Senin, 25 Maret 2013

Kunci Penutup Pintu Korupsi


Kunci Penutup Pintu Korupsi
Sudjito ;  Guru Besar Ilmu Hukum dan Kepala Pusat Studi Pancasila
Universitas Gadjah Mada (UGM) 
KORAN SINDO, 25 Maret 2013


Suatu malam sekitar pukul 22.00 tetangga saya mengirim pesan singkat ke istri. “Bu, sudah malam kok tumben pintu gerbang belum ditutup, apa masih ada tamu?“ Istri saya gugup dan bergegas keluar. 

Benar, pintu gerbang masih terbuka, dan segera dikunci. Tentu bukan kebetulan ketika saat itu saya sedang baca buku dan terantuk pada sebuah mutiara hikmah: “Sesungguhnya di antara manusia ada yang menjadi kunci pembuka pintu kebajikan dan menjadi penutup pintu kejahatan. Di antara mereka ada yang menjadi kunci pintu kejahatan dan penutup pintu kebajikan. Berbahagialah orang yang dijadikan Allah sebagai pembuka kebajikan dan celakalah orang yang menjadi pembuka pintu kejahatan” (HR Ibnu Majah). 

Saya yakin, tetangga itu layak dimasukkan ke dalam golongan “kunci penutup pintu kejahatan”. Betapa tidak? Seandainya pintu gerbang terbuka sampai pagi, tentu rawan kejahatan. Pesan singkat merupakan penutup kejahatan. Tetangga itu kuncinya. Karena kebajikannya, rumah menjadi aman. Tidur nyenyak. Jalinan bertetangga pun semakin akrab. 

Sungguh sayang apabila kejadian nan indah itu dibiarkan berlalu tanpa makna. Saya terusik untuk memproyeksikannya pada masalah korupsi di negeri ini. Kita tahu, korupsi telah merajalela. Hampir tidak ada penegak hukum yang ditakuti oleh koruptor. Lembaga maupun person penegak hukum dilawan secara sistematis melalui jalur intelektual dan politikus “busuk”. Maraknya korupsi boleh jadi karena negara sedang berada pada “paradigmatic transition” (Santos, 1995). 

Di tengah-tengah dinamika ketidakseimbangan antara prinsip regulasi dan prinsip emansipasi, hukum gagal memenuhi janji-janjinya. Dominasi sedemikian kuat pada regulasi sebagai representasi dari modernitas hukum ternyata tidak mampu meningkatkan emansipasi, harkat, dan martabat bangsa. Terbukti, korupsi justru semakin marak dan masif. Realitas buruk itu pada satu pihak menunjukkan masih kuatnya kolonialisasi penguasa danminimnya solidaritas sosial; dan pada pihak lain menginspirasi perlunya pembalikan keadaan demi tumbuh-kembangnya emansipasi. 

Kata Santo: “to reassess the knowledge as emancipation and grant its primacy over knowledge as regulation”. Benar, secara politis bangsa ini sudah merdeka. Tidak ada lagi penjajahan. Tetapi, dari dimensi ideologis menyeruaknya modernitas hukum telah mengikis solidaritas antarsesama komponen bangsa dan mendorong setiap orang bersikap serakah, berlomba-lomba mengumpulkan harta, tanpa peduli terhadap nasib dan masa depan bangsa. Pada ranah pemberantasan korupsi bahkan nyaris gagal sempurna ketika para koruptor yang diback up lawyer-nya mampu “mengotak-atik” fakta hukum dan pasal-pasal KUHP. 

Atas buruknya kinerja modernitas hukum umumnya masyarakat kecewa berat. Berbagai saran diagnosis telah dilontarkan para intelektual antara lain perombakan institusi konvensional dan diikuti pembentukan institusi ad hoc seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Pengadilan Tidak Pidana Korupsi (Tipikor). Sayang, dekonstruksi kelembagaan itu tidak diikuti perubahan paradigma penegakan hukumnya. 

Institusi-institusi hukum baru itu tetap bekerja dengan hukum modern yang tekstual, prosedural, dan mekanistik, tanpa ada keberanian menempuh cara lain misalnya menggunakan hukum progresif. Hal ini menunjukkan betapa seriusnya krisis paradigma penegakan hukum di negeri ini. Inilah faktor determinan yang memberi sumbangan signifikan kegagalan pemberantasan korupsi. Jelas bukan berawal dari faktor hukumnya, melainkan dari manusianya. Salahkah bila mereka disebut sebagai “kunci pembuka kejahatan (korupsi)”? 

Krisis paradigma hukum mestinya menggugah para ilmuwan untuk terus memotivasi para penegak hukum agar berani keluar dari dominasi modernitas hukum. Satu alasan kuat bahwa legal-modernism telah gagal mengemban tugasnya memerangi korupsi. Hendaknya diingat bahwa lika-liku korupsi semakin canggih, tidak mungkin diperangi dengan pola penegakan hukum prosedural-rasional yang seolah absolut-eksak. Benar bahwa hukum mengandung anasir kepastian dan seiring dengan itu pemberantasan korupsi wajib dilakukan sesuai hukum berlaku. 

Tetapi, penting diingat bahwa ada anasir lain yang sering menjadi tempat bersembunyi bagi para koruptor dari kejaran penegak hukum yakni politik. Ini perlu diwaspadai. Jangan sampai hukum dikonfrontasikan secara dikotomis dengan politik sehingga koruptor bebas dari jeratan hukum. Hemat saya, pemberantasan korupsi perlu ditempatkan sebagai bagian dari upaya penataan bangsa secara menyeluruh (Beus & Doorn, 1986). Modernitas hukum tidak boleh diliberalisasikan, tapi perlu dikelola dalam konteks dan bingkai (framework) melengkapi konstruksi hukum alami berdasarkan nilai-nilai komunalistik-religius. 

Bukankah karakter hukum demikian itu telah menjadi identitas dan jati diri bangsa? Dengan kata lain, konstruksi hukum modern yang artifisial semestinya mengakar pada budaya, adat-istiadat dan agama di Indonesia. Itulah hukum berparadigma Pancasila. Refleksi teologi kritis, Hassan Hanafi (1998) tentang ummatan wahidah layak direntang maknanya sebagai solidaritas bertetangga. Walaupun ada kaya, ada miskin, tetapi kemuliaannya bukan pada tahta atau genggaman harta, melainkan ditentukan oleh: (1) sikap dan perilaku hukum yang mengakar pada etika, (2) komitmen dan kesadaran kolektif terhadap keharmonisan kehidupan, dan (3) legitimasi sosial tanpa bersoal pada aspek legalitas. 

Tetangga yang baik adalah gudang kebajikan. Mereka adalah “kunci penutup pintu korupsi”. Mereka berbuat kebajikan dengan ikhlas, tanpa berhitung hak dan kewajiban, tanpa melihat ada atau tidaknya aturan hukum. Kita dapat belajar darinya tentang arti kehidupan, bahkan tentang bernegara hukum dalam arti substansial. Wallahu’alam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar