IBU Kota Jawa Tengah kembali
mendapat kehormatan menjadi tuan rumah perhelatan akbar nasional. Mulai
hari ini digelar Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) Ikatan Sarjana
Nahdlatul Ulama (ISNU), yang akan dihadiri tokoh penting nasional antara
lain Marzuki Alie (Ketua DPR), Mahfud Md (Ketua MK), M Nuh
(Mendikbud), Ali Masykur Musa (Ketua BPK), ketua umum dan rais aam PBNU,
serta tokoh cendekia dan ulama. Di tengah berbagai persoalan ekonomi,
sosial, politik, dan hukum yang membelit negeri, apa makna pertemuan itu?
Salah satu pendiri mazhab penting dalam Islam, Imam Syafi'i pernah
menyatakan bahwa sebaik-baik orang adalah orang yang tahu bahwa dirinya
tahu (yadri annahu yadri).
Artinya, orang tersebut paham akan kemampuan dan intelektualitasnya dan ia
siap memanfaatkannya demi kebaikan. Karena itu, rapimnas hari ini tidak
bisa dilihat hanya secara legal formal sebagai pertemuan sebuah organisasi
yang akan merumuskan rencana kerja. Secara normatif ada sejumlah catatan
dan makna penting yang menyertai kegiatan itu.
Pertama; secara eksternal sebagai bagian dari sumbangsih untuk turut
menguatkan kiprah organisasi ''orang-orang pintar'' serupa lainnya dalam
turut serta membangun bangsa. Secara internal, bagi Nahdlatul Ulama,
keberadaan ISNU setidak-tidaknya kembali menguatkan dan menegaskan tradisi
kesarjanaan dan keulamaan, sebagaimana awal pendirian organisasi para ulama
ini. Semangat ini tampak meredup dalam beberapa dekade belakangan ini,
terutama di tengah ingar-bingar dan keasyikan berpolitik.
Padahal, sebagai organisasi sosial kemasyarakatan dan keagamaan, hakikat NU
lahir dari tradisi kental keilmuan. Tradisi kajian dan diskusi keilmuan tak
hanya dari Alquran dan hadis tetapi juga dari berbagai literatur kehidupan.
Ini terlihat dalam lembaga Taswirul Afkar (Cakrawala Pemikiran) bentukan KH
Mas Mansyoer dan KH Wahab Chasboellah yang menjadi cikal bakal NU. Majelis
itu membahas beragam persoalan, dari yang bersifat murni keagamaan sampai
persoalan politik perjuangan melawan penjajah.
Ghirah keilmuan inilah yang perlu kembali ditumbuhkan. PBNU juga telah
memulai dengan tidak hanya memperhatikan dunia pondok pesantren tetapi juga
serius meningkatkan kualitas dan kuantitas sekolah dan perguruan tingginya.
Kebangkitan kesarjanaan dan keulamaan di lingkungan NU menjadi momentum
sangat penting, tidak hanya bagi organisasi itu, tetapi juga bagi bangsa
sebagaimana jargon ''dari NU untuk bangsa''.
Sebagai badan otonom yang relatif baru dan dilantik oleh Rais Aam KH MA
Sahal Mahfudh pada 24 April 2012, ISNU bisa bersinergi dengan badan dan
lembaga lain, seperti Lembaga Pendidikan Maarif dan Lembaga Pen-didikan
Tinggi NU.
Kedua; secara simbolik forum itu menegaskan makna penting bahwa hakikat
kesarjanaan dan keulamaan itu saling terkait, bahkan menyatu. Keduanya
memiliki persamaan makna, yaitu keilmuan, pengetahuan, atau pemahaman.
Seperti terlihat dari realitas kehidupan kita, seharusnya tidak ada
dikotomi antara sarjana dan ulama. Sarjana seharusnya adalah sosok ulama
dan demikian pula sebaliknya.
Ulama seharusnya sosok yang faqih fid
din (ahli ilmu agama) yang juga pandai/ paham ilmu dunia/umum supaya
tidak terbata-bata dalam membaca realitas. Penguasaan ilmu agama mesti
dibarengi dengan pemahaman pengetahuan ilmu lain guna menghadapi persoalan
dunia yang makin kompleks.
Kemaslahatan Umat
Di sisi lain, banyak sarjana kehilangan karakter keulamaan. Betapa banyak
kejahatan dan kebobrokan mengerikan di negeri ini yang diakibatkan oleh
ulah orang pintar bergelar sarjana. Mereka lupa bahwa meminjam perspektif
Alquran, orang berilmu (ulul albab)
sejatinya akan sampai pada kesadaran dan pengakuan terhadap eksistensi
ketuhanan. Pekerjaan rumah besar kita bersama adalah mendobrak sekat dan
keterkungkungan tersebut. Tokoh besar pendiri bangsa ini, KH Abdul Wahid
Hasyim, sejak 1940-an secara tegas berusaha mendobrak sekat dikotomis ilmu
agama dan ilmu umum.
Ketiga; secara reflektif, ujung paling penting adalah mengingatkan kita
bahwa kesarjanaan dan keulamaan sejati pada gilirannya harus diabdikan
kepada kemaslahatan umat. Keduanya harus dimanifestasikan melalui fungsi
sebagai khalifah fil ardi, wakil
Tuhan pengatur dan pemakmur bumi, dan bukan perusak. Sarjana dan ulama
bukan menara gading hiasan semata, melainkan mercusuar yang harus menjadi
pelita bangsa. Artinya, bersama gelar itu melekat tanggung jawab dan
kepedulian terhadap bangsa.
Karenanya, organisasi kesarjanaan dan keulamaan apa pun tidak boleh
terjebak untuk memajukan dan membela kepentingan kelompok atau golongan
semata. Tentu hal ini juga sejalan dengan misi besar yang diemban tiap
muslim (dan sebenarnya juga semua manusia) supaya menjadi rahmatan lil 'alamin atau rahmat
bagi seru sekalian alam. Kehadiran tokoh-tokoh penting nasional guna
menyampaikan pemikiran di Universitas Wahid Hasyim (Unwahas) kita harapkan
menjadi kontribusi penting dalam turut serta menyelesaikan berbagai problem
bangsa. Dengan kekuatan ilmu kesarjanaan dan karakter keulamaan, sumbangsih
konkret mereka sangat dinantikan semua anak bangsa. Bagi Jawa Tengah
sebagai tuan rumah, ini tentu menjadi penguat tekad kita mewujudkan diri
sebagai provinsi pendidikan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar