Kamis, 07 Maret 2013

Partai dan Demokrasi Hampa


Partai dan Demokrasi Hampa
Umbu TW Pariangu  ;  Dosen Fisipol Undana Kupang,
Ketua Riset Teruna Demokrat 
REPUBLIKA, 04 Maret 2013


Survei Lingkaran Survei Indonesia (LSI) pada 11-14 Februari 2013 melansir bahwa 68,42 persen publik khawatir kinerja Presiden akan menurun karena terlalu sibuk mengurus partai. Sebanyak 24,29 persen yakin Presiden tetap fokus menjalankan tugasnya sebagai presiden dan 7,29 persen lainnya memilih tidak menjawab. 
Survei ini dilakukan pasca-Presiden Yudhoyono mengambil alih kendali Ketua Umum Partai Demokrat sejak 8 Februari 2013. Pengambilalihan bertujuan untuk memulihkan elektabilitas partai dari "sakit" elektoralnya berdasarkan hasil Survei Saiful Mujani Research Consultating, beberapa waktu lalu.
Rakyat pesimistis karena perhatian Presiden yang terlampau ekstra mengurus partai membuat sensitivitas dan kerja-kerja perlindungan dan pelayanan terhadap rakyat terabaikan. Penegasan Presiden pada akhir Januari lalu agar sejumlah menteri yang bakal menjadi kontestan dalam Pilpres 2014 lebih fokus bekerja sesuai tugas dan tanggung jawab rasanya mubazir manakala Presiden sendiri sibuk menyelamatkan partainya.
Artinya, ke depan begitu banyak waktu yang didedikasikan untuk menjalankan mandat rakyat tersedot oleh kesibukan elektoral-kekuasaan Presiden untuk mengurus partai. Kecuali, SBY melalui mekanisme internal partai segera menunjuk caretaker pengganti Anas Urbaningrum, sehingga SBY fokus mengemudikan kapal republik ini.
Apa yang dirisaukan di pusat tak beda dengan di daerah. Misalnya, upaya pemenangan kepala daerah (gubernur/bupati/wali kota) oleh partai sebagai modal politik di Pemilu dan Pilpres 2014 kerap membuat seorang gubernur--yang merangkap sebagai ketua partai--menghalalkan berbagai cara memenangi pemilihan bupati/wali kota yang mengikutkan kader yang diusung partainya lewat pengerahan kekuatan sumber daya dan simbol birokrasi yang mereduksi tatanan demokrasi lokal. Akibatnya, peran dan fungsi pemerintah daerah sebagai pelayan rakyat tercederai dan dibajak sistem transaksi kepentingan dalam bursa produk kebijakan yang ujung-ujungnya mengor- bankan legitimasi dan dukungan politik rakyat. 
Satu setengah tahun injury time pemerintahan SBY akan menentukan warisan apa yang ditinggalkan bagi rakyat. Apakah berkurangnya angka kemiskinan dan pemenuhan hak-hak dasar yang memadai bagi rakyat atau justru sistem politik yang kian bermasalah karena dikerangkeng watak pragmatis dan korupsi elite-elite politik dan birokrasi di berbagai sektor yang bernafsu mengincar rentai kekuasaan.
Dalam hal warisan sistem demokrasi, kalau sekadar pemenuhan hak-hak rakyat dalam kebebasan sipil dan bersuara sebagaimana yang diungkapkan Wapres Boediono dalam pidato penerimaan gelar Doctor Honoris Causa dari Monash University Australia di Istana Wapres Jakarta (13/2/2013) yang menjadi ukuran keberhasilan demokrasi di negeri ini, itu sebuah pernyataan yang kelewat naif. Apalah artinya itu jika hak-hak prinsipil rakyat, termasuk hak hidup laik, hak atas pekerjaan, hak atas jaminan sosial, hak memeluk agama dan kepercayaan, dan lain-lain gagal dilindungi.
Di tengah gemilangnya pertumbuhan ekonomi, kita melihat banyak rakyat makan nasi aking dan untuk berobat saja begitu susahnya. Sementara, uang rakyat dengan gampangnya dicuri pejabat-pejabat yang bernafsu memperkaya diri. Kejadian tragis yang menimpa pasangan suami-istri, Eliyas Setya Nugroho (20) dan Lisa Darawati (21), yang kehilangan buah hatinya Dera Nur Anggraini karena ditolak 10 rumah sakit (RS) untuk menjalani perawatan merupakan contoh bahwa rakyat masih menjadi anak tiri di negeri sendiri. Kasus ini hanya "gunung es" dari kejadian serupa di daerah-daerah di mana pemerintahnya meremehkan makna sakral pelayanan publik.
Ironisnya, meski nasib tragis yang mendera Dera Anggraini terjadi di jantung Ibu Kota, kita tak melihat ada elite dan partai politik yang menangis dan berempati. Mereka malah asyik menarik simpati lewat tebar pesona di media massa untuk meraih dukungan politik menjelang pemilu. Lainnya, asyik membentangkan karpet merah bagi anggota baru partai yang menggiurkan secara materi sebagai modal mengepulkan asap dapur partai di Pemilu 2014.
Sebagiannya lagi, sibuk mengonsolidasi partainya dari ambang ke melorotan elektabilitas dan perpecahan karena ada kadernya yang kepergok melakukan korupsi berjamaah. Padahal, menurut Larry Diamond, masalah korupsi dan lemahnya penegakan hukum inilah yang membuat institusionalisasi demokrasi di negeri kita terus terganggu (Indonesia's Place in Global Democracy, 2010). 
Tiga pemilu pascareformasi cukup membuat kita menepuk dada sebagai negara yang sukses secara prosedural demokrasi, tapi secara substantif harus diakui belum sepenuhnya mencerminkan spirit demokrasi the only game in the town yang melembagakan demokrasi. Olle Tornquist mengatakan, demokrasi formal memang sudah tercipta, tetapi secara substantif yang terjadi hanyalah "demokrasi kaum penjahat" (R William Liddle ed, 2001). Demokrasi yang menghadirkan elite politik (gubernur, bupati/wali kota, dan wakil rakyat) yang memanipulasi perangkat demokrasi untuk melayani syahwat diri, kelompok, dan lembaganya. Di baju mereka tersemat lambang pemerintahan untuk melayani rakyat, tapi itu semata menutupi watak aslinya sebagai penjahat politik bagi rakyatnya.
Kita berharap, kepentingan negara dan rakyatlah yang harus didahulukan oleh pemimpin bangsa ini, bukan kepentingan diri, kelompok, atau partai. Benar, partai harus menginspirasi kader-kadernya di legislatif dan eksekutif dalam menyusun agenda-agenda politik. Tetapi, dalam memperjuangkan dan membela "kepentingan", kepentingan rakyatlah yang harus diutamakan dan dibela.  Karenanya, selain dibutuhkan komitmen kenegarawanan, penting sekali larangan rangkap jabatan bagi pejabat negara yang menjabat sebagai fungsionaris parpol untuk mencegah internalisasi kepentingan individual, kepentingan partai politik, dan ke kuasaan ke dalam agenda-agenda utama kerakyatan. Jika tidak, demokrasi makin tercabik-cabik oleh krisis legitimasi rakyat karena penguasanya lebih memilih membangun istana kepentingannya daripada memperbaiki gubuk-gubuk penderitaan rakyat. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar