Tahun 1989, Profesor Hal Hill
dari Australian National University menghimpun analisis sejumlah pakar
ekonomi regional dalam buku Unity
and Diversity.
Kesimpulan umum buku yang
memetakan perkembangan ekonomi setiap wilayah di Indonesia sejak Orde
Baru itu menunjukkan awetnya tiga karakteristik utama: dualisme sektor
tradisional-modern, disparitas antarsektor ekonomi dan antarwilayah, dan
kesenjangan distribusi pendapatan.
Kecenderungan ini terus
berlangsung meski penguatan otonomi telah ditampung dalam UU Nomor 22
Tahun 1999 dan UU No 25/1999 dan diubah jadi UU No 32/2004 dan UU No
33/2004. Tujuan pokok desentralisasi mendorong terpenuhinya standar
pelayanan minimal, mengangkat kesejahteraan rakyat, dan menumbuhkan
kemandirian daerah masih sebatas harapan. Paradigma dan kebijakan
pemerintah pusat dan daerah belum merefleksikan hakikat yang terkandung
dalam kedua UU itu.
Boros Struktur, Miskin Fungsi
Paling tidak tersua empat
determinan penting penyebab deviasi tujuan pokok otonomi. Pertama,
pembiaran atas pembesaran defisit celah fiskal. Kebutuhan anggaran daerah
terus meningkat, sedangkan arus kas penerimaan sukar mengimbanginya.
Terpelihara struktur anggaran ”besar pasak daripada tiang” yang ditutup
dengan dana perimbangan. Berbagai studi menunjukkan bahwa tingkat
ketergantungan daerah ke pusat sempat menurun pada awal era otonomi 2001
sampai 2005, tetapi sejak 2007 kembali meningkat.
Konstruksi APBD identik dengan
APBN. Porsi pengeluaran terbesar terserap untuk gaji dan belanja pegawai.
Hanya menyisakan sedikit untuk belanja modal demi mendorong pertumbuhan
ekonomi, membangun infrastruktur. Banyak daerah hanya mengalokasikan
kurang dari 10 persen dari total APBD-nya untuk belanja modal. Inilah
gambaran bahwa pemerintahan kuat corak administrasinya ketimbang peran
fungsionalnya.
Instrumen transfer ke daerah
belum mampu menghapus kesenjangan fiskal horizontal (antardaerah) dan
vertikal (antara pusat dan daerah). Hal ini justru terjadi ke- tika dana
alokasi umum, dana alokasi khusus, dan bagi hasil bukan pajak naik ta-
jam dari Rp 150 triliun (2005) menjadi Rp 528 triliun (2013). Porsi DAU
sendiri pada APBN 2013 mencapai Rp 311 triliun.
Kedua, desentralisasi kewenangan
tidak direspons dengan langkah nyata dan terukur menuju kemandirian
keuangan daerah. Lebih dari 25 urusan pusat sudah dilimpahkan ke daerah
sejak tahun 2000. Faktanya, kapasitas fiskal daerah tak meningkat
proporsional menggantikan sumber penerimaan dari pusat.
Di samping anggaran untuk
kebutuhan alokasi dasar terus melonjak, optimalisasi pendapatan asli
daerah (PAD) masih berkutat dan terbatas pada pola-pola tradisional,
seperti perluasan obyek pungutan retribusi dan aneka perizinan.
Inovasi visioner sejumlah
pemimpin daerah memfasilitasi kesempatan berusaha seluas-luasnya dan
memberlakukan layanan cepat-murah-transparan satu pintu belum menular dan
jadi kebutuhan bersama. Kepentingan jangka pendek mendongkrak PAD lebih
kentara daripada keperluan meletakkan basis pertumbuhan penerimaan daerah
secara berkesinambungan untuk penguatan kapasitas fiskal jangka panjang.
Hasil survei Komite Pemantau
Pelaksanaan Otonomi Daerah sejak 2001 sampai sekarang stabil menemukan
enam faktor penghambat tata kelola ekonomi daerah: terbatas
infrastruktur, lemah kebijakan pengembangan usaha, sukar beroleh akses
lahan dan kepastian hukum, interaksi pemda-pelaku usaha tak transparan,
biaya dan pungutan transaksi tinggi, perizinan usaha mahal dan ruwet.
Ditambah lamban dan rendahnya serapan anggaran—kondisi yang juga kronis
di banyak instansi pusat—stimulus belanja pemerintah bagi ekonomi daerah
kurang optimal.
Ketiga, reformasi birokrasi
belum menyentuh kebutuhan utama: terpenuhinya standar pelayanan minimal
bagi rakyat. Organisasi pemda masih mengidap penya- kit boros struktur,
miskin fungsi. Sebagian karena limpahan beban jumlah pegawai era Orde
Baru, ditambah penggemukan akibat penggiliran kekuasaan lewat pilkada.
Akibatnya, sistem meritokrasi pun tak berpola, amat bergantung pada
selera pemimpin baru yang berganti-ganti.
Postur aparatur daerah ini
sesungguhnya turunan dari situasi nasional. Wakil Menteri Pendayagunaan
Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Eko Prasojo menyebut hanya 20
persen pegawai negeri sipil yang bekerja (Tempo, 22-28 Oktober 2012).
Selain membuat anggaran rutin terus meningkat, aspek pelayanan sebagai
cermin kinerja birokrasi tersisih oleh kegiatan teknis administratif.
Keempat, koeksistensi
pusat-daerah longgar. Disharmoni, tumpang-tindih aturan dan perda
bermasalah masih mengemuka di tengah stagnasi penyerasian perundangan
pusat-daerah. Selain membuka celah kerawanan, kondisi ini juga berpotensi
menebar benih konflik dan melanggengkan kepentingan egosektoral.
Mentalitas Penguasa
Hulu semua masalah ini adalah
masih melekatnya mindset birokrasi pusat dan daerah sebagai provider,
bukan enabler, pangreh praja bukan pamong praja. Mentalitas penguasa,
pemegang otoritas, kuat bercokol ketika zaman dan aspirasi rakyat
menuntut transformasi radikal setelah lama terbelenggu rezim otoritarian.
Induksi nilai-nilai tata kelola yang baik, seperti pakta integritas,
transparansi, dan akuntabilitas, terganjal karakter pemerintahan business
as usual yang gagap merespons amanat perubahan.
Desa juga terus jadi obyek.
Ekses penyeragaman struktur dan perangkat desa sejak Orba membuat tokoh
informal tergusur, kearifan lokal pudar, komunitas tercerabut, dan
apatisme meluas. Tergerusnya peran tetua adat dan tokoh masyarakat
menyebabkan konflik horizontal kerap timbul dan sumber pembentukan
kepemimpinan otentik di akar rumput menipis.
Perkembangan otonomi sejauh ini
menunjukkan lemahnya kontrol. Salah satu sebabnya: Dewan Perwakilan
Daerah, representasi suara rakyat di daerah, dibuat tumpul, tak memiliki
kewenangan dan kemampuan membuat kebijakan. Sistem parlemen bikameral
hanya indah di atas kertas, tetapi tak membawa manfaat. Akibatnya,
mekanisme check and balance tidak berjalan. Keterwakilan aspirasi rakyat
diserahkan sepenuhnya ke partai politik yang terjebak praktik transaksi,
oligarki, dan monarki.
Semua elemen demokrasi mestinya
terpanggil untuk mengubah keadaan. RUU Desa yang sedang digodok DPR dan
pemerintah perlu dikawal agar khazanah kekayaan lokal tidak terus-menerus
menjadi obyek politik. Amandemen UU No 27/2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan
DPRD harus jadi agenda bersama. Meskipun perubahan legalistik mendesak
dan penting, landasan yang dibangun hendaknya memastikan berimpitnya
tujuan nasional dan daerah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar