Sabtu, 23 Maret 2013

Otonomi Daerah yang Rapuh


Otonomi Daerah yang Rapuh
Suwidi Tono ;  Koordinator Forum ”Menjadi Indonesia”
KOMPAS, 23 Maret 2013
  

Tahun 1989, Profesor Hal Hill dari Australian National University menghimpun analisis sejumlah pakar ekonomi regional dalam buku Unity and Diversity.
Kesimpulan umum buku yang memetakan perkembangan ekonomi setiap wilayah di Indonesia sejak Orde Baru itu menunjukkan awetnya tiga karakteristik utama: dualisme sektor tradisional-modern, disparitas antarsektor ekonomi dan antarwilayah, dan kesenjangan distribusi pendapatan.
Kecenderungan ini terus berlangsung meski penguatan otonomi telah ditampung dalam UU Nomor 22 Tahun 1999 dan UU No 25/1999 dan diubah jadi UU No 32/2004 dan UU No 33/2004. Tujuan pokok desentralisasi mendorong terpenuhinya standar pelayanan minimal, mengangkat kesejahteraan rakyat, dan menumbuhkan kemandirian daerah masih sebatas harapan. Paradigma dan kebijakan pemerintah pusat dan daerah belum merefleksikan hakikat yang terkandung dalam kedua UU itu.
Boros Struktur, Miskin Fungsi
Paling tidak tersua empat determinan penting penyebab deviasi tujuan pokok otonomi. Pertama, pembiaran atas pembesaran defisit celah fiskal. Kebutuhan anggaran daerah terus meningkat, sedangkan arus kas penerimaan sukar mengimbanginya. Terpelihara struktur anggaran ”besar pasak daripada tiang” yang ditutup dengan dana perimbangan. Berbagai studi menunjukkan bahwa tingkat ketergantungan daerah ke pusat sempat menurun pada awal era otonomi 2001 sampai 2005, tetapi sejak 2007 kembali meningkat.
Konstruksi APBD identik dengan APBN. Porsi pengeluaran terbesar terserap untuk gaji dan belanja pegawai. Hanya menyisakan sedikit untuk belanja modal demi mendorong pertumbuhan ekonomi, membangun infrastruktur. Banyak daerah hanya mengalokasikan kurang dari 10 persen dari total APBD-nya untuk belanja modal. Inilah gambaran bahwa pemerintahan kuat corak administrasinya ketimbang peran fungsionalnya.
Instrumen transfer ke daerah belum mampu menghapus kesenjangan fiskal horizontal (antardaerah) dan vertikal (antara pusat dan daerah). Hal ini justru terjadi ke- tika dana alokasi umum, dana alokasi khusus, dan bagi hasil bukan pajak naik ta- jam dari Rp 150 triliun (2005) menjadi Rp 528 triliun (2013). Porsi DAU sendiri pada APBN 2013 mencapai Rp 311 triliun.
Kedua, desentralisasi kewenangan tidak direspons dengan langkah nyata dan terukur menuju kemandirian keuangan daerah. Lebih dari 25 urusan pusat sudah dilimpahkan ke daerah sejak tahun 2000. Faktanya, kapasitas fiskal daerah tak meningkat proporsional menggantikan sumber penerimaan dari pusat.
Di samping anggaran untuk kebutuhan alokasi dasar terus melonjak, optimalisasi pendapatan asli daerah (PAD) masih berkutat dan terbatas pada pola-pola tradisional, seperti perluasan obyek pungutan retribusi dan aneka perizinan.
Inovasi visioner sejumlah pemimpin daerah memfasilitasi kesempatan berusaha seluas-luasnya dan memberlakukan layanan cepat-murah-transparan satu pintu belum menular dan jadi kebutuhan bersama. Kepentingan jangka pendek mendongkrak PAD lebih kentara daripada keperluan meletakkan basis pertumbuhan penerimaan daerah secara berkesinambungan untuk penguatan kapasitas fiskal jangka panjang.
Hasil survei Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah sejak 2001 sampai sekarang stabil menemukan enam faktor penghambat tata kelola ekonomi daerah: terbatas infrastruktur, lemah kebijakan pengembangan usaha, sukar beroleh akses lahan dan kepastian hukum, interaksi pemda-pelaku usaha tak transparan, biaya dan pungutan transaksi tinggi, perizinan usaha mahal dan ruwet. Ditambah lamban dan rendahnya serapan anggaran—kondisi yang juga kronis di banyak instansi pusat—stimulus belanja pemerintah bagi ekonomi daerah kurang optimal.
Ketiga, reformasi birokrasi belum menyentuh kebutuhan utama: terpenuhinya standar pelayanan minimal bagi rakyat. Organisasi pemda masih mengidap penya- kit boros struktur, miskin fungsi. Sebagian karena limpahan beban jumlah pegawai era Orde Baru, ditambah penggemukan akibat penggiliran kekuasaan lewat pilkada. Akibatnya, sistem meritokrasi pun tak berpola, amat bergantung pada selera pemimpin baru yang berganti-ganti.
Postur aparatur daerah ini sesungguhnya turunan dari situasi nasional. Wakil Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Eko Prasojo menyebut hanya 20 persen pegawai negeri sipil yang bekerja (Tempo, 22-28 Oktober 2012). Selain membuat anggaran rutin terus meningkat, aspek pelayanan sebagai cermin kinerja birokrasi tersisih oleh kegiatan teknis administratif.
Keempat, koeksistensi pusat-daerah longgar. Disharmoni, tumpang-tindih aturan dan perda bermasalah masih mengemuka di tengah stagnasi penyerasian perundangan pusat-daerah. Selain membuka celah kerawanan, kondisi ini juga berpotensi menebar benih konflik dan melanggengkan kepentingan egosektoral.
Mentalitas Penguasa
Hulu semua masalah ini adalah masih melekatnya mindset birokrasi pusat dan daerah sebagai provider, bukan enabler, pangreh praja bukan pamong praja. Mentalitas penguasa, pemegang otoritas, kuat bercokol ketika zaman dan aspirasi rakyat menuntut transformasi radikal setelah lama terbelenggu rezim otoritarian. Induksi nilai-nilai tata kelola yang baik, seperti pakta integritas, transparansi, dan akuntabilitas, terganjal karakter pemerintahan business as usual yang gagap merespons amanat perubahan.
Desa juga terus jadi obyek. Ekses penyeragaman struktur dan perangkat desa sejak Orba membuat tokoh informal tergusur, kearifan lokal pudar, komunitas tercerabut, dan apatisme meluas. Tergerusnya peran tetua adat dan tokoh masyarakat menyebabkan konflik horizontal kerap timbul dan sumber pembentukan kepemimpinan otentik di akar rumput menipis.
Perkembangan otonomi sejauh ini menunjukkan lemahnya kontrol. Salah satu sebabnya: Dewan Perwakilan Daerah, representasi suara rakyat di daerah, dibuat tumpul, tak memiliki kewenangan dan kemampuan membuat kebijakan. Sistem parlemen bikameral hanya indah di atas kertas, tetapi tak membawa manfaat. Akibatnya, mekanisme check and balance tidak berjalan. Keterwakilan aspirasi rakyat diserahkan sepenuhnya ke partai politik yang terjebak praktik transaksi, oligarki, dan monarki.
Semua elemen demokrasi mestinya terpanggil untuk mengubah keadaan. RUU Desa yang sedang digodok DPR dan pemerintah perlu dikawal agar khazanah kekayaan lokal tidak terus-menerus menjadi obyek politik. Amandemen UU No 27/2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD harus jadi agenda bersama. Meskipun perubahan legalistik mendesak dan penting, landasan yang dibangun hendaknya memastikan berimpitnya tujuan nasional dan daerah.  ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar