Senin, 25 Maret 2013

Suap Hakim Pascaremunerasi


Suap Hakim Pascaremunerasi
Achmad Fauzi ;  Hakim Pratama Muda pada Pengadilan Agama (PA) Kotabaru, Kalsel; Penulis Buku “Pergulatan Hukum di Negeri Wani Piro”
JAWA POS, 25 Maret 2013
  

 kita tetap berlumur bercak noda. Dari najis ringan hingga berat. Peraturan yang bersifat paripurna tidak berarti ketika kultur dan etika penegak hukum dibangun di atas fondasi peradaban perut. Bunyi pemeo bahwa hakim tak boleh mengadili saat perut keroncongan telah ditafsirkan secara pragmatis dengan mencari celah mempermainkan perkara untuk memenuhi hasrat rakusnya. 

Hakim yang menerima suap adalah hakim tamak dan pengkhianat hukum. Terkutuk baginya karena keadilan diperjualbelikan di sudut-sudut kemungkaran. Demikian respons saya ketika menjawab pertanyaan masyarakat yang gerah menyaksikan sisi gelap hakim yang asyik berkubang dalam gurita rasuah. 

Kesadaran orang waras pasti tersentak ketika hakim yang menyandang gelar "Yang Mulia" ditangkap paksa karena menerima sogok. Apalagi sejak November 2012, penghargaan negara terhadap hakim lebih baik dibandingkan sebelumnya. Penghasilan hakim (remunerasi) telah ditingkatkan dengan harapan dalam memutus perkara tidak tergiur pesona duniawi. 

Tapi kenyataannya, tingkat kesejahteraan tidak sepenuhnya linier dengan pembentukan integritas menegakkan hukum di "negeri wani piro" ini. Perlu formula yang tepat untuk melakukan tobat nasional agar para hakim menginsafi diri dari perbuatan tercela. 

Adalah hakim berinisial ST yang ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di ruang kerjanya Jumat (22/3). Wakil ketua Pengadilan Negeri Bandung itu ditangkap bersama seorang swasta berinisial A karena diduga terlibat suap terkait penanganan perkara tindak pidana korupsi. KPK mengamankan barang bukti berupa uang sekitar Rp 150 juta. (Padahal, wakil ketua PN berpenghasilan resmi hampir Rp 40 juta sebulan, Red).

Terungkapnya tindakan keji dan mungkar itu berkat kerja sama KPK dan MA yang sejak lama mengintai sepak terjang hakim ST. Hakim ST adalah ketua majelis hakim yang mengadili perkara korupsi bansos Pemkot Bandung pada pertengahan Desember 2012. Tujuh terdakwa dijatuhi hukuman penjara selama satu tahun ditambah denda masing-masing Rp 50 juta subsider satu bulan penjara serta diharuskan membayarkan uang pengganti Rp 9,4 miliar yang ditanggung renteng. Sementara itu, negara harus menanggung kerugian mencapai Rp 66 miliar. Padahal, jaksa menuntut enam terdakwa dengan hukuman tiga tahun, sementara Rochman empat tahun penjara plus denda Rp 100 juta.

MA menyadari bahwa kerja sama dengan KPK sangat penting dan strategis dalam kerangka menjaga, menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Pengawasan MA terhadap hakim nakal di masa-masa yang akan datang semakin kuat karena melibatkan lembaga yang kompeten. Apalagi kewenangan penindakan MA terhadap hakim yang terbukti menerima suap terbatas pada masalah etik.

Mempermalukan Koruptor 

Di sinilah peran KPK mengusut tuntas unsur kejahatan korupsi yang melibatkan aparat peradilan. Untuk hakim-hakim yang putusannya kontradiktif dengan semangat pemberantasan korupsi, dipelajari sepak terjangnya dan diawasi gerak-geriknya. Semakin ketat pengawasan MA, ruang gerak untuk melakukan jual beli perkara semakin sempit.

Persoalan suap di pengadilan terkait erat dengan budaya malu yang mulai luntur. Hakim dengan mudah menerabas norma karena tak punya rasa malu. Ruang kerja simbol martabat jabatan dijadikan tempat transaksi haram. Kekuasaan dimanfaatkan untuk memperkaya diri. Sumpah jabatan sekadar perias bibir. 

Ada dua cara menumbuhkan kembali rasa malu (al-hayaa') bagi hakim dan aparat peradilan. Pertama, dalam melakukan pembinaan secara simultan, MA harus memberikan porsi yang besar pada aspek pembentukan akhlak. Kurikulum pendidikan dan pelatihan hakim didesain sedemikian rupa sehingga mampu mencetak hakim yang tak hanya terampil mengadili perkara, namun juga memiliki budi pekerti luhur. Pendidikan akhlak menekankan pembentukan kesadaran dan kepribadian di samping transfer ilmu dan keahlian. 

Kegagalan pendidikan hakim terletak pada kenyataan bahwa proses yang terjadi dalam pendidikan tidak lebih dari sekadar pengajaran (transfer of knowledge). Pengajaran lebih berorientasi pada pembentukan "tukang-tukang" atau para spesialis yang terkurung dalam ruang spesialisasi yang sempit (Azhari Noer, 2001). Ketika pendidikan lebih mementingkan peningkatan kemampuan akal, jasmani, dan keterampilan, namun peningkatan kualitas kalbu dinomorduakan, kerusakan akhlak hakim tak dapat dihindari. 

Krisis budaya malu yang terjadi saat ini adalah persoalan serius yang tak bisa ditanggulangi hanya melalui ceramah singkat yang diselipkan pada acara pembinaan teknis. Membentuk karakter hakim adalah proses panjang dan berkelanjutan hingga hakim benar-benar menyadari bahwa tanggung jawab profesi adalah amanah mulia yang harus ditunaikan dengan benar.

Kedua, menciptakan budaya malu dengan cara mempermalukan koruptor. Hakim yang terbukti menerima sogok jangan hanya dijerat hukuman badan dan dimiskinkan, tapi juga dibuat malu. Di Kabupaten Sleman, masyarakat punya cara tersendiri untuk menghukum pencuri salak pondoh. Maling diarak keliling kampung dengan busana minim sembari berkalung salak berbulu hasil curiannya. Sanksi moral semacam itu sangat diperlukan di zaman sekarang mengingat para pejabat di negeri ini telah kehilangan harga diri dan rasa malu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar