Minggu, 03 Maret 2013

Pulung, Laku dan Politik Integritas


Pulung, Laku dan Politik Integritas
Budiman Sudjatmiko  ;  Pembina Utama Parade Nusantara
(Persatuan Rakyat Desa Nusantara), Anggota Fraksi PDI-P di DPR
INILAH.COM, 26 Februari 2013


Hari-hari terakhir ini desa-desa kami di Kabupaten Cilacap dan Banyumas tengah menggeliat menghadapi Pemilihan Kepala Desa atau Pilkades.
Sebagian desa di Cilacap telah usai melaksanakan hajat demokrasi level paling bawah itu. Sementara di Banyumas yang baru saja usai menggelar Pemilukada, Pilkades baru akan dilakukan pertengahan tahun nanti.

Dua pekan lalu, saya ngendong ke salah satu perangkat desa di Banyumas, seorang kawan sekaligus jejaring kami dalam mendorong pengesahan RUU Desa. Kali ini bukan peningkatan kapasitas perdesaan yang menjadi bahan gendu-gendu rasa, tetapi soal pulung.

Begitulah, setiap kali Pemilukada dan Pilkades dihelat, soal pulung ini masih saja menjadi point of interest di kampung kami. Bahkan di zaman ketika setiap sudut bumi telah terhubung dengan internet ini.

Apa sih yang mereka sebut pulung? Pulung, atau dalam masyarakat banyumasan lebih dikenal dengan sebutan daru, digambarkan sebagai bola cahaya yang berpijar, yang diyakini akan muncul pada saat pemilihan kepala daerah dan kepala desa. Ke rumah siapa bola cahaya itu mengarah, si empunya rumah itulah yang diyakini mendapatkan wahyu untuk memimpin desa atau daerahnya.

Telaah ilmiah mengenai salah satu kepingan dalam jagad mistis orang Jawa ini bisa kita jejaki dalam buku-buku Prof Kuntowijoyo. Tetapi sebagai cucu seorang lurah desa yang lahir dan melewatkan masa kecil di pendopo balai desa, tentu saya memiliki rekaman ingatan sendiri mengenai apa yang disebut pulung atau daru ini. Saya belum pernah melihat seperti apa wujud pulung yang sebenarnya. Dan sebagai bagian generasi yang tumbuh dengan perspektif pengetahuan modern, saya menempatkan diri dalam garis Prof Kunto, bahwa pulung adalah sebuah mitos yang muncul dari proses kebudayaan.

Tetapi tulisan ini tak bermaksud memperdebatkan, apalagi menghakimi, apakah pulung itu sebagai fenomena empiris ataukah sekedar gugon tuhon. Yang ingin saya lakukan adalah menjelaskan ulang mengenai fenomena kebudayaan ini dari ingatan masa kecil saya, lalu melakukan reinterpretasi untuk menghargai fenomena itu sebagai indigenous wisdom.

Dalam pemikiran saya, keyakinan terhadap pulung ini tak bisa dilepaskan dari konsep pemikiran Jawa tentang kekuasaan. Bahwa dalam masyarakat Jawa masa silam, ketika teks yang mendominasi ruang khalayak dikuasai sepenuhnya oleh raja dan kaum ningrat, kekuasaan yang dianggap absah adalah kekuasaan yang berkonsep adikodrati. Artinya legitimasi kekuasaan didasarkan pada wahyu Tuhan. Sementara penterjemah paling absah dari wahyu itu adalah raja itu sendiri bersama pujangga keraton yang menopangnya. Berlatar kesadaran mistis itu, maka pulung bisa dipahami sebagai upaya mewadagkan (visualisasi) konsep wahyu yang abstrak. Dengan kepentingan agar lebih mudah dipahami oleh hamba sahaya.

Dalam bentuk lain, ini sama tujuannya dengan reka-kisah paha Ken Dedes yang bersinar sebagai perwujudan wahyu keprabon yang menghuni tubuh perempuan itu. Sehingga ketika Ken Arok berhasil mempersuntingnya, dialah yang berhak atas wahyu raja Jawa. Atau kisah lain adalah perkawinan Panembahan Senopati dengan Kanjeng Ratu Kidul, yang dipahami sebagai manunggaling penguasa nusa Jawa dengan penguasa lautan yang membentang di selatannya.
Tujuan dari reka-kisah itu bisa kita pahami sebagai ideological state apparatus dalam pemikiran Anthonio Gramsci. Yakni aparat ideologi yang direka kekuasaan, lalu dipaksakan ke dalam benak rakyat sebagai satu-satunya teks yang benar. Tujuan akhir dari proses politik ini adalah kesadaran masyarakat yang hegemonik, tanpa menyisakan ruang untuk sekedar mempertanyakan.
Hanya saja, dalam setiap sejarah dominasi kita juga mencatat upaya untuk melahirkan teks-teks alternatif yang tidak mainstream. Sebutlah misalnya, meski dengan kadar kritik yang masih rendah, syahdan kitab Pararaton lahir untuk menandingi Negarakertagama yang merupakan pustaka resmi Majapahit.
Pun demikian dengan cerita tentang pulung ini. Entah siapa yang memulai melakukan reinterpretasi, tetapi dalam konsep pulung ini kemudian ada keyakinan bahwa pulung hanya akan jatuh pada orang yang telah menjalani laku.

Konsep laku sendiri dalam pemikiran masyarakat Jawa dipahami sebagai ikhtiar yang bersungguh-sungguh disertai dengan segala pengorbanan. Reinterpretasi ini pada akhirnya menggoyahkan hak-hak ekseklusif anak raja sebagai putera mahkota, yang jika didasarkan pada tafsir wahyu adalah penerima mandat kekuasaan selanjutnya.
Maka dalam sejarah Jawa, muncullah Joko Tingkir, lelaki di luar garis dinasti Demak yang akhirnya mengukuhkan diri sebagai sultan Jawa. Termasuk pula Panembahan Senopati yang sebenarnya hanya anak Ki Pemanahan, seorang penasehat raja.
Saya mendengar masuknya unsur laku dalam konsep pulung ini dari tetua kampung Pahonjean Majenang, desa masa kecil saya. Juga dari sesepuh kampung eyang saya di Desa Pasir Kulon Banyumas, yang merupakan desa tua di kabupaten itu.

Dari mereka semua saya mendapatkan cerita, hubungan pulung dan laku itu bisa disimak dari lakon pewayangan. Ketika Abimanyu mendapatkan wahyu cakraningrat yang merupakan wahyu raja dinasti Barata, setelah sebelumnya ia melakukan pengorbanan dengan menampik kenikmatan duniawi, berkelana jauh dari istana untuk menolong rakyat, serta bersemadi di tengah hutan Minangsraya.
Korelasi pulung dan laku inilah yang esensinya bisa kita usung untuk menjawab persoalan pelembagaan demokrasi modern saat ini. Saya menafsir hubungan dua konsep jadul ini dengan pengertian yang sederhana: masyarakat sebagai basis legitimasi kepemimpinan semestinya menyemaikan kesadaran bahwa seorang calon pemimpin yang paling layak dipilih adalah orang yang integritasnya terhadap rakyat cukup jelas dan terukur. Dengan demikian kita bisa menghindari munculnya politisi juragan yang memahami politik sebagai investasi material, atau politisi iklan yang hanya bermodalkan citra hasil kemasan media.

Dalam demokrasi modern, jika pulung itu adalah hak pilih rakyat, maka laku adalah integritas seorang pemimpin. Dan saya menyebutnya dengan satu istilah: Politik integritas!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar