Sabtu, 23 Maret 2013

Kerja Sama Air antara Hulu dan Hilir


Kerja Sama Air antara Hulu dan Hilir
Fransisca Emilia  ;  Alumnus Magister Ilmu Lingkungan Universitas Diponegoro
SUARA MERDEKA, 23 Maret 2013

  
"Tentu sangat logis bila pengguna sumber daya air di hilir membayar kepada penyedia jasa lingkungan"

PERSERIKATAN Bangsa-Bangsa (PBB) mendeklarasikan tahun 2013 sebagai Tahun Kerja Sama Air Internasional melalui Resolusi A/RES/65/154 pada akhir 2010. Sejalan dengan penetapan tersebut, Hari Air Sedunia diperingati tiap tanggal 22 Maret, dan tahun ini mengambil tema yang sama, yaitu ''Kerja Sama Air''.

Air dan pengelolaannya tidak dapat dipisahkan dari daerah aliran sungai (DAS) yang merupakan satuan ekosistem yang dibatasi oleh punggung-punggung gunung. Daerah tersebut menerima dan mengumpulkan air hujan, kemudian mengalirkannya menuju satu outlet. Batas alam yang berupa punggung-punggung gunung menyebabkan air dari satu DAS tidak mengalir ke daerah aliran yang lain, 
dan seluruh permukaan daratan merupakan bagian dari DAS.

Dengan demikian, sebuah daerah aliran sungai tidak dibatasi oleh batas administratif suatu daerah, tapi oleh batas ekologis. Sebuah daerah aliran sungai kecil bisa jadi terletak hanya pada sebuah kabupaten, sebaliknya banyak daerah aliran sungai terletak pada beberapa kabupaten, provinsi, bahkan negara.

Salah satunya adalah Sungai Nil, salah satu sungai panjang yang melintasi sembilan negara, yaitu Ethiopia, Zaire, Kenya, Uganda, Tanzania, Rwanda, Burundi, Sudan, dan Mesir.
Dampaknya, daerah aliran sungai lintas batas tersebut acap memicu konflik, bahkan perang antarpengguna. Sebut saja konflik antara Mesir/ Sudan dan negara-negara yang berada di hulu Nil, antara Bangladesh dan India atas Sungai Gangga, atau antara Slovakia dan  Hongaria atas Sungai Donai.

Di Indonesia, sengketa pengelolaan sumber daya air dan DAS sering terjadi pada daerah aliran sungai lintas kabupaten atau provinsi, bahkan antarpengguna sumber daya air dalam DAS satu daerah. Contoh sengketa antara Subak Yeh Gembrong dan PDAM di Tabanan dan antara Subak Gede Eka Tani dan PDAM di Buleleng Bali.

Kemudian, perebutan sumber mata air antardesa di Garut Jabar, dan konflik pengelolaan sumber daya air untuk pariwisata antara dua desa yang merupakan perbatasan Kabupaten Semarang dengan Kabupaten Kendal. Yang masih hangat dalam ingatan kita, konflik antara Pemkot Solo dan Pemkab Klaten atas mata air Cokro Tulung.

Kerja Sama Pengelolaan

Penyebab konflik terkait pengelolaan air tersebut karena tidak ada kerja sama antarpemangku kepentingan dalam kawasan daerah aliran sungai. Tiap pihak hanya mengutamakan kepentingan masing-masing,  terutama dalam memanfaatkan sumber daya air, tanpa memedulikan jaminan keberadaan dan kualitas sumber daya itu memerlukan pengelolaan yang terpadu dari hulu.

Untuk menjamin fungsi penyerapan air hujan, idealnya daerah hulu ditutupi oleh hutan. Sebagaimana diamanatkan UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Tata Ruang, dalam satu daerah aliran sungai sedikitnya 30% wilayah berupa kawasan hutan dengan sebaran proporsional.

Kenyataannya di Indonesia, terutama di Jawa, daerah hulu sungai bukan lagi kawasan lindung yang menjadi wewenang pemerintah. Hampir tiap jengkal tanah menjadi milik pribadi sehingga lebih sulit untuk menjamin daerah tersebut tetap berupa hutan. Daerah hulu umumnya merupakan desa-desa yang jauh dari pusat pemerintahan dan kurang tersentuh pembangunan.

Tingkat kesejahteraan warga di daerah itu rendah dengan kapasitas SDM yang relatif rendah pula. Umumnya masyarakat bermata pencaharian sebagai petani. Karena desakan perekonomian dan pertambahan penduduk, sementara mereka tidak punya keterampilan lain, lahan-lahan dengan kelerengan tinggi yang semula berupa hutan rakyat dikonversi menjadi lahan pertanian tanaman pangan.

Kerusakan hutan dan lingkungan di daerah hulu menyebabkan eksternalitas negatif bagi daerah hilir. Sebaliknya, jika kelestarian daerah hulu terjaga akan menyebabkan eksternalitas positif dengan terjaganya stabilitas tata air pada seluruh bagian daerah aliran sungai. Karena itu, pengelolaan sumber daya air tidak dapat dilakukan secara parsial, harus ada kerja sama pengelolaan dari hulu ke hilir.

Para pihak yang berkepentingan harus bersama-sama menyusun program agar semua pihak memperoleh manfaat yang adil atas sumber daya air. Tentu sangat logis bila pengguna sumber daya air di hilir membayar kepada penyedia jasa lingkungan, dalam hal ini masyarakat di daerah hulu, guna menjamin kelestarian hulu DAS demi keterjagaan pasokan dan kualitas air.

Pembayaran oleh pengguna sumber daya air digunakan untuk rehabilitasi atau membiayai program yang mampu meningkatkan kesejahteraan dan keberdayaan masyarakat daerah hulu. Dengan demikian ada sinergi antara hulu dan hilir, serta semua pihak memperoleh manfaat secara adil.
Secara mudah, pembayaran yang adil bagi penyedia jasa lingkungan bisa dihitung dari banyaknya kerugian yang diderita bila daerah hulu rusak. Contohnya, ketika terjadi banjir di DKI Jakarta, kerugian mencapai Rp 32 triliun (Okezone, 30/1/13). Lain cerita bila dilakukan kerja sama antara Jakarta dan Bogor yang merupakan hulu sungai-sungai yang mengalir di Jakarta.

Jakarta membayar sepertiga saja dari kerugian tersebut untuk mendanai program-program pelestarian dan penyelamatan daerah hulu. Tentu bencana dapat dihindari dan semua pihak memperoleh manfaat yang adil atas sumber daya air. Tahun Kerja Sama Air Internasional dan Hari Air Sedunia ini merupakan saat tepat untuk membenahi pengelolaan DAS pada semua lini, sekaligus menggalang kerja sama air secara terpadu, dari hulu sampai hilir. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar