Sabtu, 02 Maret 2013

Swasembada Daging Sapi


Swasembada Daging Sapi
Andi Irawan  ;  Peminat Telaah Ekonomi Politik Pertanian Indonesia
KORAN TEMPO, 02 Maret 2013


Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meminta agar kenaikan harga daging sapi yang terjadi saat ini dikendalikan karena sudah melampaui batas kewajaran. Permintaan Presiden tersebut mungkin disampaikan karena melihat fakta bahwa harga daging Indonesia saat ini tergolong paling tinggi di dunia. Seperti yang diketahui, harga daging di Indonesia adalah Rp 94.672 per kilogram. Bandingkan dengan harga di negara lain, seperti Jepang (Rp 37.830 per kg), Thailand, Malaysia, Australia, dan Jerman, yang berkisar Rp 41.700 ribu per kg; dan India dengan harga daging sapi Rp 71.780 per kg (Bank Dunia, Desember 2012). 
Kenaikan harga adalah suatu yang niscaya ketika suatu negara mengambil kebijakan protektif, seperti penerapan pembatasan kuota impor dalam kasus daging sapi. Bila kita merujuk pada teori ekonomi internasional, kebijakan protektif seperti pembatasan kuota impor ini dipilih karena pemerintah ingin berpihak kepada kepentingan produsen domestik. Dan ini akan berimplikasi pada kenaikan harga pasar domestik, dan pasti lebih tinggi dari harga komoditas yang sama pada pasar internasional. Jadi, ketika pemerintah menurunkan kuota impor daging sapi untuk meningkatkan produksi domestik, adalah suatu yang niscaya harga domestik daging sapi akan naik di atas rata-rata harga internasional. Jadi, tidak ada yang salah dengan kenaikan harga daging sapi yang terjadi saat ini. 
Lalu, bukankah kenaikan harga domestik ini akan merugikan konsumen? Benar, ketika pemerintah mencanangkan swasembada daging sapi, maka kebijakan protektif terhadap produsen adalah niscaya. Dan itu pasti berimplikasi pada kenaikan harga yang akan membuat konsumen harus dirugikan sementara waktu. Tetapi, setelah produktivitas meningkat, kemampuan suplai domestik yang meningkat akan mampu memenuhi semua permintaan domestik. Ketika ini terjadi, harga komoditas akan turun dan kerugian konsumen akan terkoreksi. Fenomena ini menunjukkan swasembada itu tercapai. 
Ilmu ekonomi memberi kita pemahaman tentang fenomena time lag dari suatu kebijakan publik yang diambil, yakni rentang waktu antara inisiasi kebijakan dan tercapainya target kebijakan. Pemerintah itu ibarat nakhoda kapal superbesar yang, ketika memutar kemudi ke satu arah, membutuhkan waktu agar seluruh tubuh kapal berputar ke arah kemudi yang dimaksud. Ilustrasi ini sering diberikan buku-buku teks ekonomi ketika mengilustrasikan fenomena time lag dalam kebijakan publik oleh negara. Artinya, tidak serta-merta, ketika suatu kebijakan diambil, pada saat yang sama (bulan atau tahun yang sama) target kebijakan itu bisa langsung tercapai.
Kita memang tidak tahu persisnya berapa lama (bulan atau bahkan tahun) time lag kebijakan pembatasan kuota daging sapi impor ini menghadirkan swasembada daging sapi. Karena itu, tugas pemerintah selanjutnya adalah mengatasi masalah kelembagaan pasar yang menyebabkan time lag ini menjadi panjang. Dan ini tugas yang sangat berat. 
Peternak tentu saja senang karena mereka bisa menikmati harga sapi hidup sebesar Rp 33 ribu per kilogram dibandingkan dengan sebelum kebijakan pembatasan kuota impor, di mana harganya sebesar Rp 22 ribu per kg sapi hidup. Tapi target kebijakan pembatasan kuota impor tentu saja bukan sekadar untuk menyenangkan peternak, tapi bagaimana agar kemudian kebutuhan daging sapi bisa dicukupi oleh sapi lokal (domestik). 
Kalau hanya melihat jumlah sapi dan kerbau yang sebesar 14,8 juta ekor (sensus BPS 2011), angka ini sudah melebihi angka ternak sapi dan kerbau yang dibutuhkan untuk swasembada daging yang sebesar 12,6 juta ekor. Seharusnya, ketika pemerintah mengurangi kuota impor daging sapi, harga mahal yang mencerminkan kelangkaan itu tidak terjadi, apalagi dalam durasi yang cukup panjang (Idul Fitri tahun lalu sampai sekarang). 
Harga tinggi dengan durasi yang cukup panjang terjadi karena: pertama, data BPS tersebut dihimpun dari jutaan peternak yang tersebar di seluruh Tanah Air. Puluhan juta sapi yang terdata berada di kandang para peternak kecil yang lokasinya tersebar di seluruh pelosok negeri. Semua itu bukan merupakan ternak yang sewaktu-waktu bisa dipotong dalam kondisi darurat kelangkaan daging (ready stock).
Kedua, usaha ternak sapi oleh peternak kecil masih merupakan usaha tambahan, belum menjadi bisnis utama masyarakat. Peternak masih menjadikan sapi sebagai tabungan (rojo koyo), bukan komoditas. Layaknya tabungan, mereka menjual sapi kalau benar-benar butuh uang. Walaupun harga naik, mereka tidak serta-merta menjual sapinya kecuali kalau benar-benar sangat dibutuhkan.
Artinya, mengandalkan suplai daging domestik dari ternak yang dimiliki oleh rumah tangga yang hanya memiliki 1-2 ekor per rumah tangga tersebut tentulah tidak tepat, kecuali kalau mereka bergabung menjadi entitas yang komersial seperti dalam Gabungan Kelompok Peternak (Gapoknak) atau koperasi ternak. Artinya, dari kalangan peternak kecil, suplai dari Gapoknak dan koperasi ternak inilah yang perlu diakselerasi oleh pemerintah.
Untuk mempermudah akses Gapoknak dan koperasi ternak ini ke industri potong hewan, pemerintah pusat bisa bekerja sama dengan pemerintah daerah untuk menghilangkan sumbatan-sumbatan kelembagaan di lapangan. Salah satu contoh sumbatan itu, misalnya, kasus penolakan pemotongan sapi lokal oleh 50 persen dari 92 rumah potong hewan di Jabodetabek, dan mereka hanya bersedia memotong sapi asal Australia (Tempo.co 15 Februari 2013). Para menteri terkait (Menteri Pertanian, Menteri Perdagangan, Menko Perekonomian) dan kepala-kepala daerah serta aparatnya tampaknya harus lebih banyak blusukan untuk mengatasi beragam sumbatan kelembagaan di lapangan ini.
Selanjutnya, yang tidak kalah penting adalah ketegasan pemerintah menekan perusahaan pengimpor daging dan sapi bakalan untuk melepaskan stok mereka. Diperkirakan, stok saat ini ada sekitar 100 ribu ekor di gudang mereka. Mereka sengaja melempar ke pasar dengan cara mencicil, agar harga pasar tetap stabil dan tinggi. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar