Minggu, 24 Maret 2013

Memaknai Persaingan Politik


Memaknai Persaingan Politik
Israr Iskandar  ;  Esais, Pengamat Kebudayaan, Dosen di UIN dan IAILM
REPUBLIKA, 22 Maret 2013

  
Perlombaan politik menuju Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden 2014 makin intens. Selain tampilnya partai-partai politik peserta pemilu dan partai-partai yang kini terlibat sengketa dengan KPU, panggung politik nasional makin ramai dengan mengapungnya sejumlah nama calon presiden. KPU sendiri juga sudah membolehkan kontestan pemilu melakukan kampanye terbatas hingga April 2014. Dengan sistem pemilu proporsional terbuka berdasarkan suara terbanyak, proses politik sekarang ini memang terasa lebih gaduh. 

Persaingan politik tak hanya bersifat eksternal atau antarpartai politik peserta pemilu, tapi kompetisi di internal partai politik juga tak kalah seru mengingat posisi nomor urut caleg tidak sesignifi kan dalam sistem proporsional tertutup.
Pada konteks inilah terjadi persaingan memoles citra politik untuk memenangi pengaruh dan meraih dukungan dari rakyat. Persaingan merebut simpati calon pemilih ini dilakukan dengan beragam cara dan metode, mulai dari kunjungan langsung ke konstituen hingga tampil lewat iklan di media massa maupun iklan di luar ruang, seperti dalam bentuk baliho, spanduk, pamflet, atau stiker. 

Namun demikian, tahun yang menjadi ajang pemanasan politik menjelang pemilu mendatang ini tidak boleh hanya menjadi panggung permainan parpol dan elite. Proses politik menuju Pemilu 2014 mesti melibatkan publik, terutama dalam proses pengawasan, agar pesta demokrasi terasa makin bermakna bagi kepentingan rakyat dan negara.

Rekam Jejak

Ketika kampanye terbatas dimulai awal 2013 ini, pengawasan terhadap partai dan elite politik sudah mesti diting- katkan. Apalagi dewasa ini, partai-partai peserta pemilu sedang sibuk melakukan rekrutmen calon anggota legislatif untuk lembaga DPR, DPRD provinsi, maupun DPRD kabupaten dan kota. 

Terkait proses penentuan caleg, banyak hal mesti dibuka dan diketahui publik. Informasi mengenai parpol dan caleg harus lebih lengkap dan bisa diakses masyarakat. Hal ini untuk menjaga agar kualitas caleg dan proses politik Pemilu 2014 lebih baik dibandingkan pemilu 2009. Jika tidak begitu, daftar caleg nanti (kembali) berpotensi diisi politisi bermasalah, baik dari segi kompetensi maupun integritas. 
Berdasarkan pengalaman rekrutmen caleg selama ini, parpol sering mengistimewakan mereka yang punya kapital besar, popularitas keartisan, atau garis kekerabatan (dinasti) tertentu, tanpa mempertimbangakan faktor kompetensi dan integritas. Padahal, keberadaan elite politik yang kompeten dan berintegritas merupakan persyaratan fundamental agar demokrasi elektoral lebih bermakna.

Salah satu dimensi politik, juga mesti diwaspadai publik terkait rekam jejak caleg dan parpol. Publik mesti mengetahui parpol dan politikus mana saja yang tak menepati janji yang diumbar saat pemilu lalu atau politisi mana yang tergolong kutu loncat. Informasi lengkap mengenai hal ini dapat menghindari publik, terutama pemilih pemula, dari pilihan keliru saat pemilu nanti.

Pengawasan terhadap sumber-sumber pembiayaan politik tak kalah penting untuk pemilu yang lebih baik. Informasi keuangan parpol dan caleg tak hanya menjadi bahan pertimbangan rakyat dalam menentukan pilihan terbaiknya, tapi juga bahan bagi lembaga penegakan hukum untuk memprosesnya jika terjadi pelanggaran. 

Belajar dari pengalaman, potensi parpol dan politisi meraup dana dari sumber ilegal sangat besar, terutama pada 2013 ini. Kondisi yang juga patut diwaspadai terkait potensi eksploitasi isu SARA dan sentimen primordial tertentu untuk mendongkrak popularitas parpol dan politisi. 

Gejala tersebut berpotensi muncul di tahun ini dan bisa meningkat menjelang pelaksanaan pesta demokrasi. Walaupun pada tingkat elite, ideologi parpol-parpol yang ada seakan melebur (Ambardi, 2009), tapi saat memperebutkan dukungan rakyat, sentimen-sentimen SARA bisa muncul secara ekstrem dan mewujud menjadi konfl ik di akar rumput. 

Masyarakat Sipil

Di tengah hegemoni parpol saat ini, mengawal proses politik sepanjang 2013 dan 2014 merupakan agenda krusial. Pengawasan dan pengaturan dari KPU dan Panwas memang suatu kemestian, tapi publik tak boleh berharap banyak karena lembaga resmi ini punya keterbatasan sendiri.  Oleh karena itu, peningkatan peran masyarakat sipil dalam mengawal proses demokrasi lima tahunan ini terasa sangat urgen. Sejauh ini gerakan prodemokrasi di Indonesia belum kokoh dan kekuatannya tak merata di setiap daerah. 

Di banyak daerah, kekuatan masyarakat sipil cenderung lemah berhadapan dengan kekuatan negara dan kapital. Bahkan, tak sedikit elemen masyarakat sipil, seperti LSM, media, dan intelektual, yang kemudian dengan mudah bersalin rupa menjadi bagian persekutuan politik itu sendiri.

Apa pun, Pemilu 2014 harus dijelang dengan optimistis. Selain kualitas pengawasan dari masyarakat sipil, kualitas demokrasi juga ditentukan oleh berlakunya check and balances antaraktor politik. Saling kontrol sesama partai dan politisi dapat menjadi sumber informasi dan pertimbangan bagi masyarakat sebelum menjatuhkan pilihan sadarnya, sekaligus terbaiknya, pada pemilu nanti. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar