Sabtu, 02 Maret 2013

Sarjana Ulama, Ulama Sarjana


Sarjana Ulama, Ulama Sarjana
Noor Achmad ;  Rektor Universitas Wahid Hasyim (Unwahas) Semarang,
Ketua Lembaga Pendidikan Tinggi NU, Wasekjen MUI Pusat
SUARA MERDEKA, 01 Maret 2013


IBU Kota Jawa Tengah kembali mendapat kehormatan menjadi tuan rumah perhelatan akbar nasional. Mulai hari ini digelar Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU), yang akan dihadiri tokoh penting nasional antara lain Marzuki Alie (Ketua DPR),  Mahfud Md (Ketua MK), M Nuh (Mendikbud), Ali Masykur Musa (Ketua BPK), ketua umum dan rais aam PBNU, serta tokoh cendekia dan ulama. Di tengah berbagai persoalan ekonomi, sosial, politik, dan hukum yang membelit negeri, apa makna pertemuan itu?

Salah satu pendiri mazhab penting dalam Islam, Imam Syafi'i pernah menyatakan bahwa sebaik-baik orang adalah orang yang tahu bahwa dirinya tahu (yadri annahu yadri). Artinya, orang tersebut paham akan kemampuan dan intelektualitasnya dan ia siap memanfaatkannya demi kebaikan. Karena itu, rapimnas hari ini tidak bisa dilihat hanya secara legal formal sebagai pertemuan sebuah organisasi yang akan merumuskan rencana kerja. Secara normatif ada sejumlah catatan dan makna penting yang menyertai kegiatan itu.

Pertama; secara eksternal sebagai bagian dari sumbangsih untuk turut menguatkan kiprah organisasi ''orang-orang pintar'' serupa lainnya dalam turut serta membangun bangsa. Secara internal, bagi Nahdlatul Ulama, keberadaan ISNU setidak-tidaknya kembali menguatkan dan menegaskan tradisi kesarjanaan dan keulamaan, sebagaimana awal pendirian organisasi para ulama ini. Semangat ini tampak meredup dalam beberapa dekade belakangan ini, terutama di tengah ingar-bingar dan keasyikan berpolitik.

Padahal, sebagai organisasi sosial kemasyarakatan dan keagamaan, hakikat NU lahir dari tradisi kental keilmuan. Tradisi kajian dan diskusi keilmuan tak hanya dari Alquran dan hadis tetapi juga dari berbagai literatur kehidupan. Ini terlihat dalam lembaga Taswirul Afkar (Cakrawala Pemikiran) bentukan KH Mas Mansyoer dan KH Wahab Chasboellah yang menjadi cikal bakal NU. Majelis itu membahas beragam persoalan, dari yang bersifat murni keagamaan sampai persoalan politik perjuangan melawan penjajah.

Ghirah keilmuan inilah yang perlu kembali ditumbuhkan. PBNU juga telah memulai dengan tidak hanya memperhatikan dunia pondok pesantren tetapi juga serius meningkatkan kualitas dan kuantitas sekolah dan perguruan tingginya. Kebangkitan kesarjanaan dan keulamaan di lingkungan NU menjadi momentum sangat penting, tidak hanya bagi organisasi itu, tetapi juga bagi bangsa sebagaimana jargon ''dari NU untuk bangsa''. 

Sebagai badan otonom yang relatif baru dan dilantik oleh Rais Aam KH MA Sahal Mahfudh pada 24 April 2012, ISNU bisa bersinergi dengan badan dan lembaga lain, seperti Lembaga Pendidikan Maarif dan Lembaga Pen-didikan Tinggi NU.        

Kedua; secara simbolik forum itu menegaskan makna penting bahwa hakikat kesarjanaan dan keulamaan itu saling terkait, bahkan menyatu. Keduanya memiliki persamaan makna, yaitu keilmuan, pengetahuan, atau pemahaman. Seperti terlihat dari realitas kehidupan kita, seharusnya tidak ada dikotomi antara sarjana dan ulama. Sarjana seharusnya adalah sosok ulama dan demikian pula sebaliknya.

Ulama seharusnya sosok yang faqih fid din (ahli ilmu agama) yang juga pandai/ paham ilmu dunia/umum supaya tidak terbata-bata dalam membaca realitas. Penguasaan ilmu agama mesti dibarengi dengan pemahaman pengetahuan ilmu lain guna menghadapi persoalan dunia yang makin kompleks. 

Kemaslahatan Umat

Di sisi lain, banyak sarjana kehilangan karakter keulamaan. Betapa banyak kejahatan dan kebobrokan mengerikan di negeri ini yang diakibatkan oleh ulah orang pintar bergelar sarjana. Mereka lupa bahwa meminjam perspektif Alquran, orang berilmu (ulul albab) sejatinya akan sampai pada kesadaran dan pengakuan terhadap eksistensi ketuhanan. Pekerjaan rumah besar kita bersama adalah mendobrak sekat dan keterkungkungan tersebut. Tokoh besar pendiri bangsa ini, KH Abdul Wahid Hasyim, sejak 1940-an secara tegas berusaha mendobrak sekat dikotomis ilmu agama dan ilmu umum.

Ketiga; secara reflektif, ujung paling penting adalah mengingatkan kita bahwa kesarjanaan dan keulamaan sejati pada gilirannya harus diabdikan kepada kemaslahatan umat. Keduanya harus dimanifestasikan melalui fungsi sebagai khalifah fil ardi, wakil Tuhan pengatur dan pemakmur bumi, dan bukan perusak. Sarjana dan ulama bukan menara gading hiasan semata, melainkan mercusuar yang harus menjadi pelita bangsa. Artinya, bersama gelar itu melekat tanggung jawab dan kepedulian terhadap bangsa.

Karenanya, organisasi kesarjanaan dan keulamaan apa pun tidak boleh terjebak untuk memajukan dan membela kepentingan kelompok atau golongan semata. Tentu hal ini juga sejalan dengan misi besar yang diemban tiap muslim (dan sebenarnya juga semua manusia) supaya menjadi rahmatan lil 'alamin atau rahmat bagi seru sekalian alam. Kehadiran tokoh-tokoh penting nasional guna menyampaikan pemikiran di Universitas Wahid Hasyim (Unwahas) kita harapkan menjadi kontribusi penting dalam turut serta menyelesaikan berbagai problem bangsa. Dengan kekuatan ilmu kesarjanaan dan karakter keulamaan, sumbangsih konkret mereka sangat dinantikan semua anak bangsa. Bagi Jawa Tengah sebagai tuan rumah, ini tentu menjadi penguat tekad kita mewujudkan diri sebagai provinsi pendidikan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar