Senin, 25 Maret 2013

Kalah-Menang dalam Perjuangan


Kalah-Menang dalam Perjuangan
Mohamad Sobary ;  Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi
KORAN SINDO, 25 Maret 2013

  
Mohamad Ali, petinju legendaris yang meneriakkan ke seluruh dunia bahwa dirinya sebagai The Greatest, pernah kalah dari Joe Frazier dan retak di rahangnya. 

Ini sebuah kekalahan telak yang memalukan? “Maka, orang-orangku pun dengan cekatan membawaku ke ruang ganti pakaian dan menutup pintu bagi siapa pun, terutama bagi para wartawan yang pasti akan memburu pertanyaan dariku.” Pernyataan itu dimuat di dalam buku Ali, I am The Greatest, yang saya baca tahun 1980-an. Saya mengutipnya kembali dari ingatan karena buku itu lenyap dari perpustakaan pribadi saya. 

Kalah, menurut Ali, membuatnya merasa seperti telanjang di muka umum: dingin, malu. Tapi Ali orang besar. Kepada “orang-orangnya” dia meminta agar pintu dibuka dan para wartawan bebas masuk. “Suruh mereka kemari. Ketika aku menang, mereka bertanya kepadaku bagaimana perasaanku. Kini, ketika aku kalah, mereka juga boleh bertanya dan aku akan bicara kepada mereka seperti ketika aku menang.” Hanya orang besar yang memiliki kebesaran jiwa seperti itu. 

Orang “kiri-kanannya” tidak setuju dan menyarankan agar lebih baik Ali beristirahat, menenangkan diri, dan untuk sementara menjauh dari media. Itu sikap konvensional, cara berpikir “mapan” dan “baku” yang sudah terbukti dalam praktik kehidupan bahwa semenjak lama “cara hidup” seperti itu membawa kebaikan. ”Orang biasa” menyukai cara “aman” seperti itu. Semua enggan meninggalkan kebiasaan yang dianggap sebagai titik paling “nyaman”, yang tak perlu diubah, karena bukankah sebaiknya kita tak perlu mengambil risiko, sekecil apa pun kemungkinannya? 

Ali tidak suka akan kemapanan sikap dan cara pandang seperti itu. Dunia tempat dia hidup memang sama dengan dunia “orang-orangnya”. Tapi Ali melihat setiap soal, setiap unsur dalam hidup sehari-hari dari sudut pandang yang berbeda. Dia memang berdiri di suatu “pojok” yang memungkinkannya melihat lebih banyak hal daripada yang dapat dilihat orang lain. 

Winning The Battle, Losing The War? 

Kapan fenomena “kalah-menang” ditentukan? Dalam dunia persilatan, seorang jagoan bisa saja dirobohkan— bahkan dibunuh tandas beserta keluarganya—tapi adakah itu tanda kemenangan bagi jagoan yang membunuh mereka? Dapatkah sang jagoan kemudian berpangku tangan, menikmati kemenangan, dalam ketenangan yang tak mungkin terusik? Tidak. Dunia jagoan tak mengenal “kalah-menang”. Jagoan tak boleh lengah. 

Tokoh yang dikalahkannya tadi boleh jadi memiliki guru, beserta saudara-saudara seperguruan, yang siap membalas dendam. Jagoan yang membunuh tadi, yang kita sebut “menang”, sebenarnya selalu terancam bahaya. Kecuali bila sang jagoan menguasai jurus-jurus “langit” yang tak dikenal di bumi. Juga bila tokoh itu memiliki ilmu masa lampau yang tak lagi dikenal di zaman ini, sedang semua musuhnya bukan jenis orang dari masa lampau. Itu sama sekali tak ada jaminan bahwa yang “menang” bakal tetap “menang” selamanya. 

Di dunia politik pun fenomena “kalah-menang” itu “subtil”, “sumir”, tidak “telak”, dan tidak”mutlak-mutlakan”. Idiom “winning the battle, losing the war”, memenangi pertempuran tapi kalah dalam perang, secara keseluruhan kelihatannya menjelaskan dengan bagus sekali ruwetnya perkara “kalah-menang” itu. Negeri yang dipimpin kaum “legalis formalis”— lebih-lebih orang-orang parlemen—yang menjawab hampir semua persoalan dengan membuat undang-undang dan perda-perda dan yang lebih dahsyat “perda syariah” dikiranya peraturan yang dijejalkan begitu saja tanpa landasan filosofi yang penuh hikmah-kebijaksanaan mampu mengatasi persoalan kemasyarakatan yang kompleks dan mendalam. 

Dijejalkannya berbagai perda syariah, yang asal jadi untuk beberapa daerah terpilih, yang tak pernah ditinjau adakah karya mereka itu mampu mengubah kehidupan masyarakat, dengan bagus sekali menggambarkan ungkapan “winning the battle, losing the war” tadi. Secara resmi, mereka mampu memaksa suatu daerah untuk mengadopsi suatu jenis perda syariah. Dalam banyak hal itu perkara mudah sekali. Itu urusan pertempuran di parlemen dan di DPRD. Di sana suara terbanyak—dan bukan kekuatan hikmah-kebijaksanaan— yang memenangi pertempuran. 

Tapi kemenangan pertempuran itu tak pernah diikuti kemenangan dalam perang yang lebih besar. Mereka kelihatannya menang, tapi sebenarnya kalah telak dan memalukan. Untung mereka sudah tak lagi memiliki rasa malu. Semangat “asal ada UU atau peraturan” kelihatannya membikin kehidupan kita menjadi dangkal, kekanak-kanakan, dan naif dalam pengertian yang lebih sejati. Kita dibuat kehilangan kearifan yang dulu menerangi kegelapan jiwa kita bersama. 

Bang Fahmi: Kalah-Menang Soal Biasa 

Dr Fahmi Idris, hari Jumat lalu, di ruang kerjanya di Wisma Kodel menerima dua teman seperjuangan yang membela tembakau dan keretek. Ada perasaan “kalah” pada mereka dan perjuangan seperti sudah terhenti di suatu titik dari mana mereka tidak lagi mampu go beyond. Di batas sesudah Presiden menandatangani PP No 109 yang mencekik petani tembakau, perjuangan para pembela tembakau dan keretek dalam negeri menjadi sempit. Kepentingan bisnis rokok asing “diumbar” secara liar. Perjuangan ini menghadapi pemerintah dan pihak asing sekaligus. 

Jelas kita kalah. Dr Fahmi Idris tidak merasa ikut kalah. Kalah-menang itu perkara rutin, terjadi tiap hari. Kalah di satu titik, kita bisa menang di titik lain. Ketika menang kita tersenyum, ketika kalah kita juga harus tersenyum. Kalah bukan titik akhir perjuangan. Tak mungkin kita selalu menang. Ini, seperti Ali, juga jenis cara berpikir yang lain, yang bukan konvensional. Bang Fahmi juga melihat dunia yang ruwet dan ganas ini dari pojok yang memberinya kesempatan berpikir lebih kreatif dan merasakan banyak hal tidak dengan sikap murung. “Kalah itu juga baik,” katanya. 

“Sama baiknya dengan menang.” Maka, sekali lagi, tetap senyumlah ketika kalah dengan senyum yang sama ketika kita menang. Hari Jumat lalu itu, saya tak mengeluarkan sepatah pun kata. Konsultasi itu momentum untuk mendengar dan saya sudah mendengar: “kalah-menang” perkara biasa. Dan saya heran, mengapa Bang Fahmi dan Ali sama belaka sikapnya memandang fenomena “kalah-menang” yang mencekam itu. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar