Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meminta agar kenaikan
harga daging sapi yang terjadi saat ini dikendalikan karena sudah melampaui
batas kewajaran. Permintaan Presiden tersebut mungkin disampaikan karena
melihat fakta bahwa harga daging Indonesia saat ini tergolong paling tinggi
di dunia. Seperti yang diketahui, harga daging di Indonesia adalah Rp
94.672 per kilogram. Bandingkan dengan harga di negara lain, seperti Jepang
(Rp 37.830 per kg), Thailand, Malaysia, Australia, dan Jerman, yang
berkisar Rp 41.700 ribu per kg; dan India dengan harga daging sapi Rp
71.780 per kg (Bank Dunia, Desember 2012).
Kenaikan harga adalah suatu yang niscaya ketika suatu
negara mengambil kebijakan protektif, seperti penerapan pembatasan kuota
impor dalam kasus daging sapi. Bila kita merujuk pada teori ekonomi
internasional, kebijakan protektif seperti pembatasan kuota impor ini
dipilih karena pemerintah ingin berpihak kepada kepentingan produsen
domestik. Dan ini akan berimplikasi pada kenaikan harga pasar domestik, dan
pasti lebih tinggi dari harga komoditas yang sama pada pasar internasional.
Jadi, ketika pemerintah menurunkan kuota impor daging sapi untuk
meningkatkan produksi domestik, adalah suatu yang niscaya harga domestik
daging sapi akan naik di atas rata-rata harga internasional. Jadi, tidak
ada yang salah dengan kenaikan harga daging sapi yang terjadi saat ini.
Lalu, bukankah kenaikan harga domestik ini akan
merugikan konsumen? Benar, ketika pemerintah mencanangkan swasembada daging
sapi, maka kebijakan protektif terhadap produsen adalah niscaya. Dan itu
pasti berimplikasi pada kenaikan harga yang akan membuat konsumen harus
dirugikan sementara waktu. Tetapi, setelah produktivitas meningkat,
kemampuan suplai domestik yang meningkat akan mampu memenuhi semua
permintaan domestik. Ketika ini terjadi, harga komoditas akan turun dan
kerugian konsumen akan terkoreksi. Fenomena ini menunjukkan swasembada itu
tercapai.
Ilmu ekonomi memberi kita pemahaman tentang fenomena
time lag dari suatu kebijakan publik yang diambil, yakni rentang waktu
antara inisiasi kebijakan dan tercapainya target kebijakan. Pemerintah itu
ibarat nakhoda kapal superbesar yang, ketika memutar kemudi ke satu arah,
membutuhkan waktu agar seluruh tubuh kapal berputar ke arah kemudi yang
dimaksud. Ilustrasi ini sering diberikan buku-buku teks ekonomi ketika
mengilustrasikan fenomena time lag dalam kebijakan publik oleh negara.
Artinya, tidak serta-merta, ketika suatu kebijakan diambil, pada saat yang
sama (bulan atau tahun yang sama) target kebijakan itu bisa langsung
tercapai.
Kita memang tidak tahu persisnya berapa lama (bulan
atau bahkan tahun) time lag kebijakan pembatasan kuota daging sapi impor
ini menghadirkan swasembada daging sapi. Karena itu, tugas pemerintah
selanjutnya adalah mengatasi masalah kelembagaan pasar yang menyebabkan
time lag ini menjadi panjang. Dan ini tugas yang sangat berat.
Peternak tentu saja senang karena mereka bisa menikmati
harga sapi hidup sebesar Rp 33 ribu per kilogram dibandingkan dengan
sebelum kebijakan pembatasan kuota impor, di mana harganya sebesar Rp 22
ribu per kg sapi hidup. Tapi target kebijakan pembatasan kuota impor tentu
saja bukan sekadar untuk menyenangkan peternak, tapi bagaimana agar
kemudian kebutuhan daging sapi bisa dicukupi oleh sapi lokal (domestik).
Kalau hanya melihat jumlah sapi dan kerbau yang sebesar
14,8 juta ekor (sensus BPS 2011), angka ini sudah melebihi angka ternak
sapi dan kerbau yang dibutuhkan untuk swasembada daging yang sebesar 12,6
juta ekor. Seharusnya, ketika pemerintah mengurangi kuota impor daging
sapi, harga mahal yang mencerminkan kelangkaan itu tidak terjadi, apalagi
dalam durasi yang cukup panjang (Idul Fitri tahun lalu sampai sekarang).
Harga tinggi dengan durasi yang cukup panjang terjadi
karena: pertama, data BPS tersebut dihimpun dari jutaan peternak yang
tersebar di seluruh Tanah Air. Puluhan juta sapi yang terdata berada di
kandang para peternak kecil yang lokasinya tersebar di seluruh pelosok
negeri. Semua itu bukan merupakan ternak yang sewaktu-waktu bisa dipotong
dalam kondisi darurat kelangkaan daging (ready stock).
Kedua, usaha ternak sapi oleh peternak kecil masih
merupakan usaha tambahan, belum menjadi bisnis utama masyarakat. Peternak
masih menjadikan sapi sebagai tabungan (rojo koyo), bukan komoditas.
Layaknya tabungan, mereka menjual sapi kalau benar-benar butuh uang.
Walaupun harga naik, mereka tidak serta-merta menjual sapinya kecuali kalau
benar-benar sangat dibutuhkan.
Artinya, mengandalkan suplai daging domestik dari
ternak yang dimiliki oleh rumah tangga yang hanya memiliki 1-2 ekor per
rumah tangga tersebut tentulah tidak tepat, kecuali kalau mereka bergabung
menjadi entitas yang komersial seperti dalam Gabungan Kelompok Peternak
(Gapoknak) atau koperasi ternak. Artinya, dari kalangan peternak kecil,
suplai dari Gapoknak dan koperasi ternak inilah yang perlu diakselerasi
oleh pemerintah.
Untuk mempermudah akses Gapoknak dan koperasi ternak
ini ke industri potong hewan, pemerintah pusat bisa bekerja sama dengan
pemerintah daerah untuk menghilangkan sumbatan-sumbatan kelembagaan di
lapangan. Salah satu contoh sumbatan itu, misalnya, kasus penolakan
pemotongan sapi lokal oleh 50 persen dari 92 rumah potong hewan di
Jabodetabek, dan mereka hanya bersedia memotong sapi asal Australia
(Tempo.co 15 Februari 2013). Para menteri terkait (Menteri Pertanian,
Menteri Perdagangan, Menko Perekonomian) dan kepala-kepala daerah serta
aparatnya tampaknya harus lebih banyak blusukan untuk mengatasi beragam
sumbatan kelembagaan di lapangan ini.
Selanjutnya, yang tidak kalah penting
adalah ketegasan pemerintah menekan perusahaan pengimpor daging dan sapi bakalan
untuk melepaskan stok mereka. Diperkirakan, stok saat ini ada sekitar 100
ribu ekor di gudang mereka. Mereka sengaja melempar ke pasar dengan cara
mencicil, agar harga pasar tetap stabil dan tinggi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar