Kamis, 07 Maret 2013

Neraca Perdagangan dan ‘Darurat Migas’


Neraca Perdagangan dan ‘Darurat Migas’
Sunarsip  ;  Ekonom The Indonesia Economic Intelligence (IEI)
REPUBLIKA, 04 Maret 2013


Setelah mengalami defisit 1,63 miliar dolar AS selama 2012 (pertama kalinya sejak 1961), neraca perdagangan (neraca ekspor dan impor) kita pada Januari 2013 masih melanjutkan tren negatifnya dengan membukukan defisit 171 juta dolar AS. Defisit ini terjadi karena ekspor kita selama Januari 2013 hanya mencapai 15,38 miliar dolar AS sedangkan impor mencapai 15,55 miliar dolar AS. 

Defisit neraca perdagangan pada Januari 2013 terutama disebabkan oleh tingginya defisit pada sektor migas yang mencapai 1,43 miliar dolar AS, dengan kontribusi defisit pada minyak mentah 554,7 juta dolar AS dan defisit hasil minyak (BBM) 2,18 miliar dolar AS. Sementara, pada komoditas gas mengalami surplus sebesar 1,31 miliar dolar AS. Ekspor nonmigas pada Januari 2013 mengalami surplus 1,25 miliar dolar AS. Sayangnya, surplus nonmigas ini tidak cukup untuk menahan tingginya defisit migas.

Melemahnya kinerja neraca perdagangan kita ini sesungguhnya telah lama menjadi perhatian sejumlah kalangan, tidak hanya di dalam negeri, tetapi juga luar negeri. Majalah ekonomi terkemuka, The Economist, dalam artikelnya, "Indonesia's Economy: Tipping the Balance", edisi 23 Februari 2013, memberikan catatan khusus terkait defisit neraca perdagangan kita. 

The Economist menilai, di balik euforia tingginya pertumbuhan ekonomi Indonesia, pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dinilai tidak memiliki pegangan yang kuat dan bertindak konservatif. Di balik investasi yang booming di Indonesia, terdapat masalah besar yang dapat meledak sewaktu-waktu. Ekspor lemah karena permintaan global yang tertekan dan harga sumber daya alam yang rendah.

Dengan berkaca pada kinerja ini, tentunya pemerintah perlu segera mencermati prospek neraca perdagangan kita ke depan. Terlebih lagi, bila kita melihat kinerja neraca perdagangan migas yang tren defisitnya mengalami peningkatan. Dengan melihat tren permintaan dan penawaran sektor migas kita, khususnya dari sisi neraca minyak, saya agak meragukan neraca perdagangan migas kita bisa surplus pada 2013. Mengapa?

Kebutuhan BBM kita menjadi semakin meningkat. Pada 2012, realisasi BBM bersubsidi mencapai sekitar 45 juta kiloliter, meningkat dibanding 2011 yang menca- pai sekitar 42 juta kiloliter. Pada 2013, target konsumsi BBM bersubsidi sekitar 46 juta kiloliter.  Saya berpendapat, bila tidak ada upaya pembatasan konsumsi BBM bersubsidi yang masif, sepertinya sulit target konsumsi BBM bersubsidi dapat ditahan pada angka 46 juta kiloliter. Perkiraan yang lebih realistis (bila tidak ada upaya pembatasan konsumsi BBM bersubsidi), konsumsi BBM bersubsidi selama 2013 bisa mencapai sekitar 47- 49 juta kiloliter. Di sisi lain, produksi minyak mentah kita selama 2013 juga sepertinya sulit untuk bisa mempertahankan level produksinya seperti 2012. Kemungkinan yang terjadi, produksi minyak mentah selama 2013 akan lebih rendah dibanding 2012 yang mencapai sekitar 861 ribu barel per hari (bph).

Pada 2013, diperkirakan ada sumur-sumur baru yang telah berproduksi. Namun , produki minyak dari sumur-sumur baru ini diperkirakan hanya bisa menaikkan produksi minyak sekitar 10 persen. Di sisi lain, tren penurunan produksi minyak diperkirakan telah mencapai sekitar 12-15 persen per tahun. Dengan kata lain, produksi minyak kita masih mengalami pertumbuhan negatif sekitar dua-lima persen. 
Di sisi lain, upaya optimalisasi produksi melalui kegiatan enhanced oil recovery (EOR) baru dimulai tahun ini sehingga hasil produksinya baru bisa terlihat pada 2014. Beruntung, neraca gas kita masih positif sehingga setidaknya mampu menahan laju defisit neraca migas agar tidak meningkat secara drastis.

Pada 2013, sektor gas sepertinya akan memiliki peran yang penting untuk menjaga neraca perdagangan migas kita agar tetap positif. Entah sampai kapan kinerja gas ini akan dapat diandalkan. Ini mengingat tren produksi gas saat ini juga cenderung menurun. Sepertinya, kita memang harus secepatnya tanggap bahwa kondisi sektor migas kita saat ini, terutama minyak, sudah berada dalam kondisi "darurat". "Darurat" migas ini tidak hanya terjadi di sektor hulu (produksi), tetapi juga di sektor hilir (khususnya pengolahan).

Kebutuhan BBM di dalam negeri setiap tahunnya terus meningkat. Katakanlah, target produksi minyak sebesar satu juta bph pada 2014 tercapai (dengan asumsi Blok Cepu bisa berproduksi secara penuh dan menghasilkan sekitar 165 ribu bph dan seluruh kegiatan EOR berjalan baik), apakah secara otomatis akan mengurangi impor BBM? Jawabannya, tidak! Ini mengingat kapasitas kilang yang kita miliki saat ini belum mampu menampung seluruh minyak mentah yang kita hasilkan. Sehingga, impor hasil minyak (BBM) tetap diperlukan dan justru berpotensi meningkat bila kita tidak ada kilang pengolahan baru yang beroperasi.

Mengingat kondisi sektor migas kita saat ini telah berada dalam kondisi yang cukup rawan, sudah seharusnya pemerintah lebih responsif dalam menjawab tantangan ini. Saat ini, telah banyak proyek yang disiapkan dan dikerjakan untuk menyehatkan kembali sektor migas kita, baik proyek hulu maupun hilir. Sayangnya, realisasinya masih rendah dan belum bisa memenuhi kebutuhan di sektor migas kita secara optimal. Masalah-masalah nonteknis, seperti perizinan, pembebasan lahan, atau koordinasi antarpemangku kepentingan, masih menjadi persoalan klasik yang perlu diselesaikan pemerintah.

Saya berpendapat, untuk mencegah agar "darurat" migas yang terjadi saat ini tidak berlanjut, kita tidak hanya harus menyelesaikan berbagai persoalan teknis dan nonteknis saat ini, tetapi juga harus segera diputuskan seperti apa politik migas kita ke depan. Ini mengingat politik migas inilah yang akan membimbing kita dalam mendesain kebijakan migas nanti serta infrastruktur migas yang harus disiapkan. Sebagai contoh, kita sepakat subsidi BBM harus dikurangi melalui pengalihan konsumsi BBM bersubsidi ke BBM nonsubsidi. Namun, ketika akan melakukan pembatasan konsumsi BBM bersubsidi (Premium, Ron 88) ke BBM yang beroktan lebih tinggi (Pertamax, Ron 92), ternyata juga memunculkan problem baru terkait suplainya. Sebab, kilang-kilang yang kita miliki sebagian besar belum didesain untuk menghasilkan BBM beroktan tinggi. Bila penyediaan BBM nonsubsidi harus dipenuhi dengan jalan pintas (melalui impor), hal itu juga dapat menimbulkan tekanan terhadap neraca perdagangan migas kita.

Keadaan "darurat" migas sebagaimana diperlihatkan oleh neraca perdagangan kita, semestinya menjadi peringatan keras agar segera membenahi kondisi sektor migas kita. Tidak hanya di hulu, tetapi juga di hilir. Bila kita tidak segera membenahi masalah ini, bisa jadi euforia pertumbuhan ekonomi tinggi (yang saat ini kita nikmati) justru akan menjadi sumber bencana bagi generasi kita pada masa mendatang. 

Pertumbuhan ekonomi yang tinggi menuntut pasokan energi yang besar. Bila ini dipenuhi secara eksploitasi, generasi mendatanglah yang akan menanggung pil pahitnya. Saya berharap, mudah-mudahan kita setidaknya sudah berpikir untuk risau dengan situasi ini! Wallahu'alam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar