Sejak tahun 1993, PBB telah menetapkan tanggal 22
Maret sebagai World Water Day atau Hari Air Sedunia (HAS). Tagline
peringatan HAS sedunia tahun 2013 kali ini adalah: “Water Cooperation:
Save Water of Life” (Kerja Sama Air: Menyelamatkan Air untuk Kehidupan).
Namun, ironisnya, jika kita selisik fakta lapangan,
sesungguhnya tak ada “kerja sama” terkait air untuk kehidupan. Yang ada,
air—sebagai sumber kehidupan bersama—telah menjadi komoditas eksploitasi
sektor swasta; menjadi ajang bisnis yang merugikan rakyat dan negara.
Pasalnya, sejak proyek privatisasi air digulirkan di
era pemerintahan Margaret Thatcher, di Inggris, tahun 1989, privatisasi
air terus menyeruak ke seluruh penjuru bumi. Ide dasarnya, privatisasi
air merupakan respons atas tata kelola pemerintah yang buruk, korup, dan
tidak transparan atas tata kelola air sebagai sumber daya tak terbarukan
(unrewenable).
Sementara itu, basis organik penyebaran ide
privatisasi dan komersialisasi air adalah World Water Forum; sebuah forum
lobi yang diinisiasi bisnis-bisnis raksasa dan lembaga keuangan
internasional, seperti Global Water Partnership dan Bank Dunia.
Namun, studi Vandana Shiva (Water Wars:
Privatization, Pollution and Profit, 2002), menunjukkan, privatisasi air
ternyata telah menimbulkan bencana bagi orang miskin. Keterbatasan akses
orang miskin atas air menjadi isu panas di tingkat global dan memicu
konflik berlarut antara rakyat, negara, dan swasta.
Nalar Privatisasi
Nalar privatisasi air berangkat dari
logika water right, yang bersumber dari tradisi hukum kepemilikan
(property right). Logika ini mengakui hak kepemilikan manusia atas tanah
(right of land) dan air (right of water) yang bisa dimonopoli dan dapat
dipertukarkan (tradable).
Studi Shiva (2002) menegaskan, logika
privatisasi dan komersialisasi air bersumber dari gagasan air sebagai
komoditas yang dapat dipertukarkan dan diperjualbelikan.
Dalam Not For Sale: Decommodifying Public Life
(2006), Dennis Soron dan Gordon Longgar mendefinisikan, komodifikasi
adalah transformasi status dari barang milik bersama (yang penggunaannya
ditentukan oleh keputusan demokratis serta hak-hak publik), menjadi
barang yang bisa dimiliki perorangan atau kelompok (sektor swasta), yang
dapat digunakan secara bebas, bersifat privat, dan berorientasi profit.
Sejak 1998, 208 negara di dunia telah mengalami
kesulitan air. Angka ini diperkirakan merangkak naik menjadi 264 negara
pada 2025. Pada 2025, jumlah penduduk dunia yang kesulitan mendapatkan
air bersih diperkirakan mencapai 2,3 miliar orang.
Jumlah ini seiring dengan pertumbuhan penduduk yang
begitu pesat di hampir semua negara. Implikasinya, di banyak negeri
miskin wabah penyakit mematikan menjadi masalah serius. Di negeri-negeri
miskin, tiap tahun, tak kurang dari 2,2 juta orang mati karena diare, 1,1
juta karena malaria, 17.000 akibat penyakit cacingan, dan 15.000 akibat demam
berdarah.
Majalah Fortune, edisi Mei 2000 merilis, pada
abad ke-21 air tampaknya akan menggantikan peran yang dimainkan minyak
bumi pada abad ke-20, yakni menjadi komoditas bernilai tinggi yang
menentukan kesejahteraan hidup sebuah bangsa.
Problem krisis air tak cuma dihadapi Indonesia, namun
juga banyak negara miskin dan berkembang lainnya. Saat ini, setidaknya 80
persen atau sekitar 168 juta penduduk Indonesia belum memperoleh akses
yang layak atas air bersih. Sekitar 300 PDAM nasional yang diberikan hak
mengelola air bersih bagi publik dianggap tak mampu mengelola usaha
secara efisien dan menguntungkan akibat tata kelola dan administrasi yang
buruk.
Kendati hampir seluruh PDAM menerapkan pola
pengelolaan air secara komersial, namun akibat manajemen yang buruk dan
korup, PDAM mengaku terus merugi. Bahkan, sejak 2001 beberapa PDAM mulai
menghentikan pengembangan saluran pipa ke sejumlah daerah yang sebenarnya
sangat membutuhkan layanan air bersih.
Atas dasar kondisi itu, Bank Dunia menawarkan
kebijakan pengelolaan sumber daya air dengan total pinjaman (utang)
mencapai US$ 500 juta (sekitar Rp 4,5 triliun). Tawaran kucuran pinjaman
Bank Dunia sejalan dengan niat pemerintah Indonesia yang membutuhkan
reformasi dalam pengelolaan sumber daya air.
Berdasarkan kesepakatan itu, pada 1998 pemerintah
Indonesia meluncurkan program restrukturisasi sektor air berlabel “Water
Resources Sector Adjusment Loan” (Watsal). Di balik program
restrukturisasi (baca: pinjaman) itu, Bank Dunia meminta syarat agar
pemerintah Indonesia menyiapkan regulasi tata kelola dan sumber daya air
(Undang-Undang Sumber Daya Air No 7/2004) sebagai bagian dari syarat
pinjaman program Watsal (tahap pertama) senilai US$ 300 juta.
Di sisi lain, Bank Pembangunan Asia (ADB) kabarnya
juga memberi pinjaman bagi Indonesia senilai US$ 88 juta bagi proyek
irigasi, US$ 81,19 juta bagi layanan air bersih, dan US$ 5,1 juta untuk
proyek pengelolaan investasi Bendungan Citarum, serta program Manajemen
Sumber Daya Air Citarum Terpadu (Integrated Citarum Water Resources
Management Program) dari Asian Development Fund senilai US$ 30 juta.
Menurut catatan Koalisi Rakyat untuk Hak atas Air
(Kruha), jumlah utang berjalan Indonesia di sektor perairan kepada ADB
sebesar US$ 804,69 juta, dengan rincian nilai proyek yang sudah berjalan
US$ 114,69 juta, dan nilai proyek yang sedang dalam proses persetujuan
sebesar US$ 690 juta. Jumlah utang berjalan Indonesia di sektor air
kepada Bank Dunia adalah US$ 762,51 juta.
Menabrak Konstitusi
Privatisasi dan komersialisasi air yang bersumber
dari nalar hukum liberal jelas bertentangan dengan amanat Pasal 33 UUD
1945 Ayat 2: "Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan
yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara"; dan
Ayat 3: "Bumi, air, dan segala kekayaan yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat."
UUSDA No 7/2004 yang mengadopsi spirit privatisasi
dan komersialisasi praktis telah menggusur kedaulatan negara atas sumber
daya strategis. Negara kini berfungsi sebatas regulator yang wajib
menyerahkan pengelolaan air kepada swasta dan modal global.
Padahal, ada banyak bukti di dunia, privatisasi dan
komersialisasi air justru menambah beban rakyat dan pemerintah. Di
Casablanca, Maroko, sejak proyek privatisasi air digulirkan harga air
melonjak tiga kali lipat. Di Johanesburg, Afrika Selatan, pengelolaan air
oleh Lyonnaise des Eaux (korporasi global milik Prancis) membuat konsumsi
publik atas air menjadi tidak sehat, tidak bisa diakses semua orang, dan
harga jualnya terus melangit.
Di Ghana, kebijakan IMF dan Bank Dunia telah
mendorong warga miskin mengeluarkan 50 persen dari pendapatannya untuk
membeli air. Di Subic Bay, Filipina, sejak Manila menyetujui
proposal privatisasi air dari ADB, harga air meningkat 400 persen; di
Prancis harga air melonjak 150 persen; dan di Inggris harga air merangkak
hingga 450 persen.
Sektor swasta dan korporasi global praktis telah
mengamputasi kedaulatan negara atas air. Minimalisasi peran negara
sebatas pengawas (regulator) telah berdampak pada ketidakmampuan negara
memberi perlindungan bagi warganya, terutama kelompok miskin dan rentan,
dalam mendapatkan hak dan akses atas air yang sehat dan terjangkau.
Praktik privatisasi dan komersialisasi yang
diusung rezim kapitalisme global, kini tak cuma mengincar minyak bumi,
gas alam, batu bara, dan sumber-sumber energi fosil lainnya, namun juga
telah mendaulat air sebagai komoditas penting abad 21 yang marketable dan
profitable untuk “diperdagangkan” melalui skema privatisasi dan
liberalisasi.
Kalau sudah begini, di mana kedaulatan negara dan hak
rakyat, jika semua sektor yang menguasai hajat hidup orang banyak—seperti
air, lingkungan, energi, dan pangan—telah dikuasai seluruhnya oleh para
kartel, sektor swasta, dan modal global? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar