Diakui
atau tidak, antusiasme rakyat Indonesia dalam mengikuti perkembangan
naiknya harga bawang dapat dijadikan sebagai salah satu indikator kalau
rakyat Indonesia saat ini tergelitik rasa nasionalismenya.
Betapa tidak, ketika semua media di negeri ini disibukkan dengan berita
hiruk- pikuk politik dan korupsi, seketika itu pula berita tentang bawang
menyeruduk dan membetot perhatian publik. Ada apa sesungguhnya dengan fenomena
bawang hingga menyentuh na sionalisme kita? Bangsa ini disebut bangsa
agraris, tetapi rakyat termiskin adalah petani. Negara ini disebut negara
maritim, tetapi rakyat tertinggal adalah para nelayan. Apa yang perlu
diperbaiki?
Semoga
saja kita tidak buru-buru mengambil kesimpulan yang salah. Bung
Karno pernah bilang, "Pangan adalah
urusan hidup-mati bangsa." Jika pangan dikuasai negara lain,
sama saja menggadaikan nasib bangsa. Sebagai basis kehidupan dan
ketahanan bangsa, kedaulatan pangan menjadi harga mati. Oleh karena itu, liberalisasi sektor pertanian harus dikontrol.
Dalam
kasus bawang, sampai dengan saat ini rakyat belum mengetahui secara pasti
tentang bagaimana sesungguhnya pemetaan antara suplai dan permintaan
bawang di negeri ini. Yang dirasakan oleh rakyat hanya adanya fenomena
harga naik, sehingga berpengaruh terhadap perilaku kehidupan bangsa ini.
Yang terbaca di media, rasanya tidak ada isu kelangkaan pasokan impor.
Yang ada, harga bawang di dalam negeri naik di pasar manapun. Ini
berarti, pemerintah harus jujur menyampaikan peta suplai dan permintaan
yang sesungguhnya terhadap bawang serta segera membuat kebijakan yang
lebih jujur dan transparan.
Harapannya,
sinyalemen bahwa harga bawang naik karena tata niaga di dalam negeri yang
kurang transparan dapat diminimalisasi. Para pedagang besar dan tengkulak
tidak boleh lagi `bermain' melakukan aksi ambil untung. Jangan sampai,
pasar bawang di dalam negeri bersifat oligopoli dan cenderung dikuasai
kartel.
Dugaan
bahwa banyak pihak yang ingin memancing di air keruh dan melakukan aksi
ambil untung di atas penderitaan rakyat harus secara tegas hilang dari
negeri ini. Harus diluruskan pula bahwa bukan masalah tata niaga impornya
yang salah, akan tetapi yang salah dan bermasalah justru pengendalian
setelah bawang impor masuk ke gudang- gudang penimbunan di dalam negeri.
Adanya
sinyalemen terpuruknya sektor pertanian kita tak lepas dari absennya
regulasi dan kebijakan yang memihak petani, tetapi justru menguntungkan
investor kakap, harus segera dijawab oleh pemerintah. Pemerintah harus
menyiapkan kebijakan pro rakyat yang dapat memproteksi dan meningkatkan
kesejahteraan petani.
Daya
saing sektor pertanian harus digenjot agar tak tergilas dari kompetisi
global. Tanpa kemandirian dan kedaulatan pangan, masa depan bangsa sangatlah
riskan. Kalau negeri ini masih harus tetap mengimpor bawang, semestinya
tata cara pengimporan wajib dikendalikan dengan cara melakukan seleksi
ketat terhadap importir dan produk bawang impor yang akan masuk ke negeri
ini.
Kebijakan
impor bawang juga harus diikuti dengan langkah kebijakan yang dapat
memotivasi spirit petani negeri ini untuk berbudi daya, bukan sebaliknya.
Pemerintah wajib mengatur agar produk hortikultura yang masuk tidak
memukul produk pangan dalam negeri yang memberikan imbas pada kerugian
petani. Ke depan, pemerintah fokus saja menekuni tugas pokok
utamanya, yaitu mengurusi progam peningkatan produksi dan produktivitas pertanian.
Kalau keasyikan mengurus impor, akibatnya lupa mengurus produksi.
Sekalipun
sekarang negeri ini masih mengimpor bawang, tapi bukan berarti mematikan
kreativitas rakyat dan pemerintahnya untuk dapat melahirkan produksi
rempah alternatif selain bawang. Sudah saatnya untuk mengurangi total
permintaan bawang dengan mengusahakan penyedian rempah alternatif selain
bawang dalam aneka macam hidangan dan makanan kita.
Program
mengajak masyarakat untuk mengoptimalkan pemanfaatan pekarangan, seperti
Gerakan Perempuan Optimalisasi Pekarangan (GPOP) dan Kawasan Rumah Pangan
Lestari (KRPL) dapat memotivasi masyarakat untuk menanam bawang
merah dan bawang putih ataupun rempah alternatif lainnya di
pekarangannya. Hal ini dapat menjadi solusi dalam menghadapi harga bawang
yang melambung tinggi.
Jika
sudah menanam di pekarangan sendiri, ibu-ibu rumah tangga dapat menggunakannya
untuk memasak, bahkan dapat dijual jika jumlahnya berlebih, sehingga
dapat menambah penghasilan keluarga. Pemerintah harus dapat mendorong
rakyat agar mulai saat ini tidak lagi bergantung pada bawang.
Para
petani negeri ini pun harus dimotivasi agar dapat menanam pangan rempah
alternatif, sehingga kita dengan bangga dapat berkata, "Masakan dan makanan tanpa bawang
pun akan tetap sedap dan nikmat di lidah." Jika perlu, dirancang
sebuah gerakan moral secara nasional untuk memasak makanan khas Indonesia
tanpa bawang.
Gerakan
kemandirian ekonomi yang sejati adalah nasionalisme pemerintah dan
rakyatnya. Ini adalah bentuk kecintaan kepada negeri ini. Ini adalah
bentuk penghargaan kepada potensi-potensi luar biasa negeri ini. Ini
juga merupakan bentuk kepeduliaan pada masa depan negeri ini. Selemah-lemahnya
nasionalisme adalah gerakan kemandirian yang dimulai dari meja makan.
Mengonsumsi
produk pangan dalam negeri berarti melepas ketergantungan impor. Langkah
ini sekaligus memperkuat ekonomi domestik, memberdayakan komunitas lokal,
menciptakan lapangan pekerjaan, melindungi produsen dari serbuan asing,
sekaligus meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Pada
kesempatan ini juga, saya mengajak kepada pers/media sebagai salah satu
pilar bangsa agar turut bertanggung jawab memotivasi pemerintah dan
mengedukasi rakyat agar dapat memperkuat ketahanan pangan negeri ini dengan
mengungkap kisah-kisah inspiratif para petani yang secara gigih
memperjuangkan nasionalismenya melalui komoditias yang ditanamnya. Nasionalisme bawang dari meja makan bisa kita mulai dari sekarang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar