Rabu, 20 Maret 2013

Perppu, Payung Wajib Pilkada



Perppu, Payung Wajib Pilkada
Samsul Wahidin ;  Guru besar Fakultas Hukum Universitas Merdeka Malang
JAWA POS, 19 Maret 2013

 
SILANG pendapat terjadi atas rencana Komisi Pemilihan Umum (KPU) memajukan pilkada, istilah yang digunakan di dalam UU No 18/2008 tentang Perubahan UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah). Pilkada yang semestinya digelar pada 2014 diajukan ke 2013 karena diprediksi akan memengaruhi jalannya pemilu legislatif (pileg). 

KPU merasa payung hukum untuk pengajuan tersebut cukup dengan aturan KPU, baik itu peraturan maupun keputusan KPU. Berbagai argumentasi yang bersifat praktis dipaparkan, termasuk tidak akan mengurangi masa jabatan incumbent. Hal itu disampaikan oleh komisioner KPU, sebagai legitimasi kinerjanya untuk mengajukan hajat daerah lima tahunan tersebut (Jawa Pos, 18/3).

Keberanian KPU mengambil kebijakan demikian tanpa peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) berdasar diskresi yang dimiliki lembaga tersebut. Apalagi, melahirkan perppu dalam waktu dekat ini secara prosedural sulit dilaksanakan karena terbentur dengan proses pembahasan RUU Pilkada yang memerlukan waktu lama. Sebagaimana dipahami, secara administratif payung hukum KPU terkait penyelenggaraan pemilu adalah undang-undang, sebagai produk DPR (dan pemerintah). 

Oleh karena itu, ketepatan dasar hukum berupa produk KPU itulah yang dipertanyakan. Harus segera disampaikan bahwa produk hukum yang tepat (bahkan harus) untuk itu adalah perppu, bukan produk hukum KPU. Mengapa harus perppu?

Mendesak vs Darurat 

KPU beralasan dibuatnya peraturan KPU atau bahkan hanya keputusan KPU untuk pengajuan pilkada ke 2013 ini adalah pada hal-hal teknis. Problem teknis selalu terjadi dalam setiap perubahan. Terlebih dalam pengelolaan administrasi kita sudah biasa terburu-buru, serba terdesak, dan tidak siap mengantisipasi permasalahan yang muncul. Padahal, masalah itu seharusnya terprediksi sejak awal.

Keharusan mengatur pengajuan itu dengan perppu dilandasi oleh beberapa hal. Pertama, sebelum adanya perubahan terhadap UUD 1945, perppu itu sebagaimana gambaran para pembentuk UUD adalah produk hukum yang dibuat dalam keadaan darurat negara (staatsnoodrecht). Produk hukumnya adalah peraturan darurat (noodverordeningsrecht) yang diterjemahkan dengan perppu tersebut. Jadi, ukuran riilnya terutama adalah adanya ancaman atas keberlangsungan negara jika produk hukum yang setara dengan UU itu tidak dikeluarkan.

Di dalam perkembangan berikutnya, interpretasi atas dibolehkannya presiden selaku kepala pemerintahan mengeluarkan produk noodverordeningsrecht ini tidak didasarkan pada kondisi staatsnoodrecht atau keadaan darurat semata. Perkembangan terjemahannya adalah: jika kepentingan (publik) mendesak. Presiden Soeharto pernah mengeluarkan perppu tentang penangguhan berlakunya pajak pertambahan nilai (PPN) pada 1983 karena aparat pajak yang belum siap. Perppu itu dengan sendirinya habis masa berlakunya ketika aparat pajak siap melaksanakan tugasnya.

Kedua, setelah perubahan keempat UUD 1945, ketentuan mengenai perppu itu tetap sama. Hanya ada tambahan klausula bahwa tata cara pembentukan undang-undang diatur dengan undang-undang (vide pasal 22A). Untuk itulah, dibuat UU No 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Di dalam UU ini dinyatakan bahwa materi muatan perppu adalah sama dengan materi undang-undang. Konsistensi ketentuan ini adalah bahwa sebuah payung hukum yang bermaksud melakukan perubahan, melengkapi atau meniadakan produk hukum tertentu harus selevel.

Keharusan selevel ini menjadi asas yang harus ditaati oleh penyelenggara pemilu, sebagai dasar yang absah bagi aktivitasnya. Artinya, secara administratif tindakan yang tidak didasarkan pada payung hukum selevel merupakan mal-administratif. Minimal hal itu akan melahirkan gugatan yang sebenarnya tidak perlu atau bisa dihindari.

Mengapa Enggan 

Mencermati produk hukum yang dibuat untuk mengantisipasi terjadinya benturan waktu dengan pemilu legislatif, kiranya semua sependapat bahwa materinya bersifat teknis, yaitu pada penyelenggaraan pilkada. UU menyatakan bahwa materi UU (demikian juga perppu) merupakan penjabaran UUD 1945 yang diperinci yaitu: tentang HAM, hak dan kewajiban warga negara, pelaksanaan dan penegakan kedaulatan negara serta pembagian kekuasaan negara, wilayah negara dan pembagian daerah, kewarganegaraan dan kependudukan, keuangan negara dan karena perintah UU untuk dibuat dalam bentuk UU.

Jelas bahwa penyelenggaraan pilkada termasuk dalam kinerja administratif yang diatur dalam pasal itu. Pertanyaan yang harus diklarifikasi adalah: mengapa pemerintah enggan mengeluarkan perppu? Apa karena ketakutan bahwa kebijakan itu harus diajukan ke DPR untuk dibahas dan disetujui? Jika ternyata DPR tidak menyetujui, perppu itu harus dicabut dan tidak berlaku (vide pasal 22 UUD 1945)?

Kalau itu kekhawatirannya, jawabnya sederhana. Proses waktu akan mengharuskan pengajuan itu dilaksanakan. DPR sudah kehilangan momentum untuk membahasnya sampai pada persidangan berikut. Apalagi jika pemerintah berlambat-lambat mengajukannya. Jadi, pertanyaannya, mengapa KPU sebagai leading sector tidak mengajukan konsep pengajuan pilkada kepada presiden?

Jadi, tidak ada alasan untuk tidak mendasarkan kinerja pengajuan pilkada tidak dengan perppu. Dasar hukum ini sebagai representasi atas dasar hukum yang ingin disimpangi, yaitu berupa UU. Akan merupakan tindakan yang bertentangan dengan hukum jika payung hukumnya adalah produk KPU, apalagi bersumber pada "perasaan" bahwa KPU punya diskresi sejauh itu.

Batas diskresi masih sangat akademis dan debatable. Karena itu, KPU harus bekerja keras untuk mengegolkan perppu sebagai payung hukum pengajuan pilkada.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar