Senin, 25 Maret 2013

Misteri Jagung dan Kedelai


Misteri Jagung dan Kedelai
Sapuan Gafar  ;  Sekretaris Menteri Negara Pangan 1993-1999
KOMPAS, 25 Maret 2013

  
Kedua komoditas ini, jagung dan kedelai, mendapat perlakuan kebijakan yang mirip sejak 1998, tetapi hasilnya bertolak belakang. Produksi jagung saat ini meningkat dua kali lipat dibandingkan produksi 1997. Namun, produksi kedelai sekarang merosot tinggal separuh dari pencapaian produksi tertinggi 1992. Misteri apa gerangan ini?
Keduanya termasuk pangan strategis. Jagung merupakan bahan baku pakan ternak, feed, yang dengannya dihasilkan daging dan telur yang merupakan sumber protein penduduk. Kedelai sebagian besar dikonsumsi langsung dalam bentuk tempe dan tahu, food, dan merupakan sumber protein murah bagi penduduk. Kedelai juga bahan baku kecap, tauco, dan susu kedelai. Bungkilnya merupakan bahan baku dalam pembuatan pakan ternak.
Kedua tanaman itu oleh nenek moyang kita dikategorikan sebagai tanaman pala- wija. Oleh karena itu, perhatian kita pada komoditas ini tidak seintensif pada tanam- an padi. Jagung dan kedelai umumnya ditanam petani sebagai tanaman ”sela” di antara musim tanam padi dan dapat pula jadi tanaman tumpang sari di pekarangan atau tegalan. Karena itu, produksi kedua komoditas ini cenderung fluktuatif.
Menguak Misteri
Penelusuran statistik: luas panen jagung dari 1969 sampai 1994 berkisar 2,5 juta-3 juta hektar per tahun, tetapi setelah itu bertahan sekitar 3,5 juta hektar per tahun. Berbeda dengan kedelai, luas panennya semula 500.000-600.000 hektar per tahun meningkat menjadi 1 juta-1,5 juta hektar pada 1984-1998 saat digalakkan program pengembangan penanaman kedelai oleh pemerintah. Selanjutnya menyusut lagi, dan sampai kini hanya sekitar 700.000-900.000 hektar per tahun. Dengan demikian, saat ini areal yang tersedia untuk jagung hanya sekitar 3,5 juta hektar dan kedelai 800.000 hektar apabila tidak ada usaha khusus perluasan areal tanam.
Berdasarkan penelusuran statistik, produktivitas jagung ternyata masih kurang dari 2 ton per hektar sampai 1988, kemudian meningkat menjadi hampir 3 ton pada 2003, dan untuk tahun terakhir ini mendekati 4 ton per hektar. Sebaliknya, kenaikan produktivitas kedelai sampai 1988 masih lambat: di bawah 1 ton per hektar dan sampai kini masih sekitar 1,3 ton per hektar. Mengapa untuk jagung kita dapat mengatrol produktivitas, sedangkan untuk kedelai tampak kewalahan?
Kuncinya di sini. Pada jagung dilakukan penyebaran benih hibrida, yakni hasil persilangan benih jantan dan betina yang dipilih sifat unggulnya, tapi hanya dapat dipakai untuk sekali tanam. Benih hibrida itu diperkenalkan pada 1980-an dan berkembang 1990-an. Setelah tahun 2000, pengembangan benih hibrida sangat intensif oleh produsen benih swasta. Sejak 1980-an sampai kini telah dilepas benih jagung hibrida tak kurang dari 100 varietas. Pengamatan di lapangan menunjukkan, sebagian besar petani di sentra produksi jagung Jawa Timur dan Jawa Tengah telah menanam jagung hibrida.
Pengembangan benih kedelai tidak menggunakan benih hibrida seperti pada jagung. Dari 1970-an sampai kini terdapat sekitar 60 varietas benih kedelai unggul yang dilepas. Dari komunikasi kami dengan ahli benih, Purwantoro dari Badan Litbang Pertanian Malang, benih kedelai sebenarnya dapat dibuat sebagai benih hibrida, tetapi biayanya sangat mahal.
Perkembangan terakhir di Indonesia: benih kedelai dikembangkan dengan tek- nik mutasi radiasi oleh Batan. Potensi hasil benih kedelai yang dilepas dalam tahun terakhir mencapai 2,5 ton-3,5 ton per hektar. Namun, angka statistik produktivitas kedelai secara nasional baru mencapai 1,3 ton per hektar. Jauh dari harapan.
Berbeda dengan jagung, distribusi benih kedelai mengalami kendala: daya tumbuhnya menurun cepat dalam penyimpanan dan saat pengangkutan. Oleh karena itu, distribusi benih kedelai ini dilakukan dengan sistem ”jabalsim” atau jalur benih antarlapang dan musim.
Benih kedelai itu disebarkan hanya antardaerah penghasil kedelai. Hasil kedelai pada panen awal musim hujan dipakai sebagai benih menjelang tanam musim kemarau. Hasilnya dipakai lagi untuk benih awal musim hujan berikutnya. Jangkauan distribusi benih kedelai yang terbatas dan daerah penanaman kedelai yang tersebar dalam skala kecil menyebabkan swasta kurang tertarik dalam bisnis benih kedelai, tidak seperti pada jagung.
Walaupun kurang mendapatkan perhatian, di beberapa tempat petani berusaha melakukan inovasi hingga menghasilkan kedelai dengan produktivitas tinggi. Penulis menjumpai petani transmigran asal Lamongan di Punggaluku, Sulawesi Tenggara, pada 1980-an yang menghasilkan kedelai 2 ton per hektar. Yonathan Agranoff, dokter pencinta tempe dari Inggris, dalam blusukannya di Grobogan, Jawa Tengah, menjumpai petani yang menghasilkan kedelai 2,5 ton per hektar dengan butiran besar-besar.
Statistik ekspor-impor kedua komoditas ini juga menarik. Ternyata untuk jagung, kita pernah mengalami surplus dengan jumlah lumayan dalam kurun 1969-1978: hampir 100.000 ton per tahun. Setelah tanaman jagung digalakkan oleh pemerintah, ekspor-impor jagung malah menjadi defisit dalam jumlah yang lumayan: 200.000 ton per tahun pada 1979-1998. Setelah 1998 kita terus defisit dalam ekspor-impor jagung dalam jumlah lebih besar atau 850.000 ton per tahun pada kurun 1999-2008, dan melonjak menjadi hampir 1,5 juta ton per tahun pada 2009-2011.
Untuk kedelai, ekspor-impor juga pernah surplus pada kurun 1969-1973 seki- tar 8.800 ton per tahun. Kemudian mengalami defisit sejak 1974 sampai sekarang ini. Defisit ekspor-impor kedelai dalam kurun 1974-1978 sebesar 80.000 ton per tahun. Kemudian selama kedelai dikendalikan Bulog dalam kurun 1980-1997 defisit meningkat, tetapi dapat dikendalikan paling banyak 650.000 ton setahun. Setelah impor kedelai dibebaskan pada 1998, defisit ekspor-impor dalam kurun 1998-2008 melonjak menjadi 1,2 juta ton per tahun dan antara 2009-2012 menjadi 1,5 juta-2 juta ton per tahun.
Penelusuran rasio harga grosir jagung dan kedelai terhadap harga beras juga cukup menarik. Untuk jagung, pada periode 1972-1979, rasio harga antara jagung dan beras di bawah 0,5 dan setelah dikendalikan Bulog di atas 0,5. Lalu, setelah 1998 rasionya kembali di bawah 0,5. Rasio 0,5 artinya harga jagung 0,5 harga beras. Adapun untuk kedelai, sebelum ditangani Bulog, rasio harga beras dan kedelai 1,31, tetapi setelah dikendalikan Bulog pada 1980-1997 mencapai 1,47. Setelah dilepas dari Bulog rasionya turun menjadi 1,26. Bahkan, pada 2007 rasionya hanya 0,99. Itu artinya, harga kedelai lebih murah dibandingkan harga beras.
Perlu Penanganan Serius
Dari penelusuran angka statistik, pengamatan lapangan, dan diskusi dengan mantan pejabat yang menangani masalah pangan, ke depan hal ini perlu penanganan serius karena masalahnya semakin berat dan kompleks. Pertama, setiap 10 tahun kebijakan atau program baru mengalami kejenuhan. Pada jagung, misalnya. Setelah 10 tahun pengembangan produksinya mengandalkan benih hibrida, terdapat kecenderungan defisit perdagangan yang melonjak. Demikian juga pada program pengembangan kedelai yang mencapai puncak pada 1992, kemudian terus-menerus merosot karena tak ada terobosan baru.
Kedua, belajar dari kasus kedua komoditas palawija ini, diperlukan perluasan areal baru untuk tanaman pangan demi mengatasi tumbuhnya permintaan pangan. Untuk itu, kita tunggu konsep yang konkret dari para kandidat presiden tahun 2014: program apa yang ditawarkan untuk mengatasi masalah kekurangan pangan. Membuka lahan untuk pangan tak dapat diserahkan kepada pasar seperti pada kelapa sawit.
Ketiga, khusus untuk kedelai saat ini, tidak cukup hanya memberikan insentif harga dengan menetapkan harga pembelian oleh Bulog saja (Kompas, 26/2/2012). Kunci mengatasi masalah kedelai adalah penanganan benih. Hal ini sejalan dengan pendapat Syamsuddin Abbas, mantan pejabat tinggi Kementerian Pertanian, pada pertemuan November 2012 yang menyarankan agar untuk kedelai perlu diberikan subsidi benih: ada jaminan harga dan didukung paket teknologi sesuai keadaan agroklimatnya.
Mudah-mudahan catatan ini bermanfaat. Mari kita simak program capres yang akan datang, bagaimana solusi yang ditawarkan terhadap masalah pangan dan lain-lain. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar