Leadership is the art of getting people to do what they
don’t want to do and have them enjoy the experience (Lewis MacKenzie).
Pemimpin itu menggerakkan, mengarahkan, dan menginspirasi orang lain untuk
melakukan sesuatu menurut yang dia bayangkan dan kehendaki. Karena memimpin
adalah menggerakkan, akan semakin efektif jika seorang pemimpin memahami
psikologi anak buah atau masyarakat, insentif apa yang membuat mereka
semangat untuk bergerak mengikuti ajakan atau perintah pimpinannya.
Biasanya orang segera berpikir, insentif uanglah yang paling efektif untuk menggerakkan
orang. Pendapat ini tidak salah, namun tidak akan berlaku bagi masyarakat
yang bekerja dengan idealisme serta menghayati nilai-nilai spiritual secara
intens.Para pejuang maupun pendukung kemerdekaan dan kelahiran negara RI
bukan karena insentif uang. Mereka bahkan mempertaruhkan kekayaannya yang
termahal: harta, jiwa, dan nyawa.
Di situ terjalin hubungan emosional, spiritual, dan ideologis antara
pemimpin dan rakyat. Para pemimpin menggerakkan rakyat dengan idealisme dan
hati. Di sini berlaku ungkapan: the
leadership starts from within. And we all possess the seeds of greatness.
Siapa pun jadi pemimpin harus mulai dari diri sendiri dengan menumbuhkan
dan mengaktualkan potensi serta benih-benihkebajikan dan keunggulan yang
ada pada setiap orang, sehingga seorang pemimpin adalah juga sosok teladan.
Ratusan judul buku tentang leadership
telah ditulis para ahli.
Antara lain dikatakan, ideas, facts,
and figures may inform the world. But emotion moves it. Napoleon
Bonaparte pernah berucap: It is not
the size of the army but the power within the army. Dua ungkapan di
atas mempertegas bahwa kekuatan untuk mengubah keadaan bermula dari
kekuatan pikiran, mental,dan hati pemimpinnya. Contoh pemimpin dalam
sejarah yang paling spektakuler yang getaran pengaruhnya masih dirasakan
sampai hari ini adalah Muhammad, yang oleh umat Islam diyakini sebagai
sosok utusan Allah.
Ada lagi sosok lain seperti Yesus, Budha Gautama, atau Mahatma Gandhi.
Gagasan, semangat dan cinta kasih mereka untuk memperbaiki masyarakat dan
membangun peradaban unggul masih menggelorakan para pengikutnya tanpa janji
insentif uang dan jabatan, mengingat semuanya telah meninggal. Tokoh-tokoh
di atas memimpin dengan hati. Mereka memiliki kepribadian tangguh, rela
mengorbankan segalanya untuk kebaikan orang lain.
Kalaupun mereka itu dianggap terlalu jauh, berada di langit sehingga sulit
ditiru, sesungguhnya kita bisa melihat dan merasakan orang-orang di
sekeliling kita. Sosok paling dekat adalah ibu. Yang hebat dan menonjol
dari ibu bukan kepintarannya, melainkan cinta kasih dan doanya yang tulus,
yang tak pernah padam agar anak-anaknya tumbuh menjadi orang baik. Apa pun
yang dilakukan seorang ibu demi kebaikan dan kemajuan anak-anaknya.
Di lingkungan sekolah pun mudah kita baca dan rasakan. Para siswa akan
merasakan siapa-siapa guru yang mengajar dengan hati, dan siapa yang
sekadar berbagi ilmu minus cinta kasih dan rasa empati pada para siswa.
Demikian juga di kantor. Jabatan setinggi apa pun, ilmu pengetahuan seluas
apa pun, tanpa didasari cinta kasih dan semangat menolong dan memajukan
orang lain pasti tidak cukup efektif untuk menggerakkan orang. Persyaratan
intelektual seorang pemimpin yang biasa dimajukan oleh para ahli antara
lain adalah memiliki visi ke depan, keterampilan manajerial, komunikatif,
berani ambil risiko dan menjadi pendengar yang baik.
Namun, itu semua pada akhirnya akan sangat ditentukan inner quality dari seseorang, yaitu kadar keikhlasan, kesediaan
berkorban, dan rasa cinta terhadap tugas dan masyarakat yang hendak
dilayani. Keikhlasan dan cinta merupakan sumber kekuatan yang amat dahsyat
bagi seorang pemimpin. Orang yang ikhlas tidak haus tepuk tangan dan pujian
sehingga hidup dijalaninya dengan wajar, tenang, dan tidak menciptakan
jarak dari anak buahnya. Cinta membuat seseorang menjadi pribadi yang
melimpah. Selalu ingin memberi, bukannya mengambil.
Bayangkan jika cinta dan ikhlas ini menyertai persyaratan seorang pemimpin
seperti disebut di muka, pasti akan produktif, bermakna dan dicintai
lingkungannya. Pemimpin yang didasari cinta dan ikhlas tak akan khawatir
mengalami post-power syndrome
karena kekuatan pribadinya tidak disandarkan pada status dan jabatan
formalnya, melainkan pada kepercayaan dan ketulusan yang berakar pada
dirinya. Dia tidak khawatir jatuh karena tidak merasa di puncak ketinggian,
tidak juga takut terinjak karena tidak merasa di bawah. Dia berusaha
melebur ke dalam hati masyarakat. Hati rakyat adalah singgasananya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar