Hari-hari terakhir ini
desa-desa kami di Kabupaten Cilacap dan Banyumas tengah menggeliat
menghadapi Pemilihan Kepala Desa atau Pilkades.
Sebagian
desa di Cilacap telah usai melaksanakan hajat demokrasi level paling bawah
itu. Sementara di Banyumas yang baru saja usai menggelar Pemilukada,
Pilkades baru akan dilakukan pertengahan tahun nanti.
Dua pekan lalu, saya ngendong ke salah satu perangkat desa
di Banyumas, seorang kawan sekaligus jejaring kami dalam mendorong
pengesahan RUU Desa. Kali ini bukan peningkatan kapasitas perdesaan yang
menjadi bahan gendu-gendu rasa, tetapi soal pulung.
Begitulah, setiap kali Pemilukada dan Pilkades dihelat, soal pulung ini
masih saja menjadi point of interest di kampung kami.
Bahkan di zaman ketika setiap sudut bumi telah terhubung dengan internet
ini.
Apa sih yang mereka sebut pulung? Pulung, atau
dalam masyarakat banyumasan lebih dikenal dengan sebutan daru,
digambarkan sebagai bola cahaya yang berpijar, yang diyakini akan muncul
pada saat pemilihan kepala daerah dan kepala desa. Ke rumah siapa bola
cahaya itu mengarah, si empunya rumah itulah yang diyakini mendapatkan
wahyu untuk memimpin desa atau daerahnya.
Telaah ilmiah
mengenai salah satu kepingan dalam jagad mistis orang Jawa ini bisa kita
jejaki dalam buku-buku Prof Kuntowijoyo. Tetapi sebagai cucu seorang lurah
desa yang lahir dan melewatkan masa kecil di pendopo balai desa, tentu saya
memiliki rekaman ingatan sendiri mengenai apa yang disebut pulung atau daru
ini. Saya belum pernah melihat seperti apa wujud pulung yang sebenarnya.
Dan sebagai bagian generasi yang tumbuh dengan perspektif pengetahuan
modern, saya menempatkan diri dalam garis Prof Kunto, bahwa pulung adalah
sebuah mitos yang muncul dari proses kebudayaan.
Tetapi tulisan ini tak bermaksud memperdebatkan, apalagi
menghakimi, apakah pulung itu sebagai fenomena empiris ataukah sekedar gugon
tuhon. Yang ingin saya lakukan adalah menjelaskan ulang mengenai
fenomena kebudayaan ini dari ingatan masa kecil saya, lalu melakukan
reinterpretasi untuk menghargai fenomena itu sebagai indigenous
wisdom.
Dalam pemikiran saya, keyakinan terhadap pulung ini
tak bisa dilepaskan dari konsep pemikiran Jawa tentang kekuasaan. Bahwa
dalam masyarakat Jawa masa silam, ketika teks yang mendominasi ruang
khalayak dikuasai sepenuhnya oleh raja dan kaum ningrat, kekuasaan yang
dianggap absah adalah kekuasaan yang berkonsep adikodrati. Artinya
legitimasi kekuasaan didasarkan pada wahyu Tuhan. Sementara penterjemah
paling absah dari wahyu itu adalah raja itu sendiri bersama pujangga
keraton yang menopangnya. Berlatar kesadaran mistis itu, maka pulung bisa
dipahami sebagai upaya mewadagkan (visualisasi) konsep wahyu yang abstrak.
Dengan kepentingan agar lebih mudah dipahami oleh hamba sahaya.
Dalam
bentuk lain, ini sama tujuannya dengan reka-kisah paha Ken Dedes yang
bersinar sebagai perwujudan wahyu keprabon yang menghuni tubuh perempuan
itu. Sehingga ketika Ken Arok berhasil mempersuntingnya, dialah yang berhak
atas wahyu raja Jawa. Atau kisah lain adalah perkawinan Panembahan Senopati
dengan Kanjeng Ratu Kidul, yang dipahami sebagai manunggaling penguasa nusa
Jawa dengan penguasa lautan yang membentang di selatannya.
Tujuan dari
reka-kisah itu bisa kita pahami sebagai ideological state apparatus dalam
pemikiran Anthonio Gramsci. Yakni aparat ideologi yang direka kekuasaan,
lalu dipaksakan ke dalam benak rakyat sebagai satu-satunya teks yang benar.
Tujuan akhir dari proses politik ini adalah kesadaran masyarakat yang
hegemonik, tanpa menyisakan ruang untuk sekedar mempertanyakan.
Hanya saja, dalam setiap sejarah dominasi kita juga mencatat
upaya untuk melahirkan teks-teks alternatif yang tidak mainstream. Sebutlah
misalnya, meski dengan kadar kritik yang masih rendah, syahdan kitab
Pararaton lahir untuk menandingi Negarakertagama yang merupakan pustaka
resmi Majapahit.
Pun demikian dengan cerita tentang pulung ini.
Entah siapa yang memulai melakukan reinterpretasi, tetapi dalam konsep pulung ini
kemudian ada keyakinan bahwa pulung hanya akan jatuh pada orang yang telah
menjalani laku.
Konsep laku
sendiri dalam pemikiran masyarakat Jawa dipahami sebagai ikhtiar yang
bersungguh-sungguh disertai dengan segala pengorbanan. Reinterpretasi ini
pada akhirnya menggoyahkan hak-hak ekseklusif anak raja sebagai putera
mahkota, yang jika didasarkan pada tafsir wahyu adalah penerima mandat
kekuasaan selanjutnya.
Maka dalam
sejarah Jawa, muncullah Joko Tingkir, lelaki di luar garis dinasti Demak
yang akhirnya mengukuhkan diri sebagai sultan Jawa. Termasuk pula
Panembahan Senopati yang sebenarnya hanya anak Ki Pemanahan, seorang
penasehat raja.
Saya mendengar masuknya unsur laku dalam konsep pulung ini
dari tetua kampung Pahonjean Majenang, desa masa kecil saya. Juga dari
sesepuh kampung eyang saya di Desa Pasir Kulon Banyumas, yang merupakan
desa tua di kabupaten itu.
Dari mereka
semua saya mendapatkan cerita, hubungan pulung dan laku itu bisa disimak
dari lakon pewayangan. Ketika Abimanyu mendapatkan wahyu cakraningrat yang
merupakan wahyu raja dinasti Barata, setelah sebelumnya ia melakukan
pengorbanan dengan menampik kenikmatan duniawi, berkelana jauh dari istana
untuk menolong rakyat, serta bersemadi di tengah hutan Minangsraya.
Korelasi pulung dan laku inilah
yang esensinya bisa kita usung untuk menjawab persoalan pelembagaan
demokrasi modern saat ini. Saya menafsir hubungan dua konsep jadul ini
dengan pengertian yang sederhana: masyarakat sebagai basis legitimasi
kepemimpinan semestinya menyemaikan kesadaran bahwa seorang calon pemimpin
yang paling layak dipilih adalah orang yang integritasnya terhadap rakyat
cukup jelas dan terukur. Dengan demikian kita bisa menghindari munculnya
politisi juragan yang memahami politik sebagai investasi material, atau
politisi iklan yang hanya bermodalkan citra hasil kemasan media.
Dalam
demokrasi modern, jika pulung itu adalah hak pilih rakyat, maka laku adalah
integritas seorang pemimpin. Dan saya menyebutnya dengan satu istilah: Politik integritas! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar