Suatu
malam sekitar pukul 22.00 tetangga saya mengirim pesan singkat ke istri. “Bu, sudah malam kok tumben pintu
gerbang belum ditutup, apa masih ada tamu?“ Istri saya gugup dan
bergegas keluar.
Benar, pintu
gerbang masih terbuka, dan segera dikunci. Tentu bukan kebetulan ketika
saat itu saya sedang baca buku dan terantuk pada sebuah mutiara hikmah: “Sesungguhnya di antara manusia ada
yang menjadi kunci pembuka pintu kebajikan dan menjadi penutup pintu
kejahatan. Di antara mereka ada yang menjadi kunci pintu kejahatan dan
penutup pintu kebajikan. Berbahagialah orang yang dijadikan Allah sebagai
pembuka kebajikan dan celakalah orang yang menjadi pembuka pintu
kejahatan” (HR Ibnu Majah).
Saya yakin,
tetangga itu layak dimasukkan ke dalam golongan “kunci penutup pintu
kejahatan”. Betapa tidak? Seandainya pintu gerbang terbuka sampai pagi,
tentu rawan kejahatan. Pesan singkat merupakan penutup kejahatan.
Tetangga itu kuncinya. Karena kebajikannya, rumah menjadi aman. Tidur
nyenyak. Jalinan bertetangga pun semakin akrab.
Sungguh
sayang apabila kejadian nan indah itu dibiarkan berlalu tanpa makna. Saya
terusik untuk memproyeksikannya pada masalah korupsi di negeri ini. Kita
tahu, korupsi telah merajalela. Hampir tidak ada penegak hukum yang
ditakuti oleh koruptor. Lembaga maupun person penegak hukum dilawan
secara sistematis melalui jalur intelektual dan politikus “busuk”.
Maraknya korupsi boleh jadi karena negara sedang berada pada “paradigmatic transition” (Santos, 1995).
Di tengah-tengah
dinamika ketidakseimbangan antara prinsip regulasi dan prinsip
emansipasi, hukum gagal memenuhi janji-janjinya. Dominasi sedemikian kuat
pada regulasi sebagai representasi dari modernitas hukum ternyata tidak
mampu meningkatkan emansipasi, harkat, dan martabat bangsa. Terbukti,
korupsi justru semakin marak dan masif. Realitas buruk itu pada satu
pihak menunjukkan masih kuatnya kolonialisasi penguasa danminimnya
solidaritas sosial; dan pada pihak lain menginspirasi perlunya pembalikan
keadaan demi tumbuh-kembangnya emansipasi.
Kata Santo: “to reassess the knowledge as
emancipation and grant its primacy over knowledge as regulation”.
Benar, secara politis bangsa ini sudah merdeka. Tidak ada lagi
penjajahan. Tetapi, dari dimensi ideologis menyeruaknya modernitas hukum
telah mengikis solidaritas antarsesama komponen bangsa dan mendorong
setiap orang bersikap serakah, berlomba-lomba mengumpulkan harta, tanpa
peduli terhadap nasib dan masa depan bangsa. Pada ranah pemberantasan
korupsi bahkan nyaris gagal sempurna ketika para koruptor yang diback up lawyer-nya mampu “mengotak-atik” fakta hukum dan pasal-pasal
KUHP.
Atas buruknya
kinerja modernitas hukum umumnya masyarakat kecewa berat. Berbagai saran
diagnosis telah dilontarkan para intelektual antara lain perombakan
institusi konvensional dan diikuti pembentukan institusi ad hoc seperti Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Pengadilan Tidak Pidana Korupsi
(Tipikor). Sayang, dekonstruksi kelembagaan itu tidak diikuti perubahan
paradigma penegakan hukumnya.
Institusi-institusi
hukum baru itu tetap bekerja dengan hukum modern yang tekstual,
prosedural, dan mekanistik, tanpa ada keberanian menempuh cara lain
misalnya menggunakan hukum progresif. Hal ini menunjukkan betapa
seriusnya krisis paradigma penegakan hukum di negeri ini. Inilah faktor
determinan yang memberi sumbangan signifikan kegagalan pemberantasan
korupsi. Jelas bukan berawal dari faktor hukumnya, melainkan dari
manusianya. Salahkah bila mereka disebut sebagai “kunci pembuka kejahatan (korupsi)”?
Krisis
paradigma hukum mestinya menggugah para ilmuwan untuk terus memotivasi
para penegak hukum agar berani keluar dari dominasi modernitas hukum.
Satu alasan kuat bahwa legal-modernism telah gagal mengemban tugasnya
memerangi korupsi. Hendaknya diingat bahwa lika-liku korupsi semakin
canggih, tidak mungkin diperangi dengan pola penegakan hukum
prosedural-rasional yang seolah absolut-eksak. Benar bahwa hukum
mengandung anasir kepastian dan seiring dengan itu pemberantasan korupsi
wajib dilakukan sesuai hukum berlaku.
Tetapi,
penting diingat bahwa ada anasir lain yang sering menjadi tempat
bersembunyi bagi para koruptor dari kejaran penegak hukum yakni politik.
Ini perlu diwaspadai. Jangan sampai hukum dikonfrontasikan secara
dikotomis dengan politik sehingga koruptor bebas dari jeratan hukum.
Hemat saya, pemberantasan korupsi perlu ditempatkan sebagai bagian dari
upaya penataan bangsa secara menyeluruh (Beus & Doorn, 1986).
Modernitas hukum tidak boleh diliberalisasikan, tapi perlu dikelola dalam
konteks dan bingkai (framework)
melengkapi konstruksi hukum alami berdasarkan nilai-nilai komunalistik-religius.
Bukankah
karakter hukum demikian itu telah menjadi identitas dan jati diri bangsa?
Dengan kata lain, konstruksi hukum modern yang artifisial semestinya
mengakar pada budaya, adat-istiadat dan agama di Indonesia. Itulah hukum
berparadigma Pancasila. Refleksi teologi kritis, Hassan Hanafi (1998) tentang
ummatan wahidah layak direntang maknanya sebagai solidaritas bertetangga.
Walaupun ada kaya, ada miskin, tetapi kemuliaannya bukan pada tahta atau
genggaman harta, melainkan ditentukan oleh: (1) sikap dan perilaku hukum
yang mengakar pada etika, (2) komitmen dan kesadaran kolektif terhadap
keharmonisan kehidupan, dan (3) legitimasi sosial tanpa bersoal pada
aspek legalitas.
Tetangga yang
baik adalah gudang kebajikan. Mereka adalah “kunci penutup pintu korupsi”. Mereka berbuat kebajikan
dengan ikhlas, tanpa berhitung hak dan kewajiban, tanpa melihat ada atau
tidaknya aturan hukum. Kita dapat belajar darinya tentang arti kehidupan,
bahkan tentang bernegara hukum dalam arti substansial. Wallahu’alam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar