Dalam rancangan perbaikan UU
Pemerintahan Daerah usulan pemerintah disebutkan bahwa jabatan gubernur
kepala pemerintah provinsi dipilih DPRD provinsi.
Dulu gubernur pernah dipilih DPRD
saat pelaksanaan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999. Karena ada politik
uang yang diterima anggota Dewan dari calon, pemilihan diminta diubah
dengan pemilihan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
Gubernur dipilih berpasangan dengan wakilnya, diusulkan oleh partai
politik atau gabungan partai politik (Pasal 56 Ayat 1 dan 2 Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004).
Sekarang, setelah dipilih secara
langsung oleh rakyat, minta dikembalikan lagi dipilih DPRD provinsi.
Alasannya juga sama: politik uang dan mengeluarkan biaya tinggi.
Diusulkan pula, yang dipilih hanya calon gubernur. Wakilnya diangkat dari
pegawai negeri yang dipilih oleh gubernur terpilih. Usul ini ditolak
banyak wakil parpol di Komisi II DPR (Kompas, 2/3).
Jika munculnya pilihan jabatan
politik gubernur karena biaya tinggi, tampaknya alasan pemerintah kurang
didukung pemikiran yang agak rasional. Biaya tinggi itu ekses, bukan
masalah pokok dalam pemilihan langsung. Biaya tinggi itu seharusnya
mengarah pada revisi ketentuan biaya pemilu, bukan merevisi pemilihan
jabatan politik.
Jabatan Politik
Pada awal kemerdekaan, saat
panitia kecil yang diketuai Otto Iskandar Dinata dipersilakan memberikan
laporan kerja tim kecilnya oleh Bung Karno sebagai Ketua Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia pada 19 Agustus 1945, dilaporkan jabatan
gubernur diusulkan dan ditetapkan Presiden. Pulau Jawa ada tiga
provinsi—Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat—masing-masing dipimpin
seorang gubernur atau mangkubumi. Sumatera, satu provinsi (gubernur Mr Teuku
Moh Hasan), berkedudukan di Medan dengan tiga wakil: Sumatera Utara di
Medan, Sumatera Barat di Bukittingi, dan Sumatera Selatan di Palembang.
Di Sulawesi, satu provinsi, diangkat Sam Ratulangi sebagai gubernur. Di
Maluku diangkat Gubernur J Latuharhary. Di Borneo, satu provinsi, dengan
Gubernur Ir Pangeran Moh Noer, dan seterusnya.
Dahulu pertimbangan politiknya
sangat sederhana: mengapa gubernur diangkat oleh Presiden sebagai kepala
negara dan kepala pemerintah. Selain belum ada partai politik, juga belum
bisa diselenggarakan pemilihan umum. Ketika tahun 1955 pemerintah sudah
bisa menyelenggarakan pemilu, diikuti partai-partai politik, dan ada
lembaga Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, maka jabatan politik gubernur dan
bupati dipilih lembaga dewan.
Di Amerika Serikat, jabatan
gubernur adalah kepala eksekutif yang dipilih secara langsung oleh rakyat
untuk masa jabatan empat tahun. Jabatan gubernur paralel dengan jabatan
presiden. Bagi negara-negara bagian yang besar, jabatan ini dijadikan
batu loncatan untuk menjadi presiden, seperti Presiden Woodrow Wilson,
Franklin D Roosevelt, Ronald Reagan, Jimmy Carter, dan William J Clinton.
Mereka itu ada yang mencalonkan jadi presiden saat masih menjabat, ada
juga yang sudah selesai menjabat. Sekarang calon presiden AS bukan hanya
dari gubernur, melainkan para senator pun bisa mencalonkan menjadi
presiden, seperti Barack Obama.
Mereka dipilih rakyat melalui
pemilihan umum dari calon yang diusulkan partai politik. Gubernur dan
pejabat politik lainnya, seperti presiden, anggota Senat dan Kongres yang
habis masa jabatannya, dipilih pada hari Selasa pertama bulan November
pada tahun pemilihan umum. Di AS tak ada wakil gubernur yang dipilih.
Di negara-negara Commonwealth
yang diatur pemerintah Kerajaan Inggris Raya, negara-negara bekas
jajahannya yang sudah merdeka—seperti Australia, Jamaika, Malta, Sierra
Leone, Selandia Baru, Barbados, Kanada, Trinidad-Tobago—ada jabatan
gubernur jenderal diangkat oleh dan mewakili Ratu Inggris. Jabatan ini
tidak dipilih.
Dahulu pemerintah kolonial
Belanda mengangkat gubernur jenderal di negara jajahannya Indonesia untuk
mewakili pemerintah kerajaan, Ratu Belanda. Jabatan seperti ini bukan
tergolong jabatan politik yang dipilih dan mewakili partai politik.
Dalam perspektif modernisasi dan
sistem pemerintahan yang demokratis, kehadiran partai politik dan
pemilihan umum tidak bisa dihindari. Negara kita tergolong dalam sistem
pemerintahan modern yang demokratis, dan kita pun pernah mengangkat
gubernur bukan dari wakil partai politik dan dilakukan oleh Presiden
sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Kita juga pernah punya
pemerintahan yang sistem kepartaiannya tidak mampu mengontrol birokrasi
pemerintah yang sentralistik sehingga tidak ada jabatan politik dan
pemilihan: semua dipilih dan ditunjuk oleh Presiden.
Akankah kita kembali menata
sistem pemilihan gubernur yang sudah jauh melangkah ke demokrasi langsung
dan kembali seperti zaman persiapan kemerdekaan dahulu atau zaman
pemerintahan Orde Baru? Secara tersurat dan tersirat keinginan itu kambuh
lagi dalam usulan revisi UU Pemerintahan Daerah. Jika gubernur dipilih
DPRD provinsi, sedangkan bupati dan wali kota dipilih langsung rakyat,
diperkirakan bobot kewibawaan gubernur di hadapan para bupati dan wali
kota semakin merosot. Sekarang saja kartu nama bupati dan wali kota
banyak yang tidak menyebutkan provinsi di mana kabupaten dan kota itu
berada.
Perubahan Sistem Politik
Sejak masuk era reformasi tahun
1998, terjadi perubahan sistem politik di negeri ini. Jumlah partai
politik semakin bertambah. Untuk Pemilu 2014 telah ditetapkan oleh KPU
ada 11 partai yang bersaing. Semua punya hak sama untuk dipilih sebagai
calon presiden, gubernur, bupati, dan wali kota, satu paket bersama
wakilnya. Jabatan politik ini sangat berbeda dengan jabatan karier
pegawai negeri. Dan, kita pun sudah menata sistem yang baik bagi jabatan
politik dan wakilnya dalam satu paket.
Keduanya adalah paket jabatan
politik, jangan lalu dicoba untuk dikombinasikan antara jabatan politik
dan wakilnya dari pegawai negeri. Kedua jabatan ini berbeda watak, sifat,
dan sistemnya. Oleh karena itu, jangan lagi diulang percobaan (trial and error) dengan
mengombinasikan pejabat politik gubernur dengan mengangkat wakil dari
pegawai negeri. Para wakil dari pegawai negeri ini tidak bisa mewakili
pejabat politik di institusi politik. Kombinasi jabatan politik dengan
jabatan karier seperti itu dalam sistem politik modern dinamakan anomali
politik, ibarat mencampur minyak dengan air.
Perubahan sistem politik yang
terjadi di negara demokrasi ini mestinya kita kembangkan untuk lebih maju
dan lebih prospektif, bukan kembali ke masa lalu. Biaya tinggi dalam
pemilu inilah yang harus diwaspadai, yakni dengan menetapkan dan merevisi
ketentuan biaya yang dipergunakan dalam pemilihan umum dan pemilu kepala
daerah.
Dengan demikian, yang harus
direvisi atau diubah adalah sistem pembiayaan pemilu, bukan sistem
pemilihan kepala daerahnya. Mengingat sistem demokrasi kita telah
melangkah maju ke depan, bukan menapak surut ke belakang, perlu
direnungkan secara jernih jabatan gubernur dipilih oleh siapa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar