bentuk upaya menghindari tanggung jawab dan perasaan stres dirinya.
Pada derajat yang lebih ekstrem, ketidakmampuan untuk lari dari perasaan tertekan itu akan memicu sikap agresif dan perilaku anarkistis. Dalam interaksi sehari-hari, anak dengan hubungan yang insecure avoidant ini seringkali terlihat seperti laiknya mereka yang tumbuh dalam pola relasi yang secure, bahkan cenderung terkesan eksklusif untuk anak seusianya. Tapi, di balik sikapnya yang eksklusif itu, sebenarnya terselip kesadaran untuk menentang dan memberontak.
Sikap eksklusif itu acapkali dilakukan sebagai upaya untuk memproteksi diri dari perasaan tidak nyamannya secara psikologis. Ambil contoh, kasus pembunuhan seorang ibu bernama Linda Warow oleh anak kandungnya, Erik Karsoho, 22, di Tanjung Priok pada April 2013, dilatarbelakangi dendam membara sang anak yang merasa diremehkan dan pernah diasingkan sang ibunda di dalam gudang ketika yang bersangkutan hendak pergi ke Australia menengok para kakak sang pelaku pembunuhan.
Ketika sang anak seringkali dibiasakan berada dalam kondisi tertekan, tidak dihargai, dan diremehkan oleh orang terdekatnya termasuk orang tua, pribadi anak akan cenderung berkarakter insecure avoidant. Karena tidak mendapatkan penanganan yang tepat, pilihan tindakan sadis dengan membantai sang ibunda diambil sang anak sebagai ekspresi dan upaya membebaskan diri dari tekanan psikologis yang membuncah.
Berbeda dengan karakter yang telah dibentuk melalui penciptaan hubungan anak insecure ambivalent terhadap orang tuanya. Bowlby dan Ainsworth menjelaskan bahwa anak yang memiliki hubungan insecure ambivalentsejak kecil dengan orang tuanya akan tumbuh menjadi pribadi dewasa yang memiliki perasaan kondisi emosional yang tidak secure, cenderung stres, posesif, dan mudah waswas yang berlebihan.
Kondisi emosional ambivalen inilah yang menuntun seseorang selalu merasa takut kehilangan orang terdekat secara berlebihan, bahkan juga dapat berbentuk tindakan sadis dan anarkistis. Sebut saja kasus mutilasi yang dilakukan Sigit terhadap ibunya di Bendungan Hilir awal Juli 2013. Karena rasa takut kehilangan Sigit yang berlebihan terhadap sang ibunda, Sigit tega memutilasi jasad ibunya dengan dalih menjaga sang ibu untuk tetap bersamanya.
Dengan demikian, disadari bahwa penciptaan hubungan yang sehat dan aman bagi anak adalah tugas penting bagi orang tua. Orang tua yang merupakan figur terdekat dengan anak diharapkan dapat menyediakan basis yang aman melalui hubungan yang sehat dan harmonis (secure base) kepada anak sehingga anak dapat tumbuh menjadi anak dengan pribadi yang sehat. Penciptaan hubungan yang sehat sejatinya bukan semata-mata memberikan ruang bagi pemanjaan anak ataupun hubungan yang tidak memiliki konflik sama sekali.
Hubungan yang sehat juga tidak dapat dibangun dengan hanya memenuhi beragam fasilitas dan kebutuhan materiil si anak. Namun, lebih dari itu, penciptaan hubungan yang sehat dapat dilakukan dengan selalu memberikan dukungan, kasih sayang, hingga menuntun penyelesaian masalah atau konflik pada diri sang anak itu sendiri maupun sosialnya.
Peringatan Hari Anak Nasional, 23 Juli diharapkan dapat mengingatkan kembali para orang tua untuk selalu menciptakan hubungan yang harmonis dengan anak-anak mereka yang merupakan generasi penerus keluarga dan bangsa. Harapannya, hubungan secure anak dan orang tua dapat menjadi basis sosial yang kuat bagi sang anak untuk dapat menciptakan hubungan yang sehat di kehidupan sosialnya kelak. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar