Sebuah media berbentuk tabloid awal pekan
ini menulis berita yang mengutip secara salah dari pernyataan saya. Entah
disengaja, entah karena keteledoran, atau karena ketidakpahaman, yang jelas
hanya wartawan tabloid itulah yang menulis: “Menurut Mahfud, penetapan Anas sebagai tersangka adalah peristiwa
politik.” Padahal saat itu saya mengatakan, “Ada yang menilai bahwa penetapan Anas sebagai tersangka adalah
peristiwa politik, sedangkan saya melihat ini soal hukum.” Jadi
kata-kata “ada yang menilai” dan sambungan pernyataan saya saat itu
dihilangkan dari berita itu. Maka itu, ada yang menuduh saya membela
tersangka korupsi karena pertemanan atau korps ke- HMI-an. Kenyataannya ada
yang menilai kasus itu sebagai peristiwa politik karena faktanya ada yang
meminta Anas dilepaskan karena dinilai penetapannya sebagai tersangka
merupakan rekayasa Istana.
Tetapi, faktanya
pula ada yang berteriak keras agar Anas segera diajukan ke pengadilan
karena terlibat korupsi. Menekan KPK untuk melepaskan maupun mengadili Anas
adalah sama-sama merupakan manuver politik yang tak perlu digubris KPK.
Keduanya merupakan penilaian politik, bukan berdasarkan hukum. Sebab itu,
KPK harus tegas seperti yang telah dilakukan selama ini. Tak boleh
terpengaruh oleh “penilaian” politik baik oleh yang pro maupun yang kontra.
KPK harus
menangani kasus ini secara profesional dan transparan sebagai kasus hukum.
Saya termasuk yang tak percaya sama sekali bahwa kasus ini dikerjakan
sebagai kasus politik oleh KPK. Ada yang mencoba melihat dan mendemonya
sebagai kasus politik itu memang nyata, tetapi substansi masalah dalam
kasus ini murni soal hukum yaitu korupsi. Kasus korupsi Hambalang ini
jangan sampai dibelokkan menjadi peristiwa politik.
Sebagai kasus
megakorupsi kasus Hambalang ini sudah sulit dibantah dan harus dibongkar
sampai ke akar-akarnya. Jika diibaratkan sebagai pohon, pohon korupsi
Hambalang ini sudah nyata dan harus dibabat habis dalam waktu yang cepat
dan cekatan sebelum dihilangkan oleh manuver-manuver politik. Kasus
Hambalang ini kasus korupsi yang nyata dan gila-gilaan berdasarkan lima
fakta dan indikasi sebagai berikut:
Pertama, kasus ini terkait langsung dan tak
terpisahkan dari kasus korupsi Wisma Atlet di Kemenpora yang para
koruptornya sudah dijatuhi hukuman pidana yaitu Mindo Rosalina, Nazaruddin,
El Edris, dan Wahfid Muharram. Oleh pengadilan tipikor, mereka sudah
dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan korupsi sehingga
dijatuhi hukuman pidana.
Kedua, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) telah
mengumumkan temuannya bahwa terjadi kerugian negara dari pelanggaran dalam
penanganan proyek Hambalang itu sebesar tak kurang dari Rp240 miliar. Menurut
BPK, ternyata pula telah terjadi pelanggaran prosedur dalam penentuan
anggaran proyek Hambalang dari semula Rp125 miliar menjadi Rp2,5 triliun.
Ketiga, terjadi
pelanggaran secara ugal-ugalan dalam pengadaan tanah untuk proyek Hambalang
karena prosedurnya dianggap top down
dan sepihak, terutama dalam penerbitan sertifikatnya. Apalagi pengurusannya
melibatkan orang parpol, padahal ini proyek pemerintah.
Keempat, terjadi pelanggaran atas ketentuan
analisis mengenai dampak lingkungan (amdal), terutama menyangkut ketinggian
dan kedalaman fondasi bangunan. Akibatnya, bangunan proyek tersebut ambles
dan sekarang mangkrak (dibiarkan) tanpa ada yang peduli. Bayangkan, berapa ratus
miliar rupiah peningkatan kerugian dari keadaan seperti ini.
Kelima, KPK telah menetapkan dua tersangka
dalam kasus ini yaitu mantan Menpora Andi A Mallarangeng dan mantan Ketum
Partai Demokrat Anas Urbaningrum. Penentuan tersangka dalam kasus ini
sangat kuat karena fakta-fakta yang disebutkan di atas. Melihat fakta-fakta
tersebut, menjadi jelas bahwa kasus Hambalang adalah kasus korupsi yang
nyata dan luar biasa.
Kita tak boleh
menghadang penyelesaian secara hukum kasus Hambalang ini oleh KPK atas nama
dan dengan alasan apa pun. Ibarat pohon besar, kasus korupsi Hambalang
masih banyak cabang-cabang dan ranting-ranting kasusnya yang harus dibabat
sampai tuntas, termasuk apa yang disampaikan Rizal Mallarangeng secara
berseri.Menurut saya, sungguh berkhianat apabila dengan fakta-fakta seperti
itu kita masih mau mengatakan bahwa itu peristiwa politik.
Kita punya
catatan panjang bahwa semua tersangka yang diproses hukum di KPK selalu
membantah dengan berbagai dalil yang sifatnya teknis. Tetapi lebih dari
99%, KPK selalu bisa membuktikan bahwa orang yang sudah dijadikan tersangka
tak pernah bisa lolos dan selalu dijatuhi hukuman. Keberhasilan KPK
menggiring dan menghukum tersangka koruptor tanpa ada yang lolos bukanlah
karena rekayasa dan tekanan, melainkan karena KPK mampu merangkai fakta
hukum yang biasanya tersembunyi dari publik saat tersangka melakukan
bantahan sampai berbusa-busa.
Setelah di
sidang pengadilan para tersangka itu selalu tak berkutik menghadapi bukti-bukti
yang diajukan KPK. Vonis-vonis atas koruptor yang digiring ke pengadilan
oleh KPK juga biasanya selalu diperkuat oleh hakim tingkat banding dan
kasasi. Di tingkat kasasi bahkan banyak yang hukumannya ditambah oleh
Mahkamah Agung. Itu artinya KPK tak pernah gegabah dan tak mungkin
menggelandang koruptor ke pengadilan kalau tak punya bukti kuat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar