Isu kudeta kembali muncul ke
permukaan. Isu itu justru diangkat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
dalam beberapa kesempatan saat kunjungannya ke Budapest, Hongaria, dan
dalam dialog dengan para pemimpin redaksi di Istana Merdeka, dua minggu
lalu.
Isu kudeta itu terkait dengan
rencana aksi turun ke jalan, yang digambarkan akan berlangsung
besar-besaran, pada 25 Maret mendatang, untuk menggulingkan dirinya.
Langkah antisipasi langsung
dilakukan. Presiden Yudhoyono bertemu dengan orang-orang yang kerap
digosipkan berada di balik rencana aksi turun ke jalan untuk menggulingkan
dirinya. Mulai dari sejumlah purnawirawan jenderal, tokoh organisasi
kemasyarakatan Islam, hingga Prabowo Subianto, yang pernah disebut-sebut
oleh Presiden BJ Habibie mengonsentrasikan pasukannya di beberapa tempat,
termasuk di sekitar rumah BJ Habibie sehari setelah pelantikannya sebagai
presiden, 21 Mei 1998. Prabowo sendiri setengah bercanda mengatakan, ia
memang berniat menggantikan Presiden Yudhoyono, tetapi nanti melalui
pemilihan presiden.
Presiden Yudhoyono berupaya
terlihat tenang dan tidak terpengaruh isu kudeta tersebut. Akan tetapi,
dengan mengangkatnya ke permukaan, dan mengadakan pertemuan dengan
berbagai pihak, itu menunjukkan sikap panik yang berlebihan. Seharusnya
isu seperti itu tetap dibiarkan sebagai laporan intelijen saja.
Jika merunut ke masa lalu,
terlihat jelas bahwa Presiden Yudhoyono selalu merasa gamang dengan isu
kudeta atau isu penggulingan pemerintah. Tanggal 9 Desember 2009,
menjelang aksi unjuk rasa besar-besaran untuk memperingati Hari
Antikorupsi, Presiden Yudhoyono mengatakan, ia mensinyalir adanya gerakan
yang tidak hanya gerakan moral antikorupsi, tetapi telah disusupi
motif-motif politik untuk menggulingkannya.
Pertemuannya dengan para
purnawirawan jenderal itu memiliki dua tujuan. Pertama, merangkul
orang-orang yang dianggapnya berpotensi menjadi musuhnya dan, kedua,
menggunakan kewibawaan orang-orang itu untuk meredam gerakan yang ingin
menumbangkan pemerintahan yang dipimpinnya. Luhut Panjaitan, yang
merupakan salah satu dari tujuh purnawirawan jenderal yang bertemu dengan
Presiden Yudhoyono, menggunakan kata-kata, ”Gerakan inkonstitusional ini harus dilibas.”
Isu yang menyatakan bahwa para
purnawirawan jenderal berada di belakang gerakan yang akan menggulingkan
pemerintahan yang dipimpinannya adalah pendapat yang sulit diterima. Itu
sebabnya agak aneh jika informasi seperti itu dianggap serius. Dalam
sejumlah kasus di berbagai bagian dunia, kudeta dilakukan oleh anggota
militer yang masih aktif, bukan oleh seorang pensiunan militer. Dan,
hampir semua pemimpin kudeta berpangkat kolonel karena merekalah yang
langsung memimpin pasukan. Hanya ada satu-dua kasus kudeta yang dipimpin
oleh seorang jenderal.
Itu sebabnya aneh apabila
informasi seperti itu ditanggapi secara serius. Apalagi oleh seorang
presiden yang dipilih secara langsung dan demokratis oleh rakyat dalam
dua pemilihan presiden berturut-turut.
Jika Presiden Soeharto
menganggap serius informasi tentang adanya upaya kudeta terhadap dirinya,
itu masih dapat dimengerti, mengingat ia memperoleh kedudukannya sebagai
presiden melalui kudeta, yang dalam literatur disebut dengan kudeta
merangkak.
Dengan menguasai militer
menyusul peristiwa yang dikenal dengan Gerakan 30 September (1965), Mayor
Jenderal Soeharto (saat itu) secara perlahan menggerogoti kekuasaan
Presiden Soekarno. Pada tahun 1967, ia mengambil alih kekuasaan dari
Presiden Soekarno melalui Majelis Permusyawaratan Rakyat yang sebagian
besar anggotanya adalah orang-orang yang dipilihnya. Dan, untuk
menghindarkan diri dari kemungkinan dikudeta, ia menempatkan
orang-orangnya di seluruh jabatan strategis militer dan sipil.
MKRI
Pertanyaan yang muncul adalah
siapakah yang dimaksud Presiden Yudhoyono sebagai kelompok yang
merencanakan menggulingkan pemerintah? ”Saya pikir yang dimaksudkan oleh Presiden adalah kelompok kami.
Sebab, Presiden Yudhoyono menyebutkan pertemuan di Cisarua dan rencana
aksi unjuk rasa besar-besaran pada tanggal 25 Maret mendatang. Itu jelas
kami yang dimaksud,” ujar Ratna Sarumpaet, Ketua Majelis Kedaulatan
Rakyat Indonesia (MKRI) Nasional, saat berkunjung ke Redaksi Kompas
beberapa hari lalu. Ia didampingi Sekretaris Jenderal MKRI Nasional Adhie
Massardi.
Dalam kunjungan itu, keduanya
menjelaskan mengenai agenda MKRI; yakni, pertama, melakukan aksi nasional
pada 25 Maret, serentak dan terus-menerus hingga Susilo Bambang Yudhoyono
dan Boediono mundur. Kedua, membentuk pemerintahan transisi dan, ketiga,
mengawal kerja dan kinerja pemerintahan transisi.
Ketiga agenda itu didasari
pendapat bahwa tidak akan lahir seorang pemimpin yang baik dari sistem
yang buruk dan dikendalikan oleh politik uang. Dengan mengganti
pemerintahan yang sekarang dengan pemerintahan transisi, diharapkan akan
terselenggara sistem yang baik, yang akan melahirkan pemimpin yang baik.
Pertanyaannya adalah benarkah
akan ada aksi turun ke jalan besar-besaran pada 25 Maret mendatang?
Kelihatannya, kalaupun unjuk rasa itu ada, mungkin tidak besar-besaran.
Ratna Sarumpaet dan Adhie Massardi menyatakan belum dapat memastikan hal
itu. ”Apalagi ada salah seorang
purnawirawan jenderal yang mengancam akan melibas,” kata Ratna.
Adapun mengenai bagaimana cara
membentuk pemerintah transisi dan siapa saja yang akan menjadi
anggotanya, keduanya menyatakan, MKRI belum membicarakannya.
Pertanyaannya kemudian, haruskah Presiden Yudhoyono panik? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar