Kamis, 07 Maret 2013

Sampai Kapan Kita Impor?


Sampai Kapan Kita Impor?
Riyono  ;  Sekjen DPP Perhimpunan Petani Nelayan Sejahtera Indonesia 
REPUBLIKA, 04 Maret 2013


Semua presiden negeri ini menyisakan masalah impor, khususnya pangan yang sampai sekarang cenderung terus meningkat. Belum ada presiden yang berhasil menghentikan atau mengurangi impor pangan digantikan produksi dalam negeri. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, selama Januari-Juni 2011, nilai impor pangan mencapai 5,36 miliar dolar AS atau sekitar Rp 45 triliun. Nilai impor pangan semester I tahun 2011 lebih tinggi jika dibandingkan dengan semester yang sama tahun 2010. BPS juga mencatat, nilai impor pangan pada tahun lalu sebesar 4,66 miliar dolar AS atau setara dengan Rp 39,91 triliun. Diperkirakan, nilai impor akan terus meningkat sekitar 10 persen pada 2013. Kenaikan impor 2010 ke 2011 sekitar tujuh persen, yang membuat sedih bangsa ini. Mengapa impor selalu menjadi andalan utama dalam memenuhi kebutuhan dalam negeri? Bukankah kita negeri agraris dan maritim yang kaya akan segalanya?

Dunia memang sedang dilanda krisis pangan. Kelaparan di dunia 60 persen berada di kawasan Asia dan Pasifik, diikuti negeri sub-Sahara dan Afrika sebesar 24 persen, serta Amerika Latin dan Karibia enam persen. Setiap tahun, orang yang menderita kelaparan bertambah 5,4 juta jiwa. Bahkan, setiap tahunnya 36 juta jiwa rakyat mati karena kelaparan dan gizi buruk. Puncaknya pada 2010 PBB melalui FAO merilis, terdapat 975 juta jiwa manusia di dunia yang terancam kelaparan dan kematian.

Dunia gagal mengatasi kelaparan, cita-cita FAO untuk mengurangi angka kelaparan sebanyak 575 juta jiwa pada 2015 sulit terealisasi. Versi pemerintah, angka kemiskinan masih sekitar 13 persen atau setara 30 juta jiwa. Penduduk miskin negeri ini mencapai 25 per sen atau setara 60 juta jiwa dengan standar ADB. Standar kemiskinan yang digunakan ADB adalah penghasilan di bawah 1,25 dolar AS per hari (sekitar Rp 10.625). 

Rencana pemerintah untuk menurunkan angka kemiskinan delapan-10 persen gagal terealisasi. Kebutuhan pangan sebagai kebutuhan pokok masyarakat tidak mampu dipenuhi, penerima raskin yang mencapai 71 juta jiwa memberikan gambaran rakyat negeri ini masih kelaparan. Masih ada 17,4 persen penderita gizi buruk dan malnutrisi yang meghantui bayi, bahkan kecenderungan akan terus naik jika pemerintah gagal menyediakan pangan bergizi untuk masyarakat.

Kondisi di atas menggambarkan bahwa krisis pangan menjadi ancaman serius bagi keberlangsungan hidup masa depan dan generasi bangsa ini. Keberadaan kebijakan yang selalu propasar dan prokapitalisme menjadikan impor sebagai alasan untuk menstabilkan kondisi makro ekonomi nasional. Ketergantungan kepada impor jelas sangat berbahaya pada saat nantinya kondisi negara pengekspor pangan sedang dilanda masalah. Kita lihat Thailand yang sedang mengalami krisis produksi pangan akibat bencana banjir.

Jared Diamond dalam bukunya, Collapse: How Societes Choose to Fail or Succeced (2005), memasukkan Indonesia selain Nepal dan Kolombia sebagai peradaban yang mungkin dekat dengan keruntuhan. Ya, mungkin analisis ini bisa terjadi jika negeri ini terus masih menggantungkan pangan dari bangsa lain. Keruntuhan bukan secara hukum negara bubar, namun negeri ini akan "dikendalikan" olah bangsa lain yang berarti tidak memiliki kedaulatan. Jonh Perkin (2005) juga sudah mengingatkan akan bahaya impor karena Indonesia adalah negera besar yang kaya akan segalanya. Kekurangan bangsa ini, kata Perkin, pemimpin kita mudah menerima upeti. Itu saja.

Negeri ini tidak boleh lagi mengambil keputusan yang salah, khususnya soal impor pangan. Penataan lembaga pangan nasional haruslah menjadi prioritas, jangan biarkan kelembagaan pangan kita centang perenang tidak jelas alur dan arah koordinasinya. Pangan lokal biarkan menjadi menu favorit, kita tidak ingin "memberaskan" Indonesia, kekayaan alam harus terus diteliti untuk peningkatan diversifikasi pangan na sional. 

Sukarno memilih menghentikan impor ikan dari Malaysia walaupun rakyatnya kelaparan. Namun, keputusan ini memberikan dampak luar biasa bagi nelayan kita. Ada harapan yang dijanjikan Sukarno bahwa kita bisa hidup tanpa harus makan pangan impor yang menguntungkan bangsa lain. Pertanyaannya, sampai kapan kita akan terus impor? Siapa yang akan bisa menjawab kalau bukan kita sendiri. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar