Mohamad
Ali, petinju legendaris yang meneriakkan ke seluruh dunia bahwa dirinya
sebagai The Greatest, pernah
kalah dari Joe Frazier dan retak di rahangnya.
Ini sebuah
kekalahan telak yang memalukan? “Maka,
orang-orangku pun dengan cekatan membawaku ke ruang ganti pakaian dan
menutup pintu bagi siapa pun, terutama bagi para wartawan yang pasti akan
memburu pertanyaan dariku.” Pernyataan itu dimuat di dalam buku Ali, I am The Greatest, yang saya baca
tahun 1980-an. Saya mengutipnya kembali dari ingatan karena buku itu
lenyap dari perpustakaan pribadi saya.
Kalah,
menurut Ali, membuatnya merasa seperti telanjang di muka umum: dingin,
malu. Tapi Ali orang besar. Kepada “orang-orangnya” dia meminta agar
pintu dibuka dan para wartawan bebas masuk. “Suruh mereka kemari. Ketika aku menang, mereka bertanya kepadaku
bagaimana perasaanku. Kini, ketika aku kalah, mereka juga boleh bertanya
dan aku akan bicara kepada mereka seperti ketika aku menang.” Hanya orang
besar yang memiliki kebesaran jiwa seperti itu.
Orang
“kiri-kanannya” tidak setuju dan menyarankan agar lebih baik Ali
beristirahat, menenangkan diri, dan untuk sementara menjauh dari media.
Itu sikap konvensional, cara berpikir “mapan” dan “baku” yang sudah
terbukti dalam praktik kehidupan bahwa semenjak lama “cara hidup” seperti
itu membawa kebaikan. ”Orang biasa” menyukai cara “aman” seperti itu.
Semua enggan meninggalkan kebiasaan yang dianggap sebagai titik paling
“nyaman”, yang tak perlu diubah, karena bukankah sebaiknya kita tak perlu
mengambil risiko, sekecil apa pun kemungkinannya?
Ali tidak
suka akan kemapanan sikap dan cara pandang seperti itu. Dunia tempat dia
hidup memang sama dengan dunia “orang-orangnya”. Tapi Ali melihat setiap
soal, setiap unsur dalam hidup sehari-hari dari sudut pandang yang
berbeda. Dia memang berdiri di suatu “pojok” yang memungkinkannya melihat
lebih banyak hal daripada yang dapat dilihat orang lain.
Winning The Battle, Losing The War?
Kapan
fenomena “kalah-menang” ditentukan? Dalam dunia persilatan, seorang
jagoan bisa saja dirobohkan— bahkan dibunuh tandas beserta
keluarganya—tapi adakah itu tanda kemenangan bagi jagoan yang membunuh
mereka? Dapatkah sang jagoan kemudian berpangku tangan, menikmati
kemenangan, dalam ketenangan yang tak mungkin terusik? Tidak. Dunia
jagoan tak mengenal “kalah-menang”. Jagoan tak boleh lengah.
Tokoh yang
dikalahkannya tadi boleh jadi memiliki guru, beserta saudara-saudara
seperguruan, yang siap membalas dendam. Jagoan yang membunuh tadi, yang
kita sebut “menang”, sebenarnya selalu terancam bahaya. Kecuali bila sang
jagoan menguasai jurus-jurus “langit” yang tak dikenal di bumi. Juga bila
tokoh itu memiliki ilmu masa lampau yang tak lagi dikenal di zaman ini,
sedang semua musuhnya bukan jenis orang dari masa lampau. Itu sama sekali
tak ada jaminan bahwa yang “menang” bakal tetap “menang” selamanya.
Di dunia
politik pun fenomena “kalah-menang” itu “subtil”, “sumir”, tidak “telak”,
dan tidak”mutlak-mutlakan”. Idiom “winning
the battle, losing the war”, memenangi pertempuran tapi kalah dalam
perang, secara keseluruhan kelihatannya menjelaskan dengan bagus sekali
ruwetnya perkara “kalah-menang” itu. Negeri yang dipimpin kaum “legalis
formalis”— lebih-lebih orang-orang parlemen—yang menjawab hampir semua
persoalan dengan membuat undang-undang dan perda-perda dan yang lebih
dahsyat “perda syariah” dikiranya peraturan yang dijejalkan begitu saja
tanpa landasan filosofi yang penuh hikmah-kebijaksanaan mampu mengatasi persoalan
kemasyarakatan yang kompleks dan mendalam.
Dijejalkannya
berbagai perda syariah, yang asal jadi untuk beberapa daerah terpilih,
yang tak pernah ditinjau adakah karya mereka itu mampu mengubah kehidupan
masyarakat, dengan bagus sekali menggambarkan ungkapan “winning the battle, losing the war”
tadi. Secara resmi, mereka mampu memaksa suatu daerah untuk mengadopsi
suatu jenis perda syariah. Dalam banyak hal itu perkara mudah sekali. Itu
urusan pertempuran di parlemen dan di DPRD. Di sana suara terbanyak—dan
bukan kekuatan hikmah-kebijaksanaan— yang memenangi pertempuran.
Tapi
kemenangan pertempuran itu tak pernah diikuti kemenangan dalam perang
yang lebih besar. Mereka kelihatannya menang, tapi sebenarnya kalah telak
dan memalukan. Untung mereka sudah tak lagi memiliki rasa malu. Semangat
“asal ada UU atau peraturan” kelihatannya membikin kehidupan kita menjadi
dangkal, kekanak-kanakan, dan naif dalam pengertian yang lebih sejati.
Kita dibuat kehilangan kearifan yang dulu menerangi kegelapan jiwa kita
bersama.
Bang Fahmi: Kalah-Menang Soal Biasa
Dr Fahmi
Idris, hari Jumat lalu, di ruang kerjanya di Wisma Kodel menerima dua
teman seperjuangan yang membela tembakau dan keretek. Ada perasaan
“kalah” pada mereka dan perjuangan seperti sudah terhenti di suatu titik
dari mana mereka tidak lagi mampu go
beyond. Di batas sesudah Presiden menandatangani PP No 109 yang
mencekik petani tembakau, perjuangan para pembela tembakau dan keretek
dalam negeri menjadi sempit. Kepentingan bisnis rokok asing “diumbar”
secara liar. Perjuangan ini menghadapi pemerintah dan pihak asing
sekaligus.
Jelas kita
kalah. Dr Fahmi Idris tidak merasa ikut kalah. Kalah-menang itu perkara
rutin, terjadi tiap hari. Kalah di satu titik, kita bisa menang di titik
lain. Ketika menang kita tersenyum, ketika kalah kita juga harus
tersenyum. Kalah bukan titik akhir perjuangan. Tak mungkin kita selalu
menang. Ini, seperti Ali, juga jenis cara berpikir yang lain, yang bukan
konvensional. Bang Fahmi juga melihat dunia yang ruwet dan ganas ini dari
pojok yang memberinya kesempatan berpikir lebih kreatif dan merasakan
banyak hal tidak dengan sikap murung. “Kalah
itu juga baik,” katanya.
“Sama baiknya dengan menang.” Maka,
sekali lagi, tetap senyumlah ketika kalah dengan senyum yang sama ketika
kita menang. Hari Jumat lalu itu, saya tak mengeluarkan sepatah pun kata.
Konsultasi itu momentum untuk mendengar dan saya sudah mendengar: “kalah-menang” perkara biasa. Dan
saya heran, mengapa Bang Fahmi dan Ali sama belaka sikapnya memandang
fenomena “kalah-menang” yang
mencekam itu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar