Sabtu, 23 Maret 2013

Menggugat Nalar Privatisasi Air


Menggugat Nalar Privatisasi Air
Launa  ;  Dosen FISIP Universitas Satya Negara Indonesia
SINAR HARAPAN, 23 Maret 2013
  

Sejak tahun 1993, PBB telah menetapkan tanggal 22 Maret sebagai World Water Day atau Hari Air Sedunia (HAS). Tagline peringatan HAS sedunia tahun 2013 kali ini adalah: “Water Cooperation: Save Water of Life” (Kerja Sama Air: Menyelamatkan Air untuk Kehidupan).

Namun, ironisnya, jika kita selisik fakta lapangan, sesungguhnya tak ada “kerja sama” terkait air untuk kehidupan. Yang ada, air—sebagai sumber kehidupan bersama—telah menjadi komoditas eksploitasi sektor swasta; menjadi ajang bisnis yang merugikan rakyat dan negara.

Pasalnya, sejak proyek privatisasi air digulirkan di era pemerintahan Margaret Thatcher, di Inggris, tahun 1989, privatisasi air terus menyeruak ke seluruh penjuru bumi. Ide dasarnya, privatisasi air merupakan respons atas tata kelola pemerintah yang buruk, korup, dan tidak transparan atas tata kelola air sebagai sumber daya tak terbarukan (unrewenable).

Sementara itu, basis organik penyebaran ide privatisasi dan komersialisasi air adalah World Water Forum; sebuah forum lobi yang diinisiasi bisnis-bisnis raksasa dan lembaga keuangan internasional, seperti Global Water Partnership dan Bank Dunia.

Namun, studi Vandana Shiva (Water Wars: Privatization, Pollution and Profit, 2002), menunjukkan, privatisasi air ternyata telah menimbulkan bencana bagi orang miskin. Keterbatasan akses orang miskin atas air menjadi isu panas di tingkat global dan memicu konflik berlarut antara rakyat, negara, dan swasta.

Nalar Privatisasi

Nalar privatisasi air berangkat dari logika water right, yang bersumber dari tradisi hukum kepemilikan (property right). Logika ini mengakui hak kepemilikan manusia atas tanah (right of land) dan air (right of water) yang bisa dimonopoli dan dapat dipertukarkan (tradable).

Studi Shiva (2002) menegaskan, logika privatisasi dan komersialisasi air bersumber dari gagasan air sebagai komoditas yang dapat dipertukarkan dan diperjualbelikan.

Dalam Not For Sale: Decommodifying Public Life (2006), Dennis Soron dan Gordon Longgar mendefinisikan, komodifikasi adalah transformasi status dari barang milik bersama (yang penggunaannya ditentukan oleh keputusan demokratis serta hak-hak publik), menjadi barang yang bisa dimiliki perorangan atau kelompok (sektor swasta), yang dapat digunakan secara bebas, bersifat privat, dan berorientasi profit.

Sejak 1998, 208 negara di dunia telah mengalami kesulitan air. Angka ini diperkirakan merangkak naik menjadi 264 negara pada 2025. Pada 2025, jumlah penduduk dunia yang kesulitan mendapatkan air bersih diperkirakan mencapai 2,3 miliar orang.

Jumlah ini seiring dengan pertumbuhan penduduk yang begitu pesat di hampir semua negara. Implikasinya, di banyak negeri miskin wabah penyakit mematikan menjadi masalah serius. Di negeri-negeri miskin, tiap tahun, tak kurang dari 2,2 juta orang mati karena diare, 1,1 juta karena malaria, 17.000 akibat penyakit cacingan, dan 15.000 akibat demam berdarah.

Majalah Fortune, edisi Mei 2000 merilis, pada abad ke-21 air tampaknya akan menggantikan peran yang dimainkan minyak bumi pada abad ke-20, yakni menjadi komoditas bernilai tinggi yang menentukan kesejahteraan hidup sebuah bangsa.

Problem krisis air tak cuma dihadapi Indonesia, namun juga banyak negara miskin dan berkembang lainnya. Saat ini, setidaknya 80 persen atau sekitar 168 juta penduduk Indonesia belum memperoleh akses yang layak atas air bersih. Sekitar 300 PDAM nasional yang diberikan hak mengelola air bersih bagi publik dianggap tak mampu mengelola usaha secara efisien dan menguntungkan akibat tata kelola dan administrasi yang buruk.

Kendati hampir seluruh PDAM menerapkan pola pengelolaan air secara komersial, namun akibat manajemen yang buruk dan korup, PDAM mengaku terus merugi. Bahkan, sejak 2001 beberapa PDAM mulai menghentikan pengembangan saluran pipa ke sejumlah daerah yang sebenarnya sangat membutuhkan layanan air bersih.

Atas dasar kondisi itu, Bank Dunia menawarkan kebijakan pengelolaan sumber daya air dengan total pinjaman (utang) mencapai US$ 500 juta (sekitar Rp 4,5 triliun). Tawaran kucuran pinjaman Bank Dunia sejalan dengan niat pemerintah Indonesia yang membutuhkan reformasi dalam pengelolaan sumber daya air.

Berdasarkan kesepakatan itu, pada 1998 pemerintah Indonesia meluncurkan program restrukturisasi sektor air berlabel “Water Resources Sector Adjusment Loan” (Watsal). Di balik program restrukturisasi (baca: pinjaman) itu, Bank Dunia meminta syarat agar pemerintah Indonesia menyiapkan regulasi tata kelola dan sumber daya air (Undang-Undang Sumber Daya Air No 7/2004) sebagai bagian dari syarat pinjaman program Watsal (tahap pertama) senilai US$ 300 juta.

Di sisi lain, Bank Pembangunan Asia (ADB) kabarnya juga memberi pinjaman bagi Indonesia senilai US$ 88 juta bagi proyek irigasi, US$ 81,19 juta bagi layanan air bersih, dan US$ 5,1 juta untuk proyek pengelolaan investasi Bendungan Citarum, serta program Manajemen Sumber Daya Air Citarum Terpadu (Integrated Citarum Water Resources Management Program) dari Asian Development Fund senilai US$ 30 juta.

Menurut catatan Koalisi Rakyat untuk Hak atas Air (Kruha), jumlah utang berjalan Indonesia di sektor perairan kepada ADB sebesar US$ 804,69 juta, dengan rincian nilai proyek yang sudah berjalan US$ 114,69 juta, dan nilai proyek yang sedang dalam proses persetujuan sebesar US$ 690 juta. Jumlah utang berjalan Indonesia di sektor air kepada Bank Dunia adalah US$ 762,51 juta.

Menabrak Konstitusi

Privatisasi dan komersialisasi air yang bersumber dari nalar hukum liberal jelas bertentangan dengan amanat Pasal 33 UUD 1945 Ayat 2: "Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara"; dan Ayat 3: "Bumi, air, dan segala kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat."

UUSDA No 7/2004 yang mengadopsi spirit privatisasi dan komersialisasi praktis telah menggusur kedaulatan negara atas sumber daya strategis. Negara kini berfungsi sebatas regulator yang wajib menyerahkan pengelolaan air kepada swasta dan modal global.

Padahal, ada banyak bukti di dunia, privatisasi dan komersialisasi air justru menambah beban rakyat dan pemerintah. Di Casablanca, Maroko, sejak proyek privatisasi air digulirkan harga air melonjak tiga kali lipat. Di Johanesburg, Afrika Selatan, pengelolaan air oleh Lyonnaise des Eaux (korporasi global milik Prancis) membuat konsumsi publik atas air menjadi tidak sehat, tidak bisa diakses semua orang, dan harga jualnya terus melangit.

Di Ghana, kebijakan IMF dan Bank Dunia telah mendorong warga miskin mengeluarkan 50 persen dari pendapatannya untuk membeli air. Di Subic Bay, Filipina, sejak Manila menyetujui proposal privatisasi air dari ADB, harga air meningkat 400 persen; di Prancis harga air melonjak 150 persen; dan di Inggris harga air merangkak hingga 450 persen.

Sektor swasta dan korporasi global praktis telah mengamputasi kedaulatan negara atas air. Minimalisasi peran negara sebatas pengawas (regulator) telah berdampak pada ketidakmampuan negara memberi perlindungan bagi warganya, terutama kelompok miskin dan rentan, dalam mendapatkan hak dan akses atas air yang sehat dan terjangkau.

Praktik privatisasi dan komersialisasi yang diusung rezim kapitalisme global, kini tak cuma mengincar minyak bumi, gas alam, batu bara, dan sumber-sumber energi fosil lainnya, namun juga telah mendaulat air sebagai komoditas penting abad 21 yang marketable dan profitable untuk “diperdagangkan”  melalui skema privatisasi dan liberalisasi.

Kalau sudah begini, di mana kedaulatan negara dan hak rakyat, jika semua sektor yang menguasai hajat hidup orang banyak—seperti air, lingkungan, energi, dan pangan—telah dikuasai seluruhnya oleh para kartel, sektor swasta, dan modal global? ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar