Kedua komoditas ini, jagung dan
kedelai, mendapat perlakuan kebijakan yang mirip sejak 1998, tetapi
hasilnya bertolak belakang. Produksi jagung saat ini meningkat dua kali
lipat dibandingkan produksi 1997. Namun, produksi kedelai sekarang
merosot tinggal separuh dari pencapaian produksi tertinggi 1992. Misteri
apa gerangan ini?
Keduanya termasuk pangan
strategis. Jagung merupakan bahan baku pakan ternak, feed, yang dengannya dihasilkan daging dan telur yang
merupakan sumber protein penduduk. Kedelai sebagian besar dikonsumsi
langsung dalam bentuk tempe dan tahu, food,
dan merupakan sumber protein murah bagi penduduk. Kedelai juga bahan baku
kecap, tauco, dan susu kedelai. Bungkilnya merupakan bahan baku dalam
pembuatan pakan ternak.
Kedua tanaman itu oleh nenek
moyang kita dikategorikan sebagai tanaman pala- wija. Oleh karena itu,
perhatian kita pada komoditas ini tidak seintensif pada tanam- an padi.
Jagung dan kedelai umumnya ditanam petani sebagai tanaman ”sela” di
antara musim tanam padi dan dapat pula jadi tanaman tumpang sari di
pekarangan atau tegalan. Karena itu, produksi kedua komoditas ini
cenderung fluktuatif.
Menguak Misteri
Penelusuran statistik: luas
panen jagung dari 1969 sampai 1994 berkisar 2,5 juta-3 juta hektar per
tahun, tetapi setelah itu bertahan sekitar 3,5 juta hektar per tahun.
Berbeda dengan kedelai, luas panennya semula 500.000-600.000 hektar per
tahun meningkat menjadi 1 juta-1,5 juta hektar pada 1984-1998 saat
digalakkan program pengembangan penanaman kedelai oleh pemerintah.
Selanjutnya menyusut lagi, dan sampai kini hanya sekitar 700.000-900.000
hektar per tahun. Dengan demikian, saat ini areal yang tersedia untuk
jagung hanya sekitar 3,5 juta hektar dan kedelai 800.000 hektar apabila
tidak ada usaha khusus perluasan areal tanam.
Berdasarkan penelusuran
statistik, produktivitas jagung ternyata masih kurang dari 2 ton per
hektar sampai 1988, kemudian meningkat menjadi hampir 3 ton pada 2003,
dan untuk tahun terakhir ini mendekati 4 ton per hektar. Sebaliknya,
kenaikan produktivitas kedelai sampai 1988 masih lambat: di bawah 1 ton
per hektar dan sampai kini masih sekitar 1,3 ton per hektar. Mengapa
untuk jagung kita dapat mengatrol produktivitas, sedangkan untuk kedelai
tampak kewalahan?
Kuncinya di sini. Pada jagung
dilakukan penyebaran benih hibrida, yakni hasil persilangan benih jantan
dan betina yang dipilih sifat unggulnya, tapi hanya dapat dipakai untuk
sekali tanam. Benih hibrida itu diperkenalkan pada 1980-an dan berkembang
1990-an. Setelah tahun 2000, pengembangan benih hibrida sangat intensif
oleh produsen benih swasta. Sejak 1980-an sampai kini telah dilepas benih
jagung hibrida tak kurang dari 100 varietas. Pengamatan di lapangan
menunjukkan, sebagian besar petani di sentra produksi jagung Jawa Timur
dan Jawa Tengah telah menanam jagung hibrida.
Pengembangan benih kedelai tidak
menggunakan benih hibrida seperti pada jagung. Dari 1970-an sampai kini
terdapat sekitar 60 varietas benih kedelai unggul yang dilepas. Dari
komunikasi kami dengan ahli benih, Purwantoro dari Badan Litbang
Pertanian Malang, benih kedelai sebenarnya dapat dibuat sebagai benih
hibrida, tetapi biayanya sangat mahal.
Perkembangan terakhir di
Indonesia: benih kedelai dikembangkan dengan tek- nik mutasi radiasi oleh
Batan. Potensi hasil benih kedelai yang dilepas dalam tahun terakhir
mencapai 2,5 ton-3,5 ton per hektar. Namun, angka statistik produktivitas
kedelai secara nasional baru mencapai 1,3 ton per hektar. Jauh dari
harapan.
Berbeda dengan jagung,
distribusi benih kedelai mengalami kendala: daya tumbuhnya menurun cepat
dalam penyimpanan dan saat pengangkutan. Oleh karena itu, distribusi
benih kedelai ini dilakukan dengan sistem ”jabalsim” atau jalur benih
antarlapang dan musim.
Benih kedelai itu disebarkan
hanya antardaerah penghasil kedelai. Hasil kedelai pada panen awal musim
hujan dipakai sebagai benih menjelang tanam musim kemarau. Hasilnya
dipakai lagi untuk benih awal musim hujan berikutnya. Jangkauan
distribusi benih kedelai yang terbatas dan daerah penanaman kedelai yang
tersebar dalam skala kecil menyebabkan swasta kurang tertarik dalam
bisnis benih kedelai, tidak seperti pada jagung.
Walaupun kurang mendapatkan
perhatian, di beberapa tempat petani berusaha melakukan inovasi hingga
menghasilkan kedelai dengan produktivitas tinggi. Penulis menjumpai
petani transmigran asal Lamongan di Punggaluku, Sulawesi Tenggara, pada
1980-an yang menghasilkan kedelai 2 ton per hektar. Yonathan Agranoff,
dokter pencinta tempe dari Inggris, dalam blusukannya di Grobogan, Jawa
Tengah, menjumpai petani yang menghasilkan kedelai 2,5 ton per hektar
dengan butiran besar-besar.
Statistik ekspor-impor kedua
komoditas ini juga menarik. Ternyata untuk jagung, kita pernah mengalami
surplus dengan jumlah lumayan dalam kurun 1969-1978: hampir 100.000 ton
per tahun. Setelah tanaman jagung digalakkan oleh pemerintah,
ekspor-impor jagung malah menjadi defisit dalam jumlah yang lumayan:
200.000 ton per tahun pada 1979-1998. Setelah 1998 kita terus defisit
dalam ekspor-impor jagung dalam jumlah lebih besar atau 850.000 ton per
tahun pada kurun 1999-2008, dan melonjak menjadi hampir 1,5 juta ton per
tahun pada 2009-2011.
Untuk kedelai, ekspor-impor juga
pernah surplus pada kurun 1969-1973 seki- tar 8.800 ton per tahun.
Kemudian mengalami defisit sejak 1974 sampai sekarang ini. Defisit
ekspor-impor kedelai dalam kurun 1974-1978 sebesar 80.000 ton per tahun. Kemudian
selama kedelai dikendalikan Bulog dalam kurun 1980-1997 defisit
meningkat, tetapi dapat dikendalikan paling banyak 650.000 ton setahun.
Setelah impor kedelai dibebaskan pada 1998, defisit ekspor-impor dalam
kurun 1998-2008 melonjak menjadi 1,2 juta ton per tahun dan antara
2009-2012 menjadi 1,5 juta-2 juta ton per tahun.
Penelusuran rasio harga grosir
jagung dan kedelai terhadap harga beras juga cukup menarik. Untuk jagung,
pada periode 1972-1979, rasio harga antara jagung dan beras di bawah 0,5
dan setelah dikendalikan Bulog di atas 0,5. Lalu, setelah 1998 rasionya
kembali di bawah 0,5. Rasio 0,5 artinya harga jagung 0,5 harga beras.
Adapun untuk kedelai, sebelum ditangani Bulog, rasio harga beras dan
kedelai 1,31, tetapi setelah dikendalikan Bulog pada 1980-1997 mencapai
1,47. Setelah dilepas dari Bulog rasionya turun menjadi 1,26. Bahkan,
pada 2007 rasionya hanya 0,99. Itu artinya, harga kedelai lebih murah
dibandingkan harga beras.
Perlu Penanganan Serius
Dari penelusuran angka
statistik, pengamatan lapangan, dan diskusi dengan mantan pejabat yang
menangani masalah pangan, ke depan hal ini perlu penanganan serius karena
masalahnya semakin berat dan kompleks. Pertama, setiap 10 tahun kebijakan
atau program baru mengalami kejenuhan. Pada jagung, misalnya. Setelah 10
tahun pengembangan produksinya mengandalkan benih hibrida, terdapat
kecenderungan defisit perdagangan yang melonjak. Demikian juga pada
program pengembangan kedelai yang mencapai puncak pada 1992, kemudian
terus-menerus merosot karena tak ada terobosan baru.
Kedua, belajar dari kasus kedua
komoditas palawija ini, diperlukan perluasan areal baru untuk tanaman
pangan demi mengatasi tumbuhnya permintaan pangan. Untuk itu, kita tunggu
konsep yang konkret dari para kandidat presiden tahun 2014: program apa
yang ditawarkan untuk mengatasi masalah kekurangan pangan. Membuka lahan
untuk pangan tak dapat diserahkan kepada pasar seperti pada kelapa sawit.
Ketiga, khusus untuk kedelai
saat ini, tidak cukup hanya memberikan insentif harga dengan menetapkan
harga pembelian oleh Bulog saja (Kompas, 26/2/2012). Kunci mengatasi
masalah kedelai adalah penanganan benih. Hal ini sejalan dengan pendapat
Syamsuddin Abbas, mantan pejabat tinggi Kementerian Pertanian, pada
pertemuan November 2012 yang menyarankan agar untuk kedelai perlu
diberikan subsidi benih: ada jaminan harga dan didukung paket teknologi
sesuai keadaan agroklimatnya.
Mudah-mudahan catatan ini
bermanfaat. Mari kita simak program capres yang akan datang, bagaimana
solusi yang ditawarkan terhadap masalah pangan dan lain-lain. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar