Sabtu, 23 Maret 2013

Mendengar Suara Dokter


Mendengar Suara Dokter
Olivia Listiowati Prawoto  ;  Lulusan terbaik
Program Studi Pendidikan Dokter Universitas Airlangga
JAWA POS, 23 Maret 2013

  
PROFESI dokter selalu disorot. Selain berita positif, sering ada berita-berita mengenai ketidakbecusan dokter dalam menangani pasien, pasien yang melapor karena menjadi korban ''malapraktik'', rumah sakit yang dikatakan menolak pasien, dan pada akhirnya akan ditarik kesimpulan pukul rata: orang miskin tak boleh sakit. Jadi, bagaimanakah sebenarnya perjalanan seseorang hingga dapat menjadi penyembuh yang tidak boleh salah itu?

Adalah sebuah kebanggaan menjadi mahasiswa fakultas kedokteran (FK) yang terpandang dan untuk masuk harus menyisihkan ribuan pendaftar. Apakah benar masuk selalu mahal sehingga ditebus dengan menarik biaya tinggi ke pasien setelah lulus? Tidak sepenuhnya benar. Mahasiswa FK Universitas Airlangga angkatan 2010 yang lulus lewat jalur SNM PTN cukup membayar uang masuk Rp 1.032.500 dan SPP Rp 1.250.000 setiap semester. 

Selepas euforia diterima di FK, mulailah seorang mahasiswa kedokteran mempelajari ilmu-ilmu dasar sebagai landasan mempelajari penyakit dan pengobatan. Begitu banyak yang harus dilalui, mulai menahan bau formalin saat praktikum pembedahan cadaver (mayat), merelakan diri untuk saling berlatih mengambil dan memeriksa darah, urine (kencing), serta feces (kotoran manusia), dan kewajiban mengerti buku kedokteran yang tebalnya ribuan halaman. Para dosen, dokter, dan profesor yang rela meluangkan waktu serta tenaga untuk mengajar mahasiswa mulai tingkat paling bawah.

Beberapa gugur, yang lain bertahan. Singkat kata, tiga setengah tahun terlewati dan luluslah dari FK. Apakah sudah selesai? Belum, perjuangan justru baru dimulai. Dengan gelar sarjana kedokteran di tangan, para calon dokter mulai bertugas di rumah sakit sebagai dokter muda (DM), atau lazim disebut co-ass. Seorang co-ass bekerja magang di rumah sakit untuk menangani pasien di bawah pengawasan dokter-dokter lain yang sudah senior sehingga tidak benar apabila dikatakan pasien menjadi kelinci percobaan. Apabila melakukan kesalahan sedikit saja, dokter muda tidak luput dari sanksi. Seorang dokter muda diwajibkan berada di rumah sakit setiap hari, tidak peduli Minggu atau hari raya, juga menjalani jadwal jaga.

Jaga di sini berarti tinggal di rumah sakit dan membantu merawat pasien di bangsal semalaman suntuk, sering tanpa tidur. Setelah itu masih dilanjutkan dengan mengikuti laporan mengenai kondisi pasien pagi-pagi benar dan bertugas lagi hingga sorenya. Boleh dikatakan hidup seorang dokter muda adalah di rumah sakit dengan jam kerja yang sangatlah panjang, apalagi seperti RSUD dr Soetomo yang menerima ribuan pasien setiap hari sebagai rujukan Indonesia Timur. 

Dokter muda itu harus dijalani dua tahun dengan tetap membayar uang kuliah. Semua itu adalah bagian dari pendidikan profesi yang harus dijalani sebelum layak menyandang gelar ''dr''. Selesai menjalani dokter muda, para calon dokter tersebut dihadapkan kepada UKDI (ujian kompetensi dokter Indonesia) yang meliputi ujian tulis dan praktik. Apabila lulus, resmilah dia menjadi seorang dokter. 

Di sinilah keprihatinan berlanjut. Dokter itu harus menjalani internship atau program penempatan ke rumah sakit tipe C dan puskesmas di kota-kota kecil selama setahun. Bukan penempatannya yang menjadi masalah. Namun, selama menjalani internship, dokter itu tidak boleh terlebih dahulu berpraktik sendiri. Mereka bekerja di rumah sakit dengan gaji yang dipukul rata, yaitu Rp 1.250.000 dan dibayarkan setiap tiga bulan (UMR buruh lebih tinggi, bukan?). Masih dengan jam kerja yang panjang dan tidak menentu ditambah tanggung jawab kepada pasien. Para dokter itu harus menanggung biaya hidup di ''kota asing''. 

Selepas internship, seorang dokter dianggap cukup mumpuni untuk berpraktik sendiri dan ada beberapa pilihan. Salah satu di antaranya, menjalani PTT di daerah-daerah terpencil atau menjalani pendidikan dokter spesialis. Meskipun ada begitu banyak daerah terpencil di seluruh Indonesia yang masih kekurangan dokter, terpilih menjadi dokter PTT tidaklah mudah dikarenakan terbatasnya kuota. Kalau memilih menjalani pendidikan spesialis, hampir seluruhnya harus dijalani tanpa gaji dengan lama pendidikan bervariasi, 3-6 tahun. Tanggung jawab dan beban kerja seorang calon spesialis juga jauh lebih berat lagi daripada seorang dokter muda atau dokter internship.

Tulisan ini bukan dimaksudkan untuk mengeluh atau ingin disanjung. Tapi, mengingatkan bahwa seorang dokter tidak dapat bekerja sendiri. Untuk menciptakan sistem kesehatan yang baik dibutuhkan juga dukungan sarana prasarana yang memadai. Janganlah dengan kapasitas rumah sakit yang terbatas semua pasien miskin boleh berobat gratis dan rumah sakit tidak boleh menolak pasien. Lalu, apabila ada yang terpaksa sekali tidak terlayani dengan maksimal, itu semata-mata menjadi kesalahan dokter dan rumah sakit.

Dokter membutuhkan rasa aman dalam bekerja dan akan sulit tercapai apabila dalam melakukan tindakan selalu dibayang-bayangi ancaman tuntutan. Kadang memang ada efek yang tidak diharapkan. Meskipun begitu, di kala para buruh berunjuk rasa menuntut kenaikan UMR, apakah pernah kita dengar para dokter protes karena gaji yang tidak memadai, pemberitaan yang tidak berimbang, atau beban kerja yang terlalu berat? 

Hargailah perjuangan para dokter yang rela bertugas di daerah terpencil sampai tertular penyakit dan menjadi korban konflik. Dengarkanlah suara para dokter di tengah gencarnya program kesehatan pemerintah. Bagaimanapun, dokter akan selalu melayani. Sebab, semuanya sudah terucap dalam sumpah di bawah Kitab Suci: ''Saya akan senantiasa mengutamakan kesehatan penderita.''
 ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar