SILANG pendapat terjadi atas rencana Komisi Pemilihan Umum (KPU)
memajukan pilkada, istilah yang digunakan di dalam UU No 18/2008 tentang
Perubahan UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah). Pilkada yang
semestinya digelar pada 2014 diajukan ke 2013 karena diprediksi akan
memengaruhi jalannya pemilu legislatif (pileg).
KPU merasa payung hukum untuk pengajuan tersebut cukup dengan aturan KPU,
baik itu peraturan maupun keputusan KPU. Berbagai argumentasi yang bersifat
praktis dipaparkan, termasuk tidak akan mengurangi masa jabatan incumbent. Hal itu
disampaikan oleh komisioner KPU, sebagai legitimasi kinerjanya untuk
mengajukan hajat daerah lima tahunan tersebut (Jawa Pos, 18/3).
Keberanian KPU mengambil kebijakan demikian tanpa peraturan pemerintah
pengganti undang-undang (perppu) berdasar diskresi yang dimiliki lembaga
tersebut. Apalagi, melahirkan perppu dalam waktu dekat ini secara
prosedural sulit dilaksanakan karena terbentur dengan proses pembahasan RUU
Pilkada yang memerlukan waktu lama. Sebagaimana dipahami, secara
administratif payung hukum KPU terkait penyelenggaraan pemilu adalah
undang-undang, sebagai produk DPR (dan pemerintah).
Oleh karena itu, ketepatan dasar hukum berupa produk KPU itulah yang
dipertanyakan. Harus segera disampaikan bahwa produk hukum yang tepat
(bahkan harus) untuk itu adalah perppu, bukan produk hukum KPU. Mengapa
harus perppu?
Mendesak vs Darurat
KPU beralasan dibuatnya peraturan KPU atau bahkan hanya keputusan KPU untuk
pengajuan pilkada ke 2013 ini adalah pada hal-hal teknis. Problem teknis
selalu terjadi dalam setiap perubahan. Terlebih dalam pengelolaan
administrasi kita sudah biasa terburu-buru, serba terdesak, dan tidak siap
mengantisipasi permasalahan yang muncul. Padahal, masalah itu seharusnya
terprediksi sejak awal.
Keharusan mengatur pengajuan itu dengan perppu dilandasi oleh beberapa hal.
Pertama, sebelum adanya perubahan terhadap UUD 1945, perppu itu sebagaimana
gambaran para pembentuk UUD adalah produk hukum yang dibuat dalam keadaan
darurat negara (staatsnoodrecht). Produk hukumnya adalah peraturan
darurat (noodverordeningsrecht) yang diterjemahkan dengan perppu
tersebut. Jadi, ukuran riilnya terutama adalah adanya ancaman atas
keberlangsungan negara jika produk hukum yang setara dengan UU itu tidak
dikeluarkan.
Di dalam perkembangan berikutnya, interpretasi atas dibolehkannya presiden
selaku kepala pemerintahan mengeluarkan produk noodverordeningsrecht ini tidak didasarkan pada
kondisi staatsnoodrecht atau keadaan darurat semata.
Perkembangan terjemahannya adalah: jika kepentingan (publik) mendesak.
Presiden Soeharto pernah mengeluarkan perppu tentang penangguhan berlakunya
pajak pertambahan nilai (PPN) pada 1983 karena aparat pajak yang belum
siap. Perppu itu dengan sendirinya habis masa berlakunya ketika aparat
pajak siap melaksanakan tugasnya.
Kedua, setelah perubahan keempat UUD 1945, ketentuan mengenai perppu itu
tetap sama. Hanya ada tambahan klausula bahwa tata cara pembentukan
undang-undang diatur dengan undang-undang (vide pasal 22A). Untuk itulah, dibuat
UU No 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Di dalam UU
ini dinyatakan bahwa materi muatan perppu adalah sama dengan materi
undang-undang. Konsistensi ketentuan ini adalah bahwa sebuah payung hukum
yang bermaksud melakukan perubahan, melengkapi atau meniadakan produk hukum
tertentu harus selevel.
Keharusan selevel ini menjadi asas yang harus ditaati oleh penyelenggara
pemilu, sebagai dasar yang absah bagi aktivitasnya. Artinya, secara
administratif tindakan yang tidak didasarkan pada payung hukum selevel
merupakan mal-administratif. Minimal hal itu akan melahirkan gugatan yang
sebenarnya tidak perlu atau bisa dihindari.
Mengapa Enggan
Mencermati produk hukum yang dibuat untuk mengantisipasi terjadinya
benturan waktu dengan pemilu legislatif, kiranya semua sependapat bahwa
materinya bersifat teknis, yaitu pada penyelenggaraan pilkada. UU
menyatakan bahwa materi UU (demikian juga perppu) merupakan penjabaran UUD
1945 yang diperinci yaitu: tentang HAM, hak dan kewajiban warga negara,
pelaksanaan dan penegakan kedaulatan negara serta pembagian kekuasaan
negara, wilayah negara dan pembagian daerah, kewarganegaraan dan
kependudukan, keuangan negara dan karena perintah UU untuk dibuat dalam
bentuk UU.
Jelas bahwa penyelenggaraan pilkada termasuk dalam kinerja administratif
yang diatur dalam pasal itu. Pertanyaan yang harus diklarifikasi adalah:
mengapa pemerintah enggan mengeluarkan perppu? Apa karena ketakutan bahwa
kebijakan itu harus diajukan ke DPR untuk dibahas dan disetujui? Jika
ternyata DPR tidak menyetujui, perppu itu harus dicabut dan tidak berlaku (vide pasal 22 UUD 1945)?
Kalau itu kekhawatirannya, jawabnya sederhana. Proses waktu akan
mengharuskan pengajuan itu dilaksanakan. DPR sudah kehilangan momentum
untuk membahasnya sampai pada persidangan berikut. Apalagi jika pemerintah
berlambat-lambat mengajukannya. Jadi, pertanyaannya, mengapa KPU sebagai leading sector tidak mengajukan konsep pengajuan
pilkada kepada presiden?
Jadi, tidak ada alasan untuk tidak mendasarkan kinerja pengajuan pilkada
tidak dengan perppu. Dasar hukum ini sebagai representasi atas dasar hukum
yang ingin disimpangi, yaitu berupa UU. Akan merupakan tindakan yang
bertentangan dengan hukum jika payung hukumnya adalah produk KPU, apalagi
bersumber pada "perasaan" bahwa KPU punya diskresi sejauh
itu.
Batas diskresi masih sangat akademis dan debatable.
Karena itu, KPU harus bekerja keras untuk mengegolkan perppu sebagai payung
hukum pengajuan pilkada. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar